Analisis Pendidikan Wapres
Muchlas Samani ;
Rektor Universitas Surabaya
|
KOMPAS,
27 Januari 2014
AKHIR tahun
lalu, di hadapan peserta kuliah umum di Universitas Monash Melbourne,
Australia, Wakil Presiden Boediono mengakui, pendidikan di Indonesia
tertinggal. Menurut Wapres ada tiga tantangan mendasar untuk mengejar
ketertinggalan Indonesia: kekurangan
guru bermutu, fasilitas pendidikan, dan materi ajar.
Kalaupun ada guru bermutu, mereka
tidak terdistribusi dengan baik. Fasilitas pendidikan di daerah terpencil
juga minim dan penyampaian materi ajar tidak sesuai dengan standar.
Menurut Wakil Presiden (Wapres),
guru adalah kunci. Isi dan penyampaian materi ajar tidak mencapai standar
karena gurunya kurang bagus. Apa pun kebijakan mutu pendidikan, akhirnya guru
yang melaksanakan di lapangan.
Analisis Wapres sejalan dengan
kesimpulan Thomas Friedman terhadap kemajuan pendidikan di Shanghai, China.
Menurut Friedman, rahasia
peningkatan mutu pendidikan di Shanghai terletak pada: a deep commitment to teacher training,
peer- to-peer learning and constant professional development, a deep
involvement of parents in their children’s learning, an insistence by the
school’s leadership on the highest standards and a culture that prizes
education and respects teachers (The New York Times, 22 Oktober 2013).
Untuk mendapatkan guru bermutu
tentu perlu calon yang pandai dan mendapat pendidikan guru yang bermutu.
Studi Wang dan kawan-kawan (2003)
berjudul Preparing Teachers Around
the World mengonfirmasi argumen tersebut.
Belanda, Hongkong, Jepang, Korea
Selatan, dan Singapura adalah negara yang bagus dalam menyiapkan calon guru
dan juga membinanya setelah bekerja di sekolah. Hasilnya, pendidikan bermutu
di negara-negara itu.
Bagaimana menggunakan analisis itu
untuk mengejar ketertinggalan pendidikan kita?
Mendidik
guru
Data Seleksi Nasional Masuk
Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dua tahun terakhir memberikan harapan untuk
memperoleh calon guru yang bagus. Ada 69,4 persen pendaftar Seleksi Bersama
Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) 2013 yang ingin menjadi guru dan masuk
ke Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).
Pertanyaan berikutnya adalah
apakah proses pendidikan di LPTK cukup bagus? Belum ada studi yang
menggambarkan kualitas pendidikan di LPTK. Yang pasti mutu LPTK sangat
bervariasi. Apalagi ketika minat menjadi guru naik, jumlah LPTK juga naik
tajam.
Tahun 2008 jumlah LPTK 270-an,
kini mencapai 415 dengan mahasiswa sekitar 1,2 juta orang dan jumlah lulusan
sekitar 250.000 orang per tahun. Peningkatan jumlah LPTK ini sangat
mengkhawatirkan karena mutu pendidikan menjadi tidak terjaga.
Pendidikan di LPTK sebenarnya semi-kedinasan,
karena lulusannya dipersiapkan menjadi guru. Jika kebutuhan guru setiap tahun
hanya sekitar 70.000 orang, sudah saatnya ada pengaturan jumlah LPTK ataupun
jumlah mahasiswanya. Upaya ini sekaligus memberdayakan LPTK agar mampu
menghasilkan guru bermutu.
Undang-Undang (UU) Guru dan Dosen,
yang mewajibkan guru berpendidikan S-1 plus pendidikan profesi guru (PPG)
dapat digunakan sebagai instrumen pengendalian jumlah LPTK.
LPTK yang memenuhi syarat tertentu
yang boleh membuka PPG dan jumlah mahasiswanya juga ditentukan. Lebih baik
kalau mahasiswa PPG diberikan dinas, sebagaimana diamanatkan Pasal 23 Ayat
(1) UU Guru dan Dosen.
Pola pendidikan guru di China yang
merekrut calon dari beberapa daerah, diasramakan dan diberi beasiswa,
merupakan contoh baik bagi Indonesia. Diambil dari daerah dan diberi beasiswa
akan memudahkan penempatan mereka setelah lulus.
Dengan diasramakan, proses
pendidikan dapat dilakukan 24 jam, sehingga efektif untuk pembinaan karakter.
Pemerataan
guru
Distribusi guru merupakan masalah
yang pelik. Secara agregat jumlah guru kita sangat cukup.
Rasio guru kita lebih baik
dibandingkan dengan Singapura dan Thailand, tetapi banyak sekolah di pedesaan
kekurangan guru (Jalal, 2010). Guru baru enggan ke daerah terpencil,
sebaliknya guru di daerah ingin pindah ke kota.
Tahun 1999 pernah ada program
redistribusi guru dengan batuan Bank Pembangunan Asia.
Namun, program tersebut tidak
berhasil karena kepindahan guru ke sekolah di pedesaan dimaknai sebagai
hukuman. Oleh karena itu, diperlukan pola karier guru yang mengaitkan
perpindahan ke daerah terpencil sebagai bagian dari pembinaan karier.
Ketidaksesuaikan isi dan metode
pembelajaran juga terkait dengan pembinaan profesionalisme guru, tetapi kita
belum mempunyai pola yang mapan.
Di negara maju, guru wajib
mengikuti pelatihan setiap tahun. Mereka juga mempunyai Professional Learning Community (PLC) sebagai wahana diskusi.
Kita punya MGMP (Musyawarah Guru
Matapelajaran) dan KKG (Kelompok Kerja Guru) yang mirip dengan PLC. Hanya
saja kegiatan MGMP dan KKG biasanya hanya untuk menyusun RPP (Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran). Padahal PLC dan MGMP dan KKG merupakan wahana
bagus bagi guru untuk berbagi pengalaman dan gagasan.
Kita juga pernah punya sanggar
MGMP dan KKG yang dikembangkan melalui proyek Bank Dunia. MGMP dan KKG perlu
diaktifkan kembali.
Dengan teknologi modern, kegiatan
MGMP/KKG/sanggar dapat dihubungkan dengan Pusat Sumber Belajar (PSB) di
universitas agar dapat berbagi pengalaman dan keahlian. Apalagi sekarang guru
sudah mendapatkan tunjangan profesi untuk mengembangkan profesionalisme. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar