Masyarakat
Ekonomi ASEAN dan Ketakutan Kita
Rhenald Kasali ;
Pendiri Rumah Perubahan
|
KORAN
SINDO, 30 Januari 2014
Potret kecemasan kita menghadapi era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
barangkali tergambar di Kota Tangerang Selatan. Di sana, menjelang akhir
September 2013, puluhan dokter yang bekerja di Rumah Sakit Umum (RSU) Kota
Tangerang Selatan itu melakukan aksi unjuk rasa ke kantor wali kota.
Mereka di antaranya menyuarakan suara menolak kehadiran dokter-dokter asing asal Malaysia yang bekerja di rumah sakit tersebut. Berapa banyak dokter asing yang bekerja—disebutkan, untuk melakukan transfer knowledge—di RSU tersebut? Hanya dua! Keduanya adalah dokter spesialis bidang ortopedi.
Reaktif dan Inkonsistensi
Respons yang dilakukan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan juga
barangkali mewakili gambaran sikap reaktif kita dalam menanggapi permasalahan
tersebut. Dinas Kesehatan kota tersebut memecat lima dokter yang melakukan
aksi unjuk rasa tersebut karena dianggap melakukan tindak indisipliner dengan
meninggalkan tugas. Sementara dokter-dokter lain yang ikut melakukan aksi
unjuk rasa mendapat surat peringatan pertama dan kedua.
Jika kedatangan dua dokter asing itu saja sudah membuat ramai Tangerang
Selatan, apalagi bila saat era MEA resmi diberlakukan pada 2015? Saya membaca
di berbagai media online, menurut perkiraan Perhimpunan Dokter Keluarga
Indonesia (PFKI), sebanyak 870 dokter asing siap menyerbu pasar Indonesia saat
MEA berlaku. Tak diberitakan berapa banyak dokter kita yang punya nyali
sebaliknya, berpraktik di negeri jiran. Itu baru praktik kedokteran untuk
memberikan layanan kesehatan primer, belum yang lebih advance.
Jika ditambah dokter-dokter spesialis, jumlahnya pasti lebih dari itu.
Bukankah kita sering mendengar “dokter-dokter kita jauh lebih hebat dari
dokter lulusan negeri tetangga”, atau, “mereka itu dulu belajarnya juga di
sini”. Coba saja tengok fakultas-fakultas kedokteran di Jakarta, Yogyakarta,
dan Medan. Banyak sekali mahasiswa asal Malaysia. Dalam soal liberalisasi
ekonomi dan perdagangan, pemerintah kita memang sering mengeluarkan kebijakan
yang saling bertolak belakang.
Tak mengherankan kalau praktiknya di lapangan menjadi kurang memotivasi
kita untuk membangun keunggulan daya saing. Kita dikenal sangat agresif dalam
melakukan liberalisasi pasar, namun belakangan sering terhenyak karena kita
ternyata belum sepenuhnya siap dan dipersiapkan. Kasus para dokter di
Tangerang Selatan hanyalah salah satu contoh. Kasus-kasus serupa masih sangat
banyak. Dalam industri perbankan, kita dengan mudah menemukan cabang-cabang
bank asing di pusat-pusat kota. Tapi, cobalah temukan cari cabang bank kita
yang bisa menembus negara-negara tetangga. Sulit.
Kolega saya dari kalangan perbankan mengeluhkan, bukan saja sulit
membuka outlet, melainkan juga sekadar membangun jaringan mesin ATM di sana.
Padahal, negara tersebut banyak mempekerjakan tenaga kerja Indonesia dan sangat
dimudahkan menjaring nasabah di sini. Di pusat-pusat perbelanjaan dengan
mudah kita menemukan berbagai produk impor— mulai dari produk manufaktur
sampai produk pertanian. Kita kewalahan menghadapi serbuan produk-produk
garmen dan tekstil dari China.
Begitu pula jeruk brastagi atau jeruk pontianak yang kalah bersaing
dengan jeruk ponkam yang diimpor dari China. Menjelang Imlek, jeruk santang
selalu menyerbu pusat-pusat perbelanjaan kita. Kalau kita baca di berbagai
media, sikap pemerintah sendiri terbelah. Menteri Perindustrian MS Hidayat
mengaku gelisah dan gugup menghadapi era MEA. Persisnya, ia merasa Indonesia
belum siap menghadapi MEA. Salah satu penyebabnya adalah mahalnya biaya
logistik kita yang masih mencapai 16% dari total biaya produksi.
Padahal, di negara-negara lain biasanya biaya logistik hanya mencapai
4-10% dari total biaya. Mahalnya biaya logistik itulah yang menyebabkan
produk- produk Indonesia bisa kalah bersaing dengan produk dari negara-negara
tetangga. Kita semua tentu tahu penyebab tingginya biaya logistik di negeri
ini. Pungli, korupsi, tak ada keberanian memutuskan, dan terlalu takut
menghadapi preman. Selain itu, kondisi infrastruktur dan manajemen kita juga
yang buruk. Siapa yang tidak pusing menghadapi kemacetan yang
menggilaketikaangin barat dan musim hujan tiba.
Petarung Bukan Anak Rumahan
Tapi, saya senang juga mendengar ada menteri kita yang optimistis walau
baru hanya semampu melihat bahwa MEA bukan ancaman, melainkan peluang. Karena
dalam menghadapi MEA, saya menilai kondisi kita sebetulnya tidak jelekjelek
amat. Perusahaan semen kita, PT Semen Indonesia Tbk, sudah masuk ke pasar
negara tetangga, Vietnam dan Kamboja, dengan mengakuisisi pabrik semen yang
ada di sana. Tahun ini Semen Indonesia menargetkan mengakuisisi pabrik semen
di Myanmar.
Kita tahu sejak 2013 perusahaan semen ini sudah menjadi yang terbesar
di Asia Tenggara, mengalahkan kompetitornya dari Thailand, Siam Cement. Jika
pada 2013 volume produksi Siam Cement mencapai 23 juta ton per tahun, Semen
Indonesia sudah 27 juta ton. Dalam industri penerbangan, usaha patungan kita
juga jagoan. Maskapai penerbangan Lion Air melebarkan sayapnya hingga ke
China, India, dan Bangladesh. Lion Air mendirikan perusahaan penerbangan
Malindo Air, berpatungan dengan perusahaan asal Malaysia.
Ketika airlines Singapura dan Malaysia merugi, Garuda Indonesia justru
mendapat pujian dari Skytrax. Dalam industri jasa konstruksi kita juga hebat.
PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) misalnya jauh sebelumnya sudah dipercaya ikut
membangun jalan tol di Aljazair, flyover di pusat Kota Kuala Lumpur,
Malaysia, jembatan di Sungai Mekong, Vietnam, dan gedung bertingkat di
Manila, Filipina. WIKA kini sedang bersiap-siap melanjutkan ekspansinya ke
Myanmar dan Timor Leste.
Selain potret-potret tersebut, secara makro kondisi kita juga membaik.
Saya cek ini dari data Global
Competitiveness Index (GCI) yang setiap tahun selalu dikeluarkan oleh World Economic Forum. Memang tahun
lalu kita sempat turun dari posisi ke-46 menjadi ke-50. Namun, data terakhir
yang dirilis GCI menyebutkan peringkat kita naik lumayan tajam, menjadi
ke-38. Meski begitu, kita tak boleh ge-er
dulu. Meski naik, peringkat daya saing kita masih kalah dibandingkan dengan
Malaysia (peringkat ke-24), Thailand (peringkat ke-37), dan Brunei (ke-26).
Saya tak menyebut Singapura karena peringkatnya jauh sekali di atas kita. Singapura menempati peringkat kedua dunia. Itulah modal kita menghadapi MEA. Masih jauh dari memuaskan, tetapi juga tidak jelek- jelek amat. Maka itu, ketimbang sibuk dengan ketakutan dan merengek meminta pemerintah melakukan berbagai proteksi regulasi, lebih baik kita terus mengasah daya saing dengan memperbaiki diri. Itu jauh lebih sehat. Menjadi petarung itu butuh gizi dan nyali, bukan menjadi “anak mami” yang selalu merengek dan minta perlindungan. Perantau yang menyerang pasar asing jauh lebih hebat daripada anak rumahan yang gampang merajuk. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar