Ekspor Mineral
Mentah dan Pelecehan UU
Ahmad Redi ;
Doktor Hukum UI, Pengamat Hukum Pertambangan,
Pengajar Pascasarjana FH UPH Jakarta dan FH Untar Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 07 Januari 2014
SEKARANG seperti sedang dilakukan
hitung mundur tentang situasi pertambangan di Indonesia. Tanggal 12 Januari
2014 merupakan batas bahwa semua perusahaan tambang di Indonesia harus sudah
melakukan pemurnian produk mereka sebelum diekspor.
Semua itu dilakukan agar hasil
tambang mineral Indonesia tidak diangkut mentah-mentah ke luar negeri oleh
perusahaan tambang. Oleh karena itu, perlu dibangun fasilitas pemurnian
(smelter) di dalam negeri. Pelaksanaan pemurnian di dalam negeri dimaksudkan
antara lain untuk meningkatkan dan mengoptimalkan nilai tambah produk,
tersedianya bahan baku industri, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan
penerimaan negara.
Secara normatif, pengaturan
mengenai kewajiban pemurnian mineral di dalam negeri diatur dalam Pasal 170
Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (UU
Minerba) yang mengatur bahwa semua pemegang kontrak karya (KK) yang sudah
berproduksi wajib melakukan pemurnian di dalam negeri selambat-lambatnya lima
tahun sejak UU Minerba diundangkan. Konsekuensi yuridisnya, yaitu pada 12
Januari 2014, semua pemegang KK termasuk perusahaan-perusahaan tambang
raksasa seperti PT Freeport dan PT Newmont Nusa Tenggara harus telah
melakukan pemurnian hasil tambang mereka di dalam negeri.
Berdasarkan Pasal 170 tersebut,
beberapa hari lagi semua pemegang KK harus melakukan pemurnian di dalam
negeri. Apakah saat ini kegiatan pemurnian tersebut sudah terlaksana?
Nyatanya, hingga saat ini pemurnian oleh perusahaan tambang yang ditandai pembangunan
fasilitas smelter baik sendiri atau bersama-sama belum terlaksana. Pun bila
dianggap telah ada kegiatan pemurnian, kegiatan tersebut untuk sebagian kecil
hasil tambang mereka dilakukan melalui kerja sama dengan pihak lain, misalnya
antara PT Freeport dan PT Newmont Nusa Tenggara dan PT Smelting Gresik. Bahkan,
perusahaan tambang lebih memilih membangun smelter di luar negeri, misalnya di Jepang dan Spanyol untuk
memurnikan mineral mentah (ore)
yang berasal dari Indonesia.
Pelecehan
UU?
Bila sampai 12 Januari nanti
perusahaan pemegang KK belum melakukan pemurnian di dalam negeri sebagaimana
diperintahkan Pasal 170 UU Minerba, berarti telah terjadi pengingkaran
terhadap UU. Pengingkaran terhadap UU merupakan pengingkaran terhadap
kehendak rakyat. Dalam proses penyusunan RUU Minerba saat itu, diskursus
mengenai kewajiban pemurnian dalam negeri ini menjadi diskursus yang panas
karena menyangkut isu nasionalisme. Bila sudah diberi waktu yang cukup
panjang (5 tahun), tapi tidak juga membangun bahkan untuk tahap studi
kelayakan pun belum, berarti sudah ada iktikad tidak baik dari pemegang KK
untuk mematuhi UU. Hal itu sama dengan pelecehan terhadap kehendak rakyat
yang terkristalisasi dalam pasalpasal UU.
Di sisi lain, akibat tidak
dilakukan pemurnian di dalam negeri tersebut, pemerintah harus menelan pil
pahit karena apabila pemurnian di dalam negeri tetap dipaksakan pada 12
Januari sesuai UU Minerba, akan menimbulkan berbagi persoalan baru.
Terdapat
dua dampak dari pelaksanaan Pasal 170 UU Minerba tersebut. Pertama, sebagai
konsistensi kepatuhan atas pengaturan Pasal 170 UU Minerba, pemerintah harus
melarang ekspor mineral yang tidak dimurnikan di Indonesia. Kedua,
konsistensi pelaksanaan penghiliran tersebut akan berakibat paling tidak pada
tenaga kerja, devisa negara, penerimaan negara, dan dampak sosial.
Pertama dampak tenaga kerja.
Apabila kewajiban pemurnian tetap dilaksanakan pada 12 Januari, akan terjadi
penurunan produksi bahkan berhentinya kegiatan penambangan. Hasil tambang
yang dikenai kewajiban pemurnian di dalam negeri tidak dapat dimurnikan
karena belum siapnya smelter yang
akan memurnikan hasil tambang di dalam negeri. Dengan penurunan produksi,
diperkirakan akan terjadi lay off
(PHK) tenaga kerja besar-besaran, dan hal itu menjadi masalah baru pada saat
pemerintah bergiat pada kebijakan pro
job.
Kedua, dampak devisa. Pemberlakuan
larangan ekspor mineral akan mengakibatkan berkurangnya penerimaan devisa
dari ekspor kurang lebih sebesar US$5 miliar. Selanjutnya, ketiga, dampak
penerimaan negara. Berhentinya kegiatan usaha pertambangan berdampak pada
penerimaan negara yang berasal dari pajak, bea keluar, dan penerimaan negara
bukan pajak. Terakhir, dampak sosial. Pemberlakuan larangan ekspor akan
menimbulkan permasalahan terhadap kegiatan ekonomi dan sosial khususnya di
Papua dan NTB akibat turunnya kegiatan produksi pertambangan mineral PT
Freeport dan PT Newmont Nusa Tenggara.
Solusi
kebijakan
Pertama, kebijakan larangan ekspor
menjadi salah satu instrumen solusi bagi perusahaan tambang yang tetap tidak
memurnikan hasil tambang di dalam negeri. Selama ini, tanah Indonesia berupa
hasil tambang, mentah-mentah dibawa untuk dimurnikan di negara lain dan
memberikan keuntungan bagi negara tersebut.
Padahal, Indonesia sebagai
penguasa sesung guhnya komoditas tersebut tidak maksimal mendapatkan manfaat.
Pemerintah harus berani untuk melarang ekspor atas komoditas yang belum
diolah dan dimurnikan di dalam negeri. Bila ada perusahaan tambang yang tetap
membawa komoditas tambang untuk diekspor tanpa diolah dan dimurnikan di dalam
negeri, pengingkaran terhadap UU Minerba secara nyata terjadi. Di sisi lain,
kebijakan itu akan berdampak luas dan sistemis.
Kedua, apabila kebijakan larangan
ekspor tidak dilakukan, Presiden dapat saja mengeluarkan perppu penundaan
kewajiban pemurnian di dalam negeri. `Hal ihwal kegentingan memaksa' dari
penundaan itu ialah apabila tetap dipaksakan, pelaksanaan pemurnian di dalam
negeri akan berdampak pada lay off
tenaga kerja besarbesaran. Dampak sosial khususnya Papua dan NTB yang
sebagian besar pendapatan asli daerah mereka bersumber melalui penerimaan
dari PT Freeport dan PT Newmont Nusa Tenggara. Di sisi lain, langkah itu
memiliki kelemahan, yaitu penerbitan perppu memiliki risiko politik yang
tinggi. Selain itu, alasan sosiologis bahwa pemerintah saat ini terlalu
`ringan' dan sering mengalami `kegentingan yang memaksa' berdampak pada
lemahnya wibawa pemerintah.
Ketiga, revisi kedua PP No 23
Tahun 2010. Pemerintah dapat saja melarang ekspor bagi perusahaan tambang
yang belum sama sekali memurnikan hasil tambangnya di dalam negeri. Namun,
bagi perusahaan yang telah melakukan pemurnian sebagian, misalnya 20%-30%
dari seluruh hasil tambangnya, dapat melakukan ekspor. Namun, itu dengan
pengaturan bahwa dalam jangka waktu tahun tertentu harus telah memurnikan
100% hasil tambangnya.
Pemerintah harus segera menentukan
kebijakannya, mengingat waktu yang ditentukan oleh UU Minerba, yakni 12
Januari 2014, telah dekat. Tentunya pemerintah akan mengeluarkan kebijakan
yang mengakomodasi semua kepentingan para pihak walau kebijakan tersebut,
pasti ada penolakan dan penerimaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar