Fikih Sosial Kiai Sahal
Sholahuddin ;
Pemerhati Fikih Sosial,
Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Mathali’ul Falah
(STAIMAFA), Pati
|
KOMPAS,
29 Januari 2014
“Kiai Sahal Mahfudh
adalah kiai yang berani menyeberang dari tradisinya sendiri.” (Azyumardi Azra)
UMAT nahdliyin dan umat Islam Indonesia berduka terkait wafatnya Rais
Aam PBNU KH MA Sahal Mahfudh, Jumat (24/1) dini hari lalu. Kiai Sahal adalah
sosok kiai yang alim ilmu ushul fiqih dan menjadi pencetus gagasan fikih
sosial. Sejumlah karangan bunga ungkapan belasungkawa datang dari Presiden
RI, pejabat, tokoh ormas Islam dan NU sendiri.
Sebagai seorang
kiai-intelektual, Kiai Sahal memiliki penguasaan khazanah klasik Islam yang
tidak perlu diragukan lagi. Kepakarannya dalam bidang fikih mampu
mengantarkan kiai yang santun ini mendapatkan gelar doktor honoris
causa dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Salah satu gagasan
penting yang dihasilkan Kiai Sahal adalah gagasan mengenai fikih sosial.
Menurut Kiai Sahal, fikih perlu dihadirkan dalam bentuk yang baru, yang bukan
hanya mengatur halal-haram, hitam-putih hukum-hukum Islam saja. Fikih juga
digunakan sebagai alat untuk melakukan transformasi sosial, budaya, dan
ekonomi masyarakat.
Secara epistemologis,
fikih sosial dibangun di atas lima metodologi transformatif, yaitu
kontekstualisasi doktrin fikih; beralih dari mazhab qouli (tekstual) menuju manhaji (metodologis); verifikasi doktrin yang ashal (fundamental-permanen) yang
tidak bisa berubah, dan far’u (instrumental)
yang bisa berubah; menghadirkan fikih sebagai etika sosial; dan mengenalkan
pemikiran filosofis, terutama dalam masalah sosial budaya.
Lima metodologi ini
bisa kita kaji dalam produk pemikiran Kiai Sahal itu, antara lain
pendayagunaan zakat, konservasi ekologis, emansipasi perempuan, pendidikan
integralistik, pluralisme, dan pengentasan warga dari kemiskinan. Ia tetap
berpijak pada kekayaan tradisi pesantren melalui pendekatan sosial humaniora
yang transformatif.
Kritisisme sang kiai
Jelas di sini kita
melihat bagaimana kritisisme Kiai Sahal terhadap fikih konvensional yang
demikian hegemonik. Fikih seolah menjadi disiplin yang kaku, rigid, dan tidak
bisa menjawab perkembangan zaman yang semakin maju.
Fikih sebagai
pengejawantahan ajaran Tuhan dalam realitas individu dan sosial kehilangan
fungsi transformasi, baik secara struktural maupun kultural. Fikih
terjebak oleh tekstualitas, formalitas, dan simbolitas. Di sisi lain,
perilaku masyarakat jauh dari nilai-nilai agama, khususnya doktrin fikih.
Sekularitas, hedonitas, dan imoralitas menjadi fakta sosial yang lepas dari
bimbingan agama.
Fikih sosial Kiai
Sahal bergerak untuk mengubah kemiskinan, keterbelakangan, dan kemunduran
masyarakat Kajen Pati, dari secara geografis tandus dan kering menjadi kaya,
maju, dan, berperadaban. Bagi masyarakat tradisional, miskin-kaya adalah
sebuah takdir Tuhan. Manusia tinggal menjalani hidup ini apa
adanya, taken for granted. Namun, kiai santun tersebut terpanggil
melakukan perubahan paradigmatik.
Fikih sosial dijadikan
sebagai basis kritisisme Kiai Sahal atas fikih konvensional yang sulit
menerima dijadikan sebagai alat untuk transformasi sosial, budaya, dan
ekonomi masyarakat. Namun, jangan Anda bayangkan kritisisme Kiai Sahal ini
sama seperti kritisismenya Sadiq Jalal al-Azm, Nashr Hamid Abu Zaid, dan Ulil
Abshar-Abdalla. Kritisisme Kiai Sahal adalah kritisisme moderat. Dia tak mau
melampai tabu-tabu agama (Islam). Ada rambu-rambu ortodoksi yang masih dipegang
dengan teguh oleh kiai karismatik ini. Dia tidak mau larut dalam ingar-bingar
kontroversi. Dia menjauhi kontroversi yang, menurut dia, tidak perlu.
Semangat kritisisme
Kiai Sahal ini berasal dari semangat ”ijtihad” yang menggelora pada dirinya.
Menurut Kiai Sahal, ijtihad merupakan kebutuhan mendasar. Karena kebutuhan
mendasar, dia berusaha untuk membekali dirinya sendiri dengan
prasyarat-prasyarat keilmuwanan dan standar moral yang dijadikan modal
memenuhi kebutuhan ijtihad tersebut.
Kiai Sahal berpendapat
bahwa fikih sebetulnya adalah wilayah ijtihad, maka suatu ijtihad yang tidak
mendatangkan kemaslahatan umum (maslahat
al-ammah) haruslah direvisi. Di sini kita lihat bagaimana konsep
kemaslahatan umum yang digunakan oleh Kiai Sahal mengadopsi konsep maslahat
Imam Abu Ishaq As-Syatibi (W. 1388) yang terdapat dalam kitab Al-muwafaqaat.
Kiai Sahal menulis:
”Pada prinsipnya tujuan syariat Islam yang dijabarkan oleh para ulama dalam
ajaran fikih (fikih sosial) ialah penataan hal ihwal manusia dalam kehidupan
duniawi dan ukhrawi, kehidupan individual, bermasyarakat, dan bernegara.
Unsur-unsur kesejahteraan dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi saling
memengaruhi. Apabila hal itu dikaitkan dengan syariat Islam yang dijabarkan
oleh fikih sosial dengan bertitik tolak dari lima prinsip maqasid syari’ah (MA Sahal Mahfudh: Nuansa Fiqih
Sosial, 4-5).
Kiai Sahal tidak
heroik memproklamasikan ijtihad
sebagaimana banyak agamawan lantang menggalakkan ijtihad. Kiai Sahal lebih tawaduk dan jauh dari sikap takabur.
Kiai Sahal melakukan ijtihad dan mempromosikan hasilnya kepada masyarakat
lewat karya-karyanya. Tulisannya pada 1985 tentang ijtihad sebagai kebutuhan, dan juga gagasan-gagasan dia tentang
kontekstualisasi fikih, dan lain-lain, cukup menjadi bukti bahwa dia juga
mempromosikan keniscayaan ijtihad itu.
Kritisisme moderat
Dalam hal ini yang
menarik adalah bahwa dia menyarankan agar seorang mujtahid haruslah mempunyai
”kepekaan sosial” dan mampu melakukan ”analisis sosial” yang bagus. Ini
maknanya bahwa seorang mujtahid haruslah mempunyai pengetahuan yang memadai
mengenai ilmu-ilmu sosial. Ini yang missing dalam kriteria ijtihad
dalam fikih klasik, setidaknya tidak terungkapkan secara eksplisit. Ini
adalah salah satu kritik mendasar dia terhadap praktik ijtihad konvensional yang sering kali hanya bersifat tekstual,
dan mengabaikan realitas sosial.
Dia tidak memungkiri
bahwa secara implisit prasyarat pengetahuan sosial itu memang ada,
sebagaimana terjadi pada Imam Syafi’i dengan qaul qadim (pendapat lama) dan qaul jadid (pendapat baru)-nya. Namun, yang implisit ini
perlu dieksplisitkan dan menjadi prasyarat tambahan bagi para mujtahid.
Maka, benar apa yang
ditulis Azyumardi Azra bahwa Kiai Sahal adalah kiai yang menyeberang dari
tradisinya sendiri, dengan mengambil jalan kritisisme moderat. Selamat jalan, Kiai. Kita semua akan
meneruskan gagasan fikih sosialmu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar