Media Sosial dan Keberadaan Kita
Agus Sudibyo ;
Koordinator Perumusan Peraturan Dewan Pers
tentang Pedoman Pemberitaan Media Siber
|
KOMPAS,
28 Januari 2014
MEDIA
sosial dalam berbagai bentuknya memainkan peranan yang semakin diperhitungkan
dalam wacana publik di Indonesia dewasa ini.
Hampir tak ada perkembangan sosial
politik yang luput dari kritisisme aktivis media sosial. Hampir tidak ada isu
aktual yang tak digunjingkan melalui ruang media sosial. Semua
pihak—masyarakat, pemerintah, politisi, penegak hukum, selebritas,
aktivis—merasa berkepentingan mengikuti perdebatan media sosial,
mempertimbangkannya sebagai saluran komunikasi dan informasi yang cukup
menentukan.
Harus diakui, fenomena media
sosial berkontribusi positif bagi proses demokratisasi dan deliberasi di
Indonesia. Media sosial memungkinkan individu bertindak sebagai subyek yang
otonom di ruang publik. Setiap warga didorong untuk secara partisipatoris
terlibat dalam proses pencarian, penyebaran, dan pertukaran informasi. Setiap orang adalah jurnalis, setiap orang adalah sumber.
Media sosial menutupi kelemahan
praktik komunikasi di media massa. Dalam statusnya sebagai ruang publik,
media massa kenyataannya tak memberikan akses memadai kepada orang kebanyakan
untuk terlibat dalam berbagai perdebatan. Pemberitaan media terkondisikan
untuk selalu mengutip sumber elite: pemerintah, DPR, akademisi, pengamat, dan
aktivis LSM.
Tanpa banyak disadari, orang
kebanyakan hanya jadi penonton dalam diskursus media. Elitisme juga terjadi
dalam pemilihan tema berita. Sebagian besar pemirsa televisi kita adalah
kelas menengah ke bawah, tetapi dialog-dialog di televisi hampir selalu hanya
mencerminkan problem, minat, atau sensibilitas kelas menengah ke atas.
Persoalan ini berhasil diatasi
media sosial dengan menawarkan platform yang memungkinkan perwujudan
egalitarianisme dan kesetaraan. Media sosial memungkinkan setiap orang
berpendapat langsung, terlibat dalam diskusi, bahkan turut menentukan tema
yang perlu didiskusikan. Siapa pun boleh berbicara tentang apa saja. Siapa
pun boleh berdiskusi dan menyanggah pendapat siapa saja. Dari perspektif
demokrasi dan deliberasi publik, ini adalah kemajuan yang patut disambut.
Persoalannya, diskusi di ruang
publik juga harus dilandasi etika dan kepantasan. Kebebasan berpendapat kita
dibatasi hak orang lain untuk diperlakukan secara adil serta hak semua orang
atas ruang publik yang steril dari sumpah seranah, sikap permusuhan, dan
pergunjingan pribadi. Jika disepakati bahwa media sosial adalah sebentuk
ruang publik, tentu prinsip ini juga harus berlaku untuk media sosial tanpa
pengecualian.
Keadaban publik
Pada titik inilah kita mendapati
problem surplus kebebasan berpendapat dalam arena media sosial. Kebebasan
berpendapat itu belum sepenuhnya dilandasi penghormatan terhadap hak-hak
orang lain dan nilai-nilai keadaban publik. Dalam berbagai isu, media sosial
tampak digunakan sebagai sarana menghujat, mencaci maki, atau merendahkan
pihak tertentu. Yang kita temukan di media sosial tidak sekadar kritik yang
argumentatif, tetapi juga kritik yang apriori dan kasar. Dengan mudahnya satu
pihak menghakimi pihak lain tanpa ada mekanisme klarifikasi dan umpan balik.
Hiperaktualitas dan interaktivitas
sebagai keunggulan komparatif media sosial telah mendorong kita untuk
melontarkan pernyataan spontan, otomatis, dan tanpa berpikir
panjang. Gairah dan suasana diskusi di media sosial mengondisikan kita
berbicara sesegera dan seaktual mungkin, ”jangan sampai didahului orang
lain”.
Akibatnya, kita kerap tak sempat menimbang-nimbang kepantasan dan
dampak suatu pernyataan. Kita baru menyadari ketika sudah muncul kontroversi,
debat kusir, atau penghakiman terhadap suatu pihak.
Meminjam istilah Hannah Arendt,
kita kehilangan kemampuan untuk berdialog dengan diri sendiri dan
mempertimbangkan kata hati sebelum bertindak dan berucap. Kemampuan yang
sangat penting agar kita mampu menenggang nasib dan perasaan orang lain, tak
sekadar mengikuti naluri-naluri yang egoistik-anarkis. Kemampuan menenggang
nasib dan perasaan orang lain inilah esensi sesungguhnya dari hidup
bermasyarakat.
Selain itu, diskusi di media
sosial memungkinkan kita menyamarkan identitas diri dan berbicara secara
anonim. Persoalannya, sebagaimana dikatakan sosiolog George Simmel, di mana
ada anonimitas di situlah muncul potensi iresponsibilitas. Tentu tidak
semua anonymous adalah pribadi-pribadi yang tidak bertanggung jawab. Namun, tidak sedikit orang yang menggunakan nama
samaran atau akun anonim untuk berbicara seenaknya dan mem-bully orang
lain. Menggunakan analogi Simmel, mereka seperti manusia-manusia bertopeng
yang dapat bertindak jahat terhadap orang lain tanpa seorang pun tahu siapa
jati dirinya, tanpa harus bertanggung jawab.
Sungguh disayangkan jika
negativitas media sosial itu justru menutupi potensi-potensi
demokratif-deliberatif sebagaimana telah dijelaskan di atas. Sudah semestinya
kita berharap kebiasaan menumpahkan kemarahan atau ketidaksetujuan di media
sosial dengan sumpah seranah, cemoohan, dan penistaan—sebagaimana sering
terjadi belakangan ini—hanya gejala sementara. Kita berharap kebiasaan buruk
itu hanya gejala residual yang tidak permanen dan tidak mencerminkan
perkembangan keadaban kita sebagai bangsa.
Bagaimana kita mampu mengatur diri
dalam bersikap dan berperilaku di media sosial pada akhirnya juga menentukan
bagaimana kualitas keadaban kita. Dalam konteks ini, ada baiknya
para aktivis jejaring sosial melangkah lebih jauh dalam merumuskan
semacam kode etik berkomunikasi dan berinteraksi di media sosial. Hal ini
bukan ide baru, tetapi mendesak diwujudkan. Meski tak akan mudah dalam
pelaksanaannya, tetap lebih baik jika aktivis jejaring sosial mampu mengatur
dirinya sendiri daripada inisiatif itu diambil dan dilaksanakan oleh negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar