Elastisitas Fatwa Ulama
Mohammad Bisri ;
Mantan Wakil Ketua Pimpinan Wilayah
GPAnsor Jawa Tengah
|
SUARA
MERDEKA, 27 Januari 2014
BANGSA Indonesia baru saja kehilangan salah
satu putra terbaik, KH MA Sahal Mahfudh. Ia prototipe ulama NU yang tegas
dalam bersikap dan berpendapat, tetapi pada saat yang lain sangat lunak
memberi fatwa hukum.
Dia mengkritik forum bahsul masaíil (forum
diskuisi para kiai NU) yang menurutnya kurang ilmiah dan kurang memenuhi
kebutuhan masyarakat. Katanya, salah satu penyebab pokok adalah keterikatan
yang berlebihan terhadap mazhab Syafiíi, selain terlalu tekstual (Nuansa Fiqih Sosial, 1994).
Meskipun begitu, pada saat yang berbeda
Mbah Sahal menghadirkan kesan sebagai penganjur, bahkan pembela gigih tradisi
Syafi’i. Ini dapat dilihat dari fatwa-fatwa hukum yang ditulisnya pada harian
ini, yang selanjutnya dibukukan oleh Yayasan Karyawan Suara Merdeka (1997) di
bawah tajuk Dialog dengan KH MASahal Mahfudh: Telaah Fiqih Sosial.
Hampir seluruh fatwa Kiai Sahal yang dimuat
oleh koran ini, baik berkait ibadah, muamalah, munakahat, maupun thaharah dan
sebagainya, selalu diambil dari kitab-kitab Syafi’iyyah, tetapi dari generasi yang jauh dari Syafiíi, bukan dari
ulama besar Syafi’i.
Kitab yang tergolong klasik dalam mazhab
Syafi’i, seperti al- Muhazzab karya
Abu Ishaq al-Syirazi (w.476/1083) dan sarahnya, al-Majmuí fi Syarkh al-Muhazzab karya al-Nawami (w.676/1277), Muhtashar karya al-Muzani (w. 264/878)
dan lain-lain jarang dijadikan rujukan. Dari titik ini, ada kesan Mbah Sahal
kurang konsekuen dengan gagasan pembaruannya.
Hal ini berbeda dari fuqaha Indonesia lain, semisal Ibrahim Hosen LMLdan TM Hasbi Ash
Shidiqieqy. Hasbi bukan saja konsisten melainkan juga keras dalam memberikan
fatwa hukum.
Bahkan berkesan kurang memperhatikan aspek
sosiologis, seperti halnya haramnya shalat zuhur bagi orang yang tak
melaksanakan shalat Jumat. Selain itu, soal fatwa hukum tidak
diperbolehkannya memusabaqahkan Alquran (MTQ). Kendati, sejatinya fatwa itu
berseberangan dengan keputusan Majelis Tarjih Muhammadiyah, tempat dia
berorganisasi (Nouruzzaman Shiddieqy,
1994).
Lantas, apakah Kiai Sahal berarti tidak
konsisten dalam pemikirannya? Jawabnya, tidak. Bagi kiai karismatis itu,
dalam meng-istimbath-kan hukum,
kita harus melihat objek dakwah (mad’u).
Mengingat pertanyaan yang diajukan
merupakan hal-hal praktis, selain kebanyakan pembaca Suara Merdeka adalah
masyarakat awam dalam konteks pemahaman agama maka produk hukumnya pun
bersifat praktis dan meminimalkan kajian metodologis. Bukankah fatwa Imam
Syafi’i juga berbeda ketika di Irak dan di Mesir karena perbedaan waktu,
tempat, dan adat?
Berpikir
Modern
Elastisitas fatwa ulama neomodernis semacam
Mbah Sahal inilah yang menjadikan fikih bisa berdialog dengan pluralitas
realitas, dengan tidak mengesampingkan otoritas teks. Mbah Sahal menggali
fikih dari pergulatan nyata, antara kebenaran agama dan realitas sosial,
antara doktrin dan tradisi yang masih timpang.
Gagasannya itu kemudian terkenal dengan
istilah fikih sosial. Sebuah ujian bagi relevansi agama bagi kehidupan.
Inilah di antara yang menarik dari pemikiran Mbah Sahal, tokoh NU yang
semestinya setia pada fikih Syafi’i sebagaimana tradisi warga nahdliyin,
tetapi dengan ringannya ia bisa mengadopsi usul Syathibi yang jelas-jelas
berasal dari fraksi Maliki.
Ikhtiarnya itu demi mewujudkan kemaslahatan
bagi muslim, terutama di Indonesia. Hal menarik lain dari Kiai Sahal adalah,
meskipun tak pernah mengenyam pendidikan akademik, ia mampu berkiprah
layaknya akademisi. Sebagai bukti adalah banyaknya karya, baik yang ditulis
dalam Bahasa Indonesia maupun Arab.
Ia juga aktif mengikuti seminar, diskusi,
dan lokakarya serta aktif menulis pada media massa. Padahal ia juga aktif pada
berbagai institusi seperti sejak 1999 hingga saat ini menjadi Rais Aam PBNU,
sejak 2000 sampai saat ini sebagai Ketua Umum MUI Pusat, dan pengasuh Ponpes
Maslakul Huda, Kajen Pati. Karena berbagai pemikiran dan aktivitasnya itulah
tahun 2003 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta memberikan gelar doktor
kehormatan.
Dalam komunitas NU khususnya, sosok seperti
Mbah Sahal jarang ditemui. Artinya sosok kiai yang berpikiran modern bahkan
mungkin liberal, meskipun tak terlepas dari teks-teks Islam klasik.
Kehadirannya minimal bisa menepis anggapan Imaduddien Abdurrahman (1997) yang
menganggap kiai dan sejenisnya hanya bisa menghafal dan memproduksi teks yang
sudah baku, tanpa mengelaborasi dan mengkritiknya. Sisi plus lain Kiai Sahal
adalah penguasaannya yang luas dalam ilmu sosial kemasyarakatan.
Baginya, kitab fikih harus disikapi secara
manhaji (metodologis) dan proporsional supaya tidak kehilangan elan vital.
Selain itu, penyikapan fikih secara tekstual justru paradoks dengan
historisitas fikih yang lahir dari pergulatan antara teks dan konteks.
Berangkat dari alur pemikiran demikian, tidak mengherankan bila Kiai Sahal
tampil begitu gigih membela komunitas muslim yang terpuruk secara sosial dan
ekonomi.
Tapi ia juga bisa dengan santainya menjalin
hubungan dengan orang-orang sekuler, budaya yang selama ini dianggap tabu
dalam komunitas NU. Selamat jalan Kiai
Sahal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar