Guru
di Daerah Terdepan
Menjadi “Magister Segala Ilmu”
Tri
Marhaeni PA ; Guru Besar Antropologi,
Kepala
Pusat Pengembangan Kurikulum dan Inovasi Pendidikan
Lembaga
Pengembangan Pendidikan & Profesi LP3) Universitas Negeri Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 29 Januari 2014
"Perjuangan peserta SM3T mestinya menginspirasi pendidik
lain untuk menjadi pengabdi sesungguhnya"
”KAMI bangga mengikuti SM3T. Terima kasih SM3T...” Kalimat itu diucapkan oleh peserta program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal
(SM3T) sambil tersenyum cerah. Ini adalah program pengabdian sarjana
pendidikan untuk berpartisipasi dalam percepatan pembangunan pendidikan di
daerah terdepan, terluar, dan tertinggal selama satu tahun sebagai penyiapan
pendidik profesional yang akan dilanjutkan dengan program Pendidikan Profesi Guru (PPG).
Luar biasa, para sarjana
pendidikan muda usia ini mengucapkan terima kasih dengan tulus dan berbinar,
karena mereka bisa mengikuti program SM3T. Apa jawaban mereka ketika ditanya
mengapa berterima kasih? Bukankah itu tugas berat: di daerah terdepan,
terluar, dan tertinggal? Tak jarang bertambah dengan ”terdampar, telantar,
dan tak terdengar”? Dengan wajah sumringah mereka menjawab, ”Andai tidak ikut SM3T, saya tidak akan
pernah melihat betapa kaya dan suburnya wilayah Indonesia ini, juga begitu
indah pulau-pulau yang ada di negeri ini”
Universitas Negeri Semarang
sebagai lembaga yang menghasilkan pendidik, menyelenggarakan program
pemerintah ini sejak 2011. Animo pesertanya cukup besar. Penyelenggaraan, pengawasan,
monitoring, dan evaluasi di bawah Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Profesi
(LP3). Lembaga inilah yang secara operasional bertanggung jawab atas
terselenggaranya program SM3T.
Peserta SM3T bertugas
melaksanakan pembelajaran pada satuan pendidikan sesuai dengan bidang
keahlian atau tuntutan kondisi setempat. Mendorong kegiatan inovasi
pembelajaran di sekolah,melakukan kegiatan ekstrakurikuler, membantu
tugas-tugas yang terkait dengan manajemen pendidikan di sekolah, serta tugas
sosial dan pemberdayaan masyarakat untuk mendukung program pembangunan
pendidikan dan kebudayaan di daerah 3T.
Betapa berat beban para
”pejuang sunyi” itu. Dengan kondisi yang jauh dari nyaman, mereka harus
melaksanakan tugas yang sedemikian banyak dan berat. Tak jarang mereka juga
harus jadi ”dokter” untuk masyarakat setempat. Mereka ”harus bisa segalanya”:
menjadi tempat bertanya karena dianggap mengetahui segalanya. Maka saya
menjuluki mereka itu ”MSi” alias ”Magister
Segala Ilmu”.
Antusiasme Pengabdian
Program SM3T sangat terasa
manfaatnya. Dan, yang paling membanggakan, banyak sarjana pendidikan yang
masih muda dengan antusias mengikuti. Jangan bertanya tentang bagaimana
implementasi Kurikulum 2013. Listrik saja tidak ada di wilayah kerja mereka.
Jangan ditanya kedisiplinan jam belajar siswa. Mereka masih menyusuri sungai
menembus hutan di keremangan pagi ketika matahari masih malu-malu
menyemburatkan merahnya.
Geliat sekolah baru dimulai
pukul 08.00. Jangan bertanya tentang kegiatan ekstrakurikuler. Sebagian
mereka yang kesekolah masih tak bersepatu, terkadang hanya memakai sandal.
Jangan berpikir tentang drum band, baris berbaris, dan sejenisnya. Upacara
bendera saja tidak terpikirkan.
Pemerintah setempat yang
ditempati para sarjana pengabdi ini merasa bangga dan berterima kasih. Di
tengah kebingungan dan keputusasaan tentang kekurangan guru di daerah
terpencil, kedatangan guru-guru muda di program SM3T itu menjadi energi luar
biasa bagi masyarakat setempat.
Tak jarang peserta SM3T harus
berjibaku ”menaklukkan hati” agar kerasan di tempat yang berbeda adat,
budaya, kebiasaan, bahkan keyakinan dan kepercayaannya. Belum lagi kondisi
yang tidak berlistrik dan bersinyal telepon. Segala peralatan canggih yang
dibawa dari Semarang seolah-olah tak berguna.
Bagaimana mau men-charge
laptop? Listrik tidak ada. Bagaimana mau berkomunikasi? Sinyal pun tak ada. ”Dulu saya lari-lari ke atas bukit atau ke
tanah lapang untuk mendapatkan sinyal HP, tetapi sia-sia. Dua minggu pertama
itu selalu saya lakukan, dengan perasaan sedih dan jengkel, tetapi akhirnya
sekarang tidak lagi. Saya bisa menerima kondisi itu,” tutur Eva yang
bertugas di SDN 20 Perbuak, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat.
Maka saya sangat senang ketika
Unnes juga mencanangkan program Professor
Goes to School. Idealnya program ini bisa terus berlangsung, meskipun tak
bisa serentak semua sekolah kami kunjungi, karena jumlah guru besar di Unnes
tak berimbang dengan jumlah sekolah. Akan tetapi kami berjanji akan terus
berbagai pengalaman ke sekolah-sekolah, meskipun nantinya tak ada lagi
program ini. Secara pribadi sudah saya lakukan jauh sebelum ada program Professor Goes to School, meskipun
baru untuk SD tempat saya belajar dulu.
Perjuangan peserta SM3T
mestinya menginspirasi pendidik-pendidik lain untuk menjadi pengabdi yang
sesungguhnya di lingkungan mana pun mereka berada. Selamat bertugas, para pengabdi. Terima dengan biasa, tetapi
sikapilah dengan luar biasa... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar