Menghargai Air Menghindari Banjir
Asep Saefuddin ;
Rektor Universitas Trilogi, Guru
Besar Statistika IPB
|
MEDIA
INDONESIA, 28 Januari 2014
AIR adalah unsur ke
dua setelah oksigen yang sangat vital untuk kehidupan manusia. Tanpa oksigen
tidak mungkin hidup leluasa seperti yang kita alami saat ini. Begitu juga
tanpa air, tidak akan ada kehidupan. Itulah sebabnya Sang Pencipta memberikan
keduanya dengan penuh kemudahan. Sayangnya nikmat Tuhan ini jarang kita
apresiasi, mungkin karena saking mudahnya.
Curah hujan di
Indonesia bisa dikatakan lebih tinggi daripada rataan dunia. Banyak negara
yang jarang mendapatkan hujan. Biasanya, negara yang curah hujannya rendah,
masyarakatnya lebih mampu menghargai air. Mereka menyimpan embun embun pagi
dan hujan yang sedikit itu dalam embung-embung yang besar, bahkan ada yang
menjadi bendung untuk irigasi dan energi listrik. Begitu kuatnya rasa syukur
mereka terhadap nikmat air. Contoh nyata dapat kita lihat, misalnya, di
negara bagian Arizona, Amerika Serikat, yang setiap tahun tidak merasakan
hujan (konon pernah ada hujan sekitar 60 tahun yang lalu). Di sana, kota-kota
dan kampus universitas ditata rapi, asri, dan hijau dengan manajemen air yang
apik. Sebaliknya di negara kita, penghargaan masyarakat terhadap air sangat
minim. Sering saya melihat air terbuang percuma di tempat-tempat wudu, toilet
perkantoran dan SPBU, serta di banyak tempat lainnya. Di negeri ini air
sering dibuang percuma.
Penegakan hukum
Air yang bisa
bermanfaat itu tidak mustahil akan membawa bencana, bila kita tidak bijak
memperlakukannya. Air hujan yang turun di wilayah hulu (gunung) menggelontor
ke hilir tanpa ada penyerapan di perjalanan, karena di wilayah itu sudah kekurangan
tegakan pohon. Pepohonan digantikan oleh tembok dalam jumlah yang sudah
melewati ambang batas. Kecenderungan ini akan terus meningkat bila tidak ada
penegakan hukum secara tegas.
Padahal, sebenarnya
beberapa gedung di wilayah gunung saat ini pun bisa dirobohkan, karena
melanggar peruntukan wilayah. Persoalannya, aparat pemerin tah tidak berani
melakukan tindakan itu karena berbagai faktor. Dan bisa jadi salah satu
faktornya adalah pejabat itu sendiri sebagai pelakunya. Inilah salah satu
benang kusut di negara kita.
Di hampir semua
wilayah, dari hulu ke hilir, masyarakat menganggap sungai adalah tempat
pembuangan sampah. Semua jenis sampah dibuang ke sungai, tidak saja buang air
kecil dan air besar, tetapi juga plastik, kayu, dan bahkan kasur. Jadilah
sungai terbebani dengan berbagai jenis sampah yang sulit diurai. Air sungai
terhambat menuju ke daerah yang lebih rendah dan mengakibatkan air harus
mencari jalannya sendiri.
Pada saat hujan cukup
lebat dan dalam tempo yang panjang, air akan meluap ke wilayah di sekitarnya.
Jadilah daerah itu tergenang berhari-hari dan membuat penduduknya mengungsi
ke daerah kering. Fenomena ini sudah lama terjadi dan akan terus terjadi,
bila penanganan terhadap air tidak berubah.
Kita terbiasa
menanggulangi masalah berbasis hilir atau akibat, bukan berbasis penyebab
atau akar masalah. Ini sama sekali bukan solusi, tetapi sekadar menghindar
sementara. Untuk persoalan banjir juga demikian. Misalnya, di lintasan sungai
dibuat jalan layang, sedangkan perilaku masyarakat di sepanjang bantaran
sungai tidak berubah. Mereka terus betah tinggal di bantaran sungai yang
sebenarnya tidak boleh ada permukiman yang padat di sekitar itu. Jalan keluar
lain misalnya sodetan, sedangkan sedimentasi, sampah, dan permukiman di
bantaran sungai dengan berbagai perilakunya dibiarkan tetap tidak berubah;
hal itu hanya mengalihkan persoalan, bukan solusi akar masalah. Sungai harus
diberi ruang yang luas untuk menampung luapan air ketika hujan lebat.
Artinya, di bantaran sungai harus bebas dari hunian padat dan tidak teratur.
Gotong royong
Solusi berbasis akar
masalah harus dilakukan secara terintegrasi, multisektor, lintas institusi,
dan berjangka panjang. Di sinilah pentingnya koordinasi pemerintahan pusat
dan daerah. Sayangnya koordinasi saat ini sudah menjadi barang langka. Sudah
saatnya kita harus mengembalikan lagi budaya gotong royong di negara ini.
Pemerintah harus
tanggap dan cepat dalam menanggulangi persoalan yang menyangkut orang banyak
di berbagai daerah walaupun terpisah secara administrasi. Jangkauan jauh ke
depan sangat diperlukan agar solusi tidak bersifat sesaat dan terus-menerus
demikian dari tahun ke tahun, sementara persoalan tidak berkurang.
Alasan-alasan
perbedaan partai politik harus dihapus dalam menanggulangi masalah alam ini. Sebenarnya
alam sendiri akan memberikan manfaat ketimbang mudarat, bila penanganannya
dilakukan secara benar. Di sinilah perlunya ilmu pengetahuan dalam
pengelolaan sumber daya alam. Bukan sekadar eksploitasi untuk ekonomi dan
pendapatan asli daerah. Penanganan masalah melalui pola business as usual harus diganti dengan pola alternatif yang
kreatif.
Ke depan, bacalah
tandatanda alam ini dengan bijak. Berlakulah baik terhadap alam dengan cara
membuang sampah pada tempatnya, membuat lubang resapan biopori, mengembalikan
kawasan hijau di tempat-tempat yang harus menyerap air dari mulai atas sampai
bawah, dan pemerintah harus bekerja sama untuk kepentingan masyarakat banyak.
Terakhir, gunakan ilmu pengetahuan untuk solusi jangka panjang, menyeluruh,
dan komprehensif. Bukan sekadar proyek sesaat dan mencari komisi untuk
menumpuk kekayaan. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar