Kreativitas Dalam Berbahasa
Ike Revita ; Dosen Jurusan Sastra Inggris Unand
|
HALUAN,
27 Januari 2014
Sebagai animal symbolicum manusia selalu bergelut dengan yang namanya simbol.
Simbol-simbol ini disusun sedemikian rupa sehingga memiliki makna.
Simbol-simbol bermakna ini digunakan untuk mengungkapkan apa yang dirasakan,
menginformasikan sesuatu yang baru, atau hanya sekedar untuk menunjukkan
adanya hubungan sosial.
Simbol-simbol ini disusun
menurut hierarkinya tersendiri. Misalnya, beberapa simbol membentuk kata,
kata ini disusun menjadi sebuah frasa, susunan beberapa frasa melahirkan
kalimat atau ujaran. Ketika ujaran ini disusun untuk mengkomunikasikan suatu
hal, maka jadilah teks atau wacana.
Hierarki ini diisi dengan
simbol-simbol yang senantiasa berubah. Berubah sesuai kebutuhan manusia
penggunanya. Contohnya, ketika manusia merasa haus, dia akan mengatakan,
‘Saya haus atau Minta minum, dong!’ Di saat manusia merasa privasinya
terusik, dia akan segera mengingatkan pengusik itu dengan ‘Tolong hargai
privasi saya!’.
Dinamika bentuk berbahasa
terkait dengan kemampuan manusia yang bersifat kreatif. Ferdinand de Saussure,
seorang bapak linguistik modern menyebutnya dengan langue dan parole.
Dalam bukunya Course in General
Linguistics, Saussure jelas mengatakan bahwa setiap bahasa itu memiliki
simbol-simbol dengan referensinya sendiri-sendiri. Simbol itu bersifat
manasuka dan konvensi penggunanyalah yang memutuskan apa referensi dari
simbol itu (Wardaugh, 1998).
Setiap bahasa punya langue
dan parole yang oleh Chomsky (1968) disebut dengan competence dan performance. Langue atau competence ini menjadi konsep
dasar pengguna bahasa dalam menyusun simbol-simbol yang berterima menurut
aturan bahasa mereka. Simbol-simbol yang sudah tersusun akan diwujudkan
melalui bahasa berupa parole atau performance.
Parole atau performance ini bersifat
dinamis sesuai dengan dinamika kehidupan penggunanya. Kedinamisan ini pulalah
yang menjadikan lahirnya berbagai macam variasi bahasa. Contohnya, bahasa
standar, bahasa slang, jargon, argot, atau bahasa yang sebagian orang disebut
dengan bahasa anak-anak sekarang.
Variasi-variasi bahasa
merupakan perwujudan dari kreativitas manusia. Dalam sebuah interaksi,
penulis pernah menerima pesan singkat berupa ucapan cayo¸ Buk! Awalnya penulis bingung dengan kata cayo ini. Penulis
beranggapan bahwa ini adalah sebuah kesalahan dalam pengetikan. Bahkan
penulis merasa kurang nyaman karena tidak ada klarifikasi dari si pengirim
pesan atas kekeliruan penulisan. Apalagi pesan dikirim oleh seorang
mahasiswa.
Ketika dikonfirmasi kepada yang
bersangkutan, penulis baru mengetahui bahwa cayo sama maksudnya dengan kata semangat. Kosakata senada
yang sering penulis dengar terkait dengan maksud ini adalah cemungudh.
Hadirnya kata cayo dan cemungudh merupakan sebuah refleksi dari betapa manusia itu
sungguh kreatif dalam berbahasa. Manusia tidak hanya terpaku dengan kosakata
tertentu untuk maksud tertentu. Sikap tidak puas manusia itu
direalisasikannya melalui kreativitas berbahasa yang bersifat inovatif.
Saat seseorang begitu antusias
dan rajin menanyakan suatu hal, orang lain mengatakannya kepo. ‘Ih, lu kepo buanget’, komentar temannya. Kata kepo sama artinya dengan cerewet.
Namun, kepo seperti halnya cayo dan cemungudh digunakan dalam bahasa gaul. Bahasa gaul ini ada yang
menyebutnya dengan bahasa alay atau
bahasa jayus.
Biasanya istilah-istilah baru
dalam bahasa gaul lahir secara instan. Kelahirannya kadang-kadang
terinspirasi dari bahasa-bahasa publik figur. Seperti kata sesuatu atau Alhamdulillah ya. Kata dan frasa ini
sering diucapkan oleh seorang artis yang sedang naik daun. Kata-kata ini
kemudian diimitasi dan menjadi bagian dari bahasa alay.
Bahasa alay atau bahasa gaul ini cenderung sering digunakan oleh
generasi muda. Hal ini berhubungan dengan sifat generasi muda yang menyenangi
sesuatu yang berbeda dan cepat bosan. Akibatnya, bahasa gaul atau bahasa alay
ini bertahan tidak lama. Perubahan generasi akan melahirkan bentuk bahasa
gaul yang baru.
Perubahan generasi melahirkan
nama bahasa gaul yang berbeda. Hakikatnya, generasi muda ini selalu berpacu
untuk berkreativitas menciptakan bentuk-bentuk kebahasaan yang baru.
Generasi muda identik dengan sesuatu yang berbeda dan bersifat novel atau
baru.
Selain menyadur langsung atau
merevisi beberapa bunyi di kosakata, manusia juga berkreativitas menyederhanakan
kosakata itu. Salah satunya dengan menyingkatkan atau mengakronimkan kata
atau frasa. Misalnya, gatot
‘gagal total’ , SL ‘Siapa Lu?’, EGP ‘Emang Gue Pikirin’, atau lola ‘loading lambat’.
Inspirasi kosakata baru ini
tidak hanya berasal dari bahasa Indonesia, tetapi juga bahasa ibu / bahasa
daerah, dan bahasa asing. Kemajuan teknologi dan kemudahan mengakses
informasi melalui teknologi membuat manusia dapat dengan cepat mengetahui
kosakata bahasa lain.
Contohnya, ketika seorang
mahasiswa harus mengeluarkan uang lagi untuk memfotokopi buku, dia segera
berkomentar, ‘PK lo liak. Bilo PM nyo
ko?’. PK merupakan singkatan dari pitih
kalua ‘uang keluar’ dan PM pitih
masuak ‘uang masuk’. Kosakata yang berasal dari bahasa asing misalnya lobet yang berasal dari low
battery.
Kreativitas-kreativitas ini
membuktikan kedinamisan bahasa lewat penggunanya. Yang jelas, manusia berbahasa
sesuai dengan kebutuhannya. Manusia memilih bentuk dan wujud bahasa melalui
kosakata sesuai dengan kenyamanannya. Kreativitas itu hanya ada pada manusia
sebagai pemilik bahasa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar