Spektrum Otonomi Kekhususan
Irfan Ridwan Maksum ;
Ketua Program Pascasarjana Ilmu Administrasi,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Indonesia
|
KOMPAS,
28 Januari 2014
POLITIK yang memanas pada 2014
ini diperkirakan dibarengi dengan pergeseran hubungan pusat-daerah.
Pergeseran pola hubungan itu telah
berulang kali terjadi. Perpindahan dari masa penjajahan ke masa kemerdekaan
lalu bergeser ke masa demokrasi liberal, kemudian dari demokrasi liberal ke
demokrasi terpimpin, dari demokrasi terpimpin ke masa Soeharto, hingga yang
terakhir ini dari masa Soeharto ke masa Reformasi selalu ditandai dengan
pergeseran pola hubungan pusat-daerah.
Bahkan, jauh sebelumnya, menurut
Hoessein (1993), pada 1903 di bumi Nusantara terjadi perubahan pola hubungan
pusat-daerah lantaran di Belanda terjadi perputaran arus politik yang keras
menyangkut hubungan antara raja, perdana menteri, menteri urusan negeri
jajahan, dan gubernur Hindia Belanda.
Tampaknya hubungan pusat-daerah
yang mengguncang adalah soal keinginan beberapa daerah mengikuti Aceh, Yogya,
Papua, dan Jakarta untuk mendapat kekhususan. Sementara itu, kita tahu
Gubernur DKI Joko Widodo (Jokowi) geram mengatasi persoalan Jakarta dengan
kekhususannya sebab tak mampu menghadapi kekuasaan beberapa unit pusat yang
semestinya memberi kontribusi di wilayahnya.
Persoalan Papua tak kunjung
padam. Masalah bendera Aceh belum tuntas. Daerah Istimewa Yogyakarta
menimbulkan efek berantai kepada sejumlah wilayah bekas kesultanan di
Indonesia.
Gradasi
Kekhususan dalam otonomi muncul
karena ketakpuasan daerah akan kebijakan pusat. Pertanyaannya, apakah dalam
konteks negara bangsa, perubahan yang timbul mendorong diskriminasi hubungan
pusat-daerah. Munculnya istilah khusus ini merupakan respons atas
standardisasi, biasanya dilakukan di berbagai negara yang berbentuk kesatuan.
Di negara federal, kekhususan amat
jarang muncul. Kalaupun ada, ia muncul didorong faktor budaya yang amat sulit
diakomodasi dalam struktur dasar federalnya. Contohnya, Negara Bagian Quebec
di Kanada. Struktur pemerintahan federal Kanada tak menampung kekhasan
kultural penduduk Quebec sehingga penduduknya menuntut lebih dari sekadar
tata kelola yang ada.
Sebagai catatan: di negara
federal, negara bagian masing-masing memiliki UUD yang antara lain mengatur
struktur pemerintahan daerah masing-masing. Di negara kesatuan hal tersebut
tak mungkin sebab hanya satu UUD. Struktur pemerintahan di bawahnya secara
nasional diatur dalam satu UU mengenai pemerintahan daerah yang berdasar UUD
tersebut.
Sebetulnya dapat dipolakan gradasi
kekhususan yang terjadi dalam relasi pusat-daerah. Gradasi itu umumnya
ditengarai tiga aspek: (1) pola tata kelola internal; (2) besar kewenangan;
(3) besar sumber keuangan. Tuntutan yang bergulir setelah Papua, Aceh, dan
Yogya agaknya lebih ke sumber keuangan, tuntutan kekhususan yang amat
vulgar.
Secara konseptual, dalam
desentralisasi, besar kewenangan dan besar sumber keuangan mengikuti
apa yang menjadi makna otonomi itu sendiri. Sudah seharusnya daerah yang
tidak memiliki laut, katakanlah, tidak mengurusi soal kelautan atau berbagai
hal mengenai laut.
Begitu pula mengenai sumber
keuangan, terdapat block grant yang
mengikuti kemauan daerah jika dikembangkan sesuai dengan konsep dan
spirit block grant. Tentu
antara satu daerah dan daerah lain akan berbeda dalam hal ini, terlebih
karena terdapat pendapatan asli daerah.
Kekhususan masa depan
Dua pertimbangan kekhususan yang
mungkin dapat dibuat di Indonesia di masa depan.
Pertama, menyangkut kekhususan
untuk daerah-daerah metropolitan dan megalopolitan. Kedua, kekhususan dengan
sistem nonprefektorat.
Kota-kota besar Indonesia jika
tidak diakomodasi dalam kekhususan—seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar,
Semarang, dan Bandung—tetap akan berperilaku standar dan tidak mampu bersaing
dengan kota-kota internasional lainnya di dunia. Kekhususan yang dimaksud
bukan kekhususan seperti Jakarta sekarang, melainkan terobosan fungsional
dalam tata kelola internal kotanya.
Pertimbangan menyusun kekhususan
di negara Indonesia yang menganut prefektoral terintegrasi sejak masa Hindia
Belanda juga dapat dilakukan dengan menyusun pola nonprefektorat. Artinya,
kita rancang respons tuntutan daerah akan kekhususan dengan memberikan
peluang tata kelola internalnya dengan tidak menganut wakil pemerintah,
seperti negara-negara yang berkiblat ke Inggris-Amerika Serikat yang berpola
fungsional.
Di daerah-daerah tersebut, DPRD
menjadi pengendali utama dengan kepala daerah diambil dari anggota DPRD
sebagai CEO (commissioner-system),
atau berpola managerial yang diambil dari elemen masyarakat yang
dipilih DPRD (council-manager system).
Jadi, bukan soal wewenang atau sumber keuangan semata.
Kedua pola di atas, jika
diterapkan di Indonesia, tampaknya tidak mengganggu struktur negara Indonesia
sebagai negara kesatuan dan mendorong relasi yang lebih akomodatif,
fleksibel, berkarakter lokal, dan mendorong keefektifan dan efisiensi
pemerintahan. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar