Pembangunan
Terpuntal-puntal dan
Mewaspadai Politik Uang
Musa Maliki ;
Pengajar FISIP UPN Veteran Jakarta dan Al Azhar
|
SINAR
HARAPAN, 27 Januari 2014
Apa yang sedang terjadi di Indonesia
sekarang? Sudah mulai terlihat jelas pemerintah sampai saat ini terpuntal-puntal. Istilah ini pas untuk menjelaskan
dua kali pemerintahan saat ini (SBY) yang tidak mempunyai visi pembangunan
strategis dan jelas.
Berapa banyak pengamat, ahli, intelektual,
dan agamawan mengingatkan pemerintah bahwa strategi pembangunan jangka
panjang itu penting.
Jadi, istilah terpuntal-puntal adalah
gambaran ketidaksiapan pemerintahan SBY terhadap perkembangan masyarakat
Indonesia yang begitu cepat berubah dan memang terlihat berjalan tunggang
langgang.
Visi pembangunan dalam program MP3EI yang
dicanangkan SBY justru mempercepat proses penjualan negara dengan dalih-dalih
hukum dan kepentingan rakyat, bukan visi yang melihat masa depan demi bangsa. MP3EI adalah program yang justru di
lapangan membuat rakyat yang berkecimpung di sektor pertanian, peternakan,
perkebunan, dan migas justru dipinggirkan oleh korporasi besar-besaran.
Program MP3EI justru menampilkan
ketidakberdayaan pemerintah mengelola kekayaan bangsa ini. Ketidakberdayaan ini adalah
kedaulatan bangsa Indonesia yang sudah digadaikan untuk korporasi-korporasi
besar. Misalnya UU Migas 2009.
Di sisi rakyat, globalisasi (kapitalisme
global) mencabut nilai, prinsip, dan kebangsaan warga Indonesia sehingga mereka
tidak tahu apa yang seharusnya mereka perjuangkan dalam (untuk) berbangsa dan
bernegara. Sebagian besar dari warga Indonesia memikirkan diri sendiri,
termasuk elite politiknya, khususnya di DPR. Pikiran ini dikendalikan
kapitalisme global (ini sebuah sistem, bukan orang).
Kapitalisme global dibahasakan sederhana,
sebagai pola pikir material yang hanya memuaskan hasrat sementara sehingga
manusia dipaksa (terpaksa) harus bekerja untuk mencari uang dengan cara apa
pun. Warga Indonesia dipacu
untuk bekerja lalu mengonsumsi terus-menerus. Hal ini demi percepatan
pembangunan, padahal menopang kapitalisme global.
Sifat Dasar Alamiah Manusia
Sebagian besar orang yang tinggal di
Indonesia sekarang ini beramai-ramai mengeksploitasi apa pun untuk keselamatan diri masing-masing. Hal ini sangat alamiah sebagai sifat
dasar manusia.
Mereka ingin selamat dari derasnya arus
kapitalisme global dari aspek mana pun (politik, ekonomi, pendidikan, dan
lain-lain). Sistem ini memaksa
semua orang bertindak demi uang sebagai penyelamat.
Misalnya, menjelang pemilu, warga sudah
cukup sadar memilih DPR/MPR dan pemerintahan harus baik dan amanah. Namun, kesadaran
ini tidak didukung kondisi alamiah bahwa proyek triliunan dan miliaran
pemerintah dipersiapkan untuk elite DPR dan MPR agar mereka dipilih lagi.
Sekarang ini, mereka sudah mengantongi
minimal Rp 1 miliar berupa proyek pemerintah untuk menjaring warganya dalam
Pemilu 2014. Walaupun rakyat menyadari politik uang ini, sebagian besar tidak
ada pilihan untuk memilih politikus busuk, korup, dan eksploitatif karena
sandera proyek-proyek pembangunan di wilayah mereka.
Mereka memilih orang yang sama agar mereka
mendapat bantuan proyek sosial, proyek pekerjaan umum, dan ESDM, seperti
infrastruktur, proyek sosial, khususnya perbaikan rumah warga, pembangunan
masjid, wihara, dan gereja. Permainan antara jajaran pemerintah dan DPR, yang
tentunya memiliki asal usul partai yang sama, ramai-ramai menjaring suara
pada Pemilu 2014.
Banyak elite politik yang melakukan
persiapan politik tebar uang. Jalannya pemerintah terlihat terpuntal-puntal
dan masyarakat terlihat apolitik karena tunggang langgang bekerja demi uang.
Politik tebar uang ini sedang diproses dan akan dieksekusi saat Pemilu 2014.
Tebaran dolar menuju pemilu ini sepertinya
perlu penelitian lebih serius, terkait neraca pembayaran Indonesia yang
semakin defisit. Singkat kata, jangan-jangan melemahnya rupiah karena
rata-rata elite politiknya sedang dalam proses tebar uang.
Krisis ekonomi-politik sepertinya terlihat
jelas dan memang selalu diungkapkan setiap pengamat negeri ini.
Pertama, infrastruktur yang sama sekali
tidak siap, sampai-sampai banyak pengamat perkotaan dan infrastruktur
memprediksi tidak lebih dari 10 tahun lagi Jakarta akan berhenti sama sekali,
diikuti kota besar lainnya karena jalan sudah menjadi tempat parkir bagi
warga yang semakin makmur. Banjir juga akan terus meluas ke seluruh
Indonesia, jika eksekusi pusat dan sistemnya masih disintegrasi seperti
sekarang.
Kedua, kemakmuran warga Indonesia lebih
cepat daripada fasilitas untuk warganya. Jadi, kemakmuran warga berbanding
terbalik dengan ruang hidup kemakmurannya. Singkat kata, kemakmuran ekonomis
tidak berarti hal yang positif.
Ketiga, ketimpangan semakin melebar menjadikan warga yang makmur
meningkat, tetapi kemiskinan pun meningkat dari 2011-2013 (BPS 2013).
Peningkatan kemiskinan ini diperparah dengan dana sosial yang masih juga
disunat tiap rangkaian birokrasi. Selain itu, program semacam IDT ditiadakan
sehingga pemberdayaan rakyat pedesaan menurun.
Keempat, implementasi UU agraria di lapangan menjadi suatu komoditas.
UU ini memberi kuasa penuh pemerintah, dengan membantu korporasi menguasai
kebun dan hutan agar dikelola sebagai industri atau pabrik besar, sementara
para elitenya menguasai beberapa perkebunan yang digarap numpang oleh
korporasi besar tersebut. Dari
situlah mereka mendulang uang untuk kampanye dan misi materialismenya.
Nada pesimistis ini sekadar menjadi
renungan bagi kita semua, agar di antara kita yang sekiranya cukup kuasa
bergerak cepat untuk perbaikan negeri ini.
Sekiranya yang masih mempunyai cukup energi
dan keyakinan membuat gerakan tersendiri melawan kapitalisme global dan
sistem korup bangsa ini. Mereka yang tidak henti-hentinya jujur dan berkorban
terus-menerus menyuarakan nyanyian-nyanyian rakyat. Marilah kita tetap
berjuang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar