Kamis, 09 Januari 2014

Ekspor Mineral Mentah dan Pelecehan UU

                Ekspor Mineral Mentah dan Pelecehan UU

Ahmad Redi  ;   Doktor Hukum UI, Pengamat Hukum Pertambangan,
Pengajar Pascasarjana FH UPH Jakarta dan FH Untar Jakarta
MEDIA INDONESIA,  07 Januari 2014
                                                                                                                        


SEKARANG seperti sedang dilakukan hitung mundur tentang situasi pertambangan di Indonesia. Tanggal 12 Januari 2014 merupakan batas bahwa semua perusahaan tambang di Indonesia harus sudah melakukan pemurnian produk mereka sebelum diekspor.

Semua itu dilakukan agar hasil tambang mineral Indonesia tidak diangkut mentah-mentah ke luar negeri oleh perusahaan tambang. Oleh karena itu, perlu dibangun fasilitas pemurnian (smelter) di dalam negeri. Pelaksanaan pemurnian di dalam negeri dimaksudkan antara lain untuk meningkatkan dan mengoptimalkan nilai tambah produk, tersedianya bahan baku industri, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan penerimaan negara.

Secara normatif, pengaturan mengenai kewajiban pemurnian mineral di dalam negeri diatur dalam Pasal 170 Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) yang mengatur bahwa semua pemegang kontrak karya (KK) yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian di dalam negeri selambat-lambatnya lima tahun sejak UU Minerba diundangkan. Konsekuensi yuridisnya, yaitu pada 12 Januari 2014, semua pemegang KK termasuk perusahaan-perusahaan tambang raksasa seperti PT Freeport dan PT Newmont Nusa Tenggara harus telah melakukan pemurnian hasil tambang mereka di dalam negeri.

Berdasarkan Pasal 170 tersebut, beberapa hari lagi semua pemegang KK harus melakukan pemurnian di dalam negeri. Apakah saat ini kegiatan pemurnian tersebut sudah terlaksana? Nyatanya, hingga saat ini pemurnian oleh perusahaan tambang yang ditandai pembangunan fasilitas smelter baik sendiri atau bersama-sama belum terlaksana. Pun bila dianggap telah ada kegiatan pemurnian, kegiatan tersebut untuk sebagian kecil hasil tambang mereka dilakukan melalui kerja sama dengan pihak lain, misalnya antara PT Freeport dan PT Newmont Nusa Tenggara dan PT Smelting Gresik. Bahkan, perusahaan tambang lebih memilih membangun smelter di luar negeri, misalnya di Jepang dan Spanyol untuk memurnikan mineral mentah (ore) yang berasal dari Indonesia.

Pelecehan UU?

Bila sampai 12 Januari nanti perusahaan pemegang KK belum melakukan pemurnian di dalam negeri sebagaimana diperintahkan Pasal 170 UU Minerba, berarti telah terjadi pengingkaran terhadap UU. Pengingkaran terhadap UU merupakan pengingkaran terhadap kehendak rakyat. Dalam proses penyusunan RUU Minerba saat itu, diskursus mengenai kewajiban pemurnian dalam negeri ini menjadi diskursus yang panas karena menyangkut isu nasionalisme. Bila sudah diberi waktu yang cukup panjang (5 tahun), tapi tidak juga membangun bahkan untuk tahap studi kelayakan pun belum, berarti sudah ada iktikad tidak baik dari pemegang KK untuk mematuhi UU. Hal itu sama dengan pelecehan terhadap kehendak rakyat yang terkristalisasi dalam pasalpasal UU.

Di sisi lain, akibat tidak dilakukan pemurnian di dalam negeri tersebut, pemerintah harus menelan pil pahit karena apabila pemurnian di dalam negeri tetap dipaksakan pada 12 Januari sesuai UU Minerba, akan menimbulkan berbagi persoalan baru. 

Terdapat dua dampak dari pelaksanaan Pasal 170 UU Minerba tersebut. Pertama, sebagai konsistensi kepatuhan atas pengaturan Pasal 170 UU Minerba, pemerintah harus melarang ekspor mineral yang tidak dimurnikan di Indonesia. Kedua, konsistensi pelaksanaan penghiliran tersebut akan berakibat paling tidak pada tenaga kerja, devisa negara, penerimaan negara, dan dampak sosial.

Pertama dampak tenaga kerja. Apabila kewajiban pemurnian tetap dilaksanakan pada 12 Januari, akan terjadi penurunan produksi bahkan berhentinya kegiatan penambangan. Hasil tambang yang dikenai kewajiban pemurnian di dalam negeri tidak dapat dimurnikan karena belum siapnya smelter yang akan memurnikan hasil tambang di dalam negeri. Dengan penurunan produksi, diperkirakan akan terjadi lay off (PHK) tenaga kerja besar-besaran, dan hal itu menjadi masalah baru pada saat pemerintah bergiat pada kebijakan pro job.

Kedua, dampak devisa. Pemberlakuan larangan ekspor mineral akan mengakibatkan berkurangnya penerimaan devisa dari ekspor kurang lebih sebesar US$5 miliar. Selanjutnya, ketiga, dampak penerimaan negara. Berhentinya kegiatan usaha pertambangan berdampak pada penerimaan negara yang berasal dari pajak, bea keluar, dan penerimaan negara bukan pajak. Terakhir, dampak sosial. Pemberlakuan larangan ekspor akan menimbulkan permasalahan terhadap kegiatan ekonomi dan sosial khususnya di Papua dan NTB akibat turunnya kegiatan produksi pertambangan mineral PT Freeport dan PT Newmont Nusa Tenggara.

Solusi kebijakan

Pertama, kebijakan larangan ekspor menjadi salah satu instrumen solusi bagi perusahaan tambang yang tetap tidak memurnikan hasil tambang di dalam negeri. Selama ini, tanah Indonesia berupa hasil tambang, mentah-mentah dibawa untuk dimurnikan di negara lain dan memberikan keuntungan bagi negara tersebut.

Padahal, Indonesia sebagai penguasa sesung guhnya komoditas tersebut tidak maksimal mendapatkan manfaat. Pemerintah harus berani untuk melarang ekspor atas komoditas yang belum diolah dan dimurnikan di dalam negeri. Bila ada perusahaan tambang yang tetap membawa komoditas tambang untuk diekspor tanpa diolah dan dimurnikan di dalam negeri, pengingkaran terhadap UU Minerba secara nyata terjadi. Di sisi lain, kebijakan itu akan berdampak luas dan sistemis.

Kedua, apabila kebijakan larangan ekspor tidak dilakukan, Presiden dapat saja mengeluarkan perppu penundaan kewajiban pemurnian di dalam negeri. `Hal ihwal kegentingan memaksa' dari penundaan itu ialah apabila tetap dipaksakan, pelaksanaan pemurnian di dalam negeri akan berdampak pada lay off tenaga kerja besarbesaran. Dampak sosial khususnya Papua dan NTB yang sebagian besar pendapatan asli daerah mereka bersumber melalui penerimaan dari PT Freeport dan PT Newmont Nusa Tenggara. Di sisi lain, langkah itu memiliki kelemahan, yaitu penerbitan perppu memiliki risiko politik yang tinggi. Selain itu, alasan sosiologis bahwa pemerintah saat ini terlalu `ringan' dan sering mengalami `kegentingan yang memaksa' berdampak pada lemahnya wibawa pemerintah.

Ketiga, revisi kedua PP No 23 Tahun 2010. Pemerintah dapat saja melarang ekspor bagi perusahaan tambang yang belum sama sekali memurnikan hasil tambangnya di dalam negeri. Namun, bagi perusahaan yang telah melakukan pemurnian sebagian, misalnya 20%-30% dari seluruh hasil tambangnya, dapat melakukan ekspor. Namun, itu dengan pengaturan bahwa dalam jangka waktu tahun tertentu harus telah memurnikan 100% hasil tambangnya.

Pemerintah harus segera menentukan kebijakannya, mengingat waktu yang ditentukan oleh UU Minerba, yakni 12 Januari 2014, telah dekat. Tentunya pemerintah akan mengeluarkan kebijakan yang mengakomodasi semua kepentingan para pihak walau kebijakan tersebut, pasti ada penolakan dan penerimaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar