Prospek Pemberantasan Korupsi
J Danang Widoyoko ;
Koordinator Badan Pekerja ICW
|
KOMPAS,
27 Januari 2014
TAHUN 2014, pemerintahan
Presiden SBY akan berakhir setelah dua periode memimpin Indonesia dengan
salah satu program utamanya adalah pemberantasan korupsi. Karena itu, sangat
penting untuk melakukan evaluasi secara kritis tentang strategi pemberantasan
korupsi yang saat ini telah dilakukan, terutama agar pemerintahan baru dapat
belajar dan meningkatkan efektivitasnya.
Survei Indeks Persepsi Korupsi
yang dilansir oleh Transparency
International (TI) terbaru menempatkan Indonesia pada peringkat ke-114
dari 176 negara dengan skor 32. Skor itu sama dengan hasil survei 2012.
Artinya, terjadi stagnasi dalam pemberantasan korupsi. Mengapa pemberantasan
korupsi terkesan berjalan di tempat? Bukankah KPK sampai saat ini banyak
menangkap koruptor?
Berbeda dengan persoalan sosial
yang lain, mengukur tingkat korupsi relatif lebih sulit. Karena korupsi
termasuk tindak pidana, pelaku atau informan cenderung menutupi tindakannya
untuk menghindari sanksi hukum.
Karena itu, dalam studi-studi
kuantitatif, korupsi diukur melalui persepsi responden. Jadi, bukan korupsi
yang diukur, melainkan persepsi responden terhadap korupsi seperti yang
dilakukan oleh TI. Sesungguhnya, pada 2013, TI malah membuat indeks dari 13
survei korupsi yang dibuat oleh lembaga lain sehingga survei TI ini disebut
survei dari survei.
Sebagian survei yang mengukur
tingkat korupsi di Indonesia cenderung bias investor. Salah satunya Political Economy Risk and Consultancy
(PERC) yang menanyakan soal korupsi kepada investor asing. Jadi, survei PERC
yang dirujuk TI sesungguhnya korupsi di Indonesia menurut persepsi investor asing.
Selain PERC, ada survei-survei lain yang digunakan, sebagian besar untuk
kepentingan bisnis dan membatasi korupsi di sektor publik.
Karena yang diukur adalah
pelayanan publik, khususnya untuk kepentingan bisnis dan investasi, bisa
dimengerti jika tak ada kemajuan dalam pemberantasan korupsi. Bahkan, ada
kontradiksi antara hasil survei dan penegakan hukum. Yang diukur dalam survei
pelayanan publik, sedangkan aspek yang menonjol dalam pemberantasan korupsi
di Indonesia adalah penegakan hukum, terutama oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK).
Memang ada satu sumber survei TI
terkait penegakan hukum, yakni World Justice Rule of Law Index. Namun, survei
ini lebih memotret persoalan hukum dan hak asasi manusia serta korupsi oleh
penegak hukum dan militer. Apa yang dilakukan KPK tidak cukup tergambar.
Jadi, antara yang diukur dan yang dilakukan adalah dua hal yang berbeda.
Namun, kontradiksi ini juga menunjukkan ada masalah dalam strategi
pemberantasan korupsi.
Presiden tidak bekerja
Selama ini pemberantasan korupsi
lebih fokus pada penegakan hukum. Ini bukan strategi yang salah, bahkan
sangat perlu, tetapi penegakan hukum saja tak cukup. Untuk menuntaskan satu
perkara butuh waktu lama, belum lagi sumber daya yang terbatas. KPK hanya
memiliki anggaran dan staf terbatas dan sebagian besar kasus yang ditangani
terjadi di Jakarta. Kinerja polisi dan kejaksaan masih jauh dari apa yang
telah berhasil dicapai KPK. Namun, pada saat yang sama, reproduksi korupsi
terus berjalan. Ribuan atau bahkan jutaan koruptor baru terus direproduksi
setiap hari oleh sistem sosial dan birokrasi yang korup.
Untuk memberantas korupsi, tidak
cukup hanya penegakan hukum. Pencegahan adalah aspek penting, terutama
deteksi dini dan koreksi sebelum suatu kebijakan menjadi tindak pidana
korupsi. Di dalam UU, KPK memang memiliki tugas melakukan pencegahan dan
pendidikan selain penindakan. Namun, dengan keterbatasan sumber daya dan
wewenang, praktis KPK tidak bisa bekerja sendirian. Banyak rekomendasi untuk
pencegahan dan perbaikan sistem yang disodorkan KPK tidak digubris oleh
kementerian dan lembaga pemerintah lainnya. Bukankah perbaikan sistem justru
tugas presiden yang notabene adalah atasan dari menteri dan instansi
pemerintah lainnya?
Jelas, buruknya peringkat kita
dalam survei TI dan survei lainnya karena presiden tidak bekerja. Barangkali
presiden merasa sudah bekerja dengan memberikan instruksi atau menyampaikan
pidato. Namun, implementasi kebijakan butuh lebih dari sekadar itu, terutama
untuk memastikan perintahnya dijalankan oleh semua level birokrasi. Ini yang
absen dari presiden. Birokrasi bekerja sendiri-sendiri dan tidak ada
monitoring serta kontrol efektif dalam pencegahan korupsi, terutama untuk
memastikan pengawasan berjalan.
Pengawasan internal mestinya jadi
komponen penting dalam pencegahan korupsi. Presiden bisa menggunakan lembaga
pengawas internal seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan atau
inspektorat untuk mengawasi birokrasi yang jadi prioritas. Jika ketahuan
korupsi, langsung diambil tindakan oleh presiden. Pelaku korupsi langsung
menerima sanksi internal dan kebijakan diperbaiki sebelum kasusnya menjadi
tindak pidana. Namun, jika praktik korupsi terus berjalan meski sudah
diperingatkan, itu jadi tugas penegak hukum. Pengawas internal seharusnya
menjadi sumber informasi bagi penegak hukum, bukan malah menutup-nutupi
praktik korupsi seperti yang selama ini terjadi.
Dengan waktu tersisa saat ini,
agaknya sulit berharap kepada presiden sekarang. Problem kebijakan tak
efektif bukan hanya dalam pemberantasan korupsi, juga bisa dilihat pada
banyak persoalan lain. Negara dianggap absen karena presiden tak bekerja
secara nyata untuk menyelesaikan bermacam persoalan. Saatnya kita mendorong
presiden baru kelak agar pemberantasan korupsi memiliki prospek di masa
depan, terutama dengan visi pencegahan yang kuat untuk melengkapi penindakan
yang telah dilaksanakan oleh KPK. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar