Menggugat Egoisme Manusia
Aminuddin
; Peneliti Sosial di Politik
Bulaksumur Empat Research and Consulting (BERC) Yogyakarta
|
HALUAN,
29 Januari 2014
Bencana yang bertubi-tubi
menghiasi tanah air akhir-akhir ini menjadi refleksi bagi kita semua
bahwasanya alam sudah menuntut ha-haknya yang telah dirampas oleh manusia.
Banjir, gunung meletus, bahkan tanah longsor tidak lagi dianggap sebagai
ujian dari Sang Pencipta, melainkan peringatan keras bahwa manusia harus
mencintai alam.
Egoisme manusia yang
semakin merajalela mengakibatkan bumi, alam sekitar sudah resah dan gelisah
sehingga tidak lagi mentolerir apa yang dilakukan oleh manusia. Manusia
selalu ‘menelanjangi’ alam dengan pembalakan liar, eksploitasi besar-besaran,
ketidakseimbangan ekologi, pembakaran hutan, dan lain sebagainya. Alam dan
tumbuhan yang seharusnya berfungsi sebagai penyerapan air, tidak mampu
membendung datangnya air ketika hujan. Pada akhirnya, banjir terus terjadi
ketika hujan. Ini tidak lepas dari manusianya sendiri yang tidak pernah
sadar terhadap lingkungan.
Bencana gunung meletus di
Sinabung, banjir di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur merupakan bias dari ulah
manusia. Akibat dari banjir tersebut, perputaran dan aktivitas masyarakat
baik di sektor ekonomi, pendidikan dan sosial lumpuh total. Mereka berdiam
diri menunggu hilangnya air yang mengepung daerahnya. Terisolasinya
aktivitas perekonomian masyarakat akan berdampak sistemik terhadap
harga-harga kebutuhan pokok. Semakin sedikit penyediaan kebutuhan, di situ
juga akan semakin naik harganya. Begitupun dengan distributor sayur-mayur
yang biasa mendistribusikan setiap hari, otomatis akan mengalami kemacetan
akibat banjir. Bukan tidak mungkin kebutuhan pokok akan membusuk karena
tidak sampai kepada konsumen.
Kita lihat jalur pantura
yang lumpuh total berhari-hari karena rusaknya infrastruktur akibat
banjir. Lumpuhnya jalur tersebut tidak hanya merugikan aktivitas manusia,
melainkan merugikan secara ekonomi. Sementara aktivitas pendidikan jelas
sekali kerugiannya sangat terasa. Mereka akan berhenti dalam proses
pembelajaran. Selain karena jalan yang tidak dapat dilewati, sekolah-sekolah,
kampus, institusi dan lain sejenisnya tidak dapat dipakai akibat terendam
banjir.
Minimnya Daerah Aliran
Sungai (DAS) yang terjadi akhir-akhir ini disinyalir sebagai salah satu
faktor menghegemoninya banjir. Daerah yang seharusnya menjadi resapan air, dialihfungsikan
menjadi perumahan, dan gedung-gedung bertingkat. Begitu juga dengan hulu yang
semula hutan, dipermak menjadi daerah bangunan dan pabrik-pabrik. Fakta
itu bukan mengada-ada. Menurut data yang dikeluarkan oleh kantor Kementerian
Lingkungan Hidup, Indonesia mengalami penurunan dan kerusakan ekologi dan
degradasi lingkungan. Dari 49,37 persen pada 2008 menjadi 47,73 persen pada
2012 atau mengalami degradasi 1,64 persen dalam waktu empat tahun. Begitu pun
di daerah aliran Sungai Ciliwung, terjadi penurunan luas tutupan hutan dari
9,4 persen pada 2000 menjadi 2,3 persen pada 2010 atau mengalami laju
degradasi 7,14 persen dalam kurun waktu 10 tahun atau 0,7 persen per tahun.
Jelas sekali bencana kali
ini adalah dampak dari keteledoran pihak terkait (pemerintah dan masyarakat)
menangani banjir dan mencegah terjadinya banjir. Pemerintah senantiasa
membiarkan bangunan berkembang pesat di daerah penyerapan air dan
aliran air. Tempat yang seharusnya didesain untuk menyerap air malah dibentuk
bangunan yang berpotensi meminimalisir drainase.
Pemerintah seolah-olah tidak mau tahu atas apa yang telah terjadi dengan
lingkungan.
Satu hal yang perlu kita
ingat adalah kepedulian terhadap lingkungan dari masyarakat. Lingkungan
menjadi faktor utama penyerapan air (drainase).
Masyarakat jangan terus menerus menyalahkan pemerintah. Masyarakat harus
berkaca pada dirinya sendiri mengenai apa yang telah dilakukan terhadap
alam sekitar. Aliran sungai yang seharusnya dijaga kadang dijadikan tempat
pembuangan sampah. Sampah yang dibuang ke sungai akan menghalangi air
yang akan mengalir. Akibatnya, air tidak lagi mengalir sebagaimana mestinya.
Banjir tidak perlu terjadi
jika para pemangku kebijakan bergerak aktif dalam menangani bencana. Pemerintah
tidak pernah belajar dari kejadian masa lalu dimana banjir yang terjadi masih
saja dianggap kejadian biasa. Pemerintah seakan-akan cuek menanggapi
banjir. Pemerintah baru melakukan antisipasi setelah bencana seperti banjir
menelan banyak korban. Jika memang tidak ingin banjir terjadi terus menerus,
maka sudah saatnya pemerintah melakukan langkah kongkrit dalam menangani
banjir. Pemerintah jangan hanya tanggap ketika banjir sudah datang, dan
ditinggalkan setelah banjir hilang.
Di lain pihak, apa yang
telah dilakukan oleh pemerintah sebelumnya harus ditindak lanjuti. Jangan
sampai langkah antisipatif dengan biaya tinggi berakhir ketika pemerintahan
yang mengeluarkan kebijakan menanggulangi banjir ikut berakhir. Dengan kala
lain, tidak boleh ada perasaan egoisme antara pemerintah sebelumnya dengan
pemerintah yang baru. Begitupun masyarakatnya, tidak boleh egois terhadap
lingkungan. Lingkungan harus dijaga dan dipelihara agar alam tidak memberontak.
Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar