Hoegeng : Antikorupsi Sampai Mati
Parni Hadi ;
Wartawan dan Aktivis Sosial
|
SINAR
HARAPAN, 28 Januari 2014
“A pleasant coincidence.”
Sebuah kebetulan yang menyenangkan. Jenazah almarhum Mayjen TNI Ir Agus
Sujono, mantan Waka BPIS (Badan Pengelola Industri Strategis) terlambat
datang dari waktu yang semula diberitahukan, 22 Januari lalu.
Alhamdulillah,
saya punya waktu untuk mencari makam Pak Hoegeng, mantan Kapolri yang
terkenal lurus, sederhana, dan antikorupsi nomor wahid sampai mati. Seorang
lelaki perawat kuburan menunjukkan sambil menudingkan tangannya, “Itu, Pak.
Di sebelah situ.”
Betul,
tanpa kesulitan saya temukan makam itu. Bukan karena kemewahan bentuk
makamnya, melainkan berkat bintang empat dengan logo polisi yang menempel di
batu nisannya. Sebuah karangan bunga yang mulai layu berdiri di samping
pusara bagian kepala bertuliskan, “Untukmu Pahlawan” dari sebuah yayasan
kepolisian.
Saya
duduk di bangku sebelah kanan makam, berdoa untuk Pak Hoegeng, salah satu
idola saya. Tak terasa air mata mulai meleleh karena terharu mengenang
kemuliaan perilakunya. Segera saya hapus karena ingat nasehat seorang kiai,
tidak boleh menangis di kuburan.
“Setiap pengunjung bilang, tidak ada
lagi orang sebaik beliau, Pak,” kata seorang perempuan
setengah baya yang bertugas merawat makam itu, sambil terus bekerja dengan
kain pelnya.
Ya,
bahkan pilihan untuk dikuburkan di TPU (tempat pemakaman umum) Giri Tama,
Desa Tonjong, dekat Parung, Bogor itu menunjukkan keteguhan sikap hidupnya
yang antikorupsi sampai akhir hayatnya. Bukan di TMP (Taman Makam Pahlawan),
kenapa? Sebagai mantan pejuang, Pak Hoegeng tentu punya hak jasadnya
dimakamkan di TMP.
Dalam
sebuah rapat Petisi 50 (kelompok 50 tokoh yang dianggap dissident atau pembangkang oleh Pak Harto), Hoegeng pernah
mengatakan, kalau mati nanti tidak mau dimakamkan di TMP. Ia mengungkapkan
alasannya, “Tidak mau sekuburan dengan
koruptor.”
Itu
jelas tertera dalam buku Hoegeng: Oase
Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa karya Aris
Santoso, Ery Sutrisno, Hasudungan Sirait, dan Imran Hasibuan (Penerbit Bentang, 2009).
Seorang
anggota Petisi 50 lainnya, M Jasin, mantan Pangdam Brawijaya yang juga
dianggap dissident, saat itu juga
mengatakan tidak mau dikuburkan di TMP. Pak Jasin menyatakan, ingin satu
lubang kuburan saja nanti dengan almarhumah istrinya, di TPU Tanah Kusir,
Jakarta.
Hoegeng
dan Jasin mengungkapkan keputusan mereka ketika membicarakan peristiwa pahit
yang dialami keluarga-keluarga mantan Pangdam Siliwangi, yang juga mantan
Sekjen ASEAN, Letjen HR Dharsono.
Ketika wafat pada 1996, jenazah Pak Ton, panggilan Letjen
Hartono Rekso Dharsono, ditolak untuk dimakamkan di TMP Cikutra, Bandung.
Padahal, ia seorang letnan jenderal yang bintang jasanya tak pernah dicabut
pemerintah.
Pak
Ton adalah mantan komandan Batalyon Brigade Siliwangi yang menumpas
pemberontakan PKI di Madiun pada 1948. Ketika menjabat sebagai Kasdam
Siliwangi pada 1965, ia adalah andalan Pak Harto untuk mengamankan Jawa Barat
pasca-G30S PKI 1965.
Peristiwa pahit itu membuat Ali Sadikin, mantan Gubernur DKI
yang juga anggota Petisi 50, berang. Ketika berbicara sebagai wakil keluarga,
Bang Ali mengatakan Pak Ton ikut mendirikan Orde Baru tetapi dibunuh oleh
Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto. Anggota Petisi 50 waktu
itu juga dimatikan “hak kehidupan sosial”-nya, di samping hak kehidupan
ekonominya.
Ah,
politik sering kali memang kejam, perseteruan dibawa sampai ke liang kubur. Astagfirullah!
Lucu
Tapi Tegas
Hoegeng
lahir pada 14 Oktober 1921 dari keluarga priayi. Ayahnya, Sukario Hatmodjo,
pernah menjabat kepala kejaksaan Pekalongan, memberi nama Iman Santoso. Nama
itu mengandung doa agar pemiliknya beriman kuat sentosa.
Karena
waktu kecil badannya gemuk, ia dipanggil bugel
(gemuk). Kemudian menjadi bugeng,
lalu hugeng. Ini dialami juga oleh
teman saya, Sugeng Sri Widodo. Karena sulit mengucapkan Sugeng waktu kecil,
ia menyebut namanya Suheng.
Pada
1952, Hoegeng bersama alumni PTIK dipanggil ke Istana Negara. Bung Karno
bertanya mengapa namanya Hoegeng, bukan Sugeng? Lalu ia disarankan mengganti
namanya dengan Soekarno saja.
Apa
jawab Hoegeng? “Nggak bisa Pak, karena
nama itu pemberian orang tua saya. Kebetulan nama pembantu di rumah saya juga
Soekarno.”
Meledaklah
tawa Bung Karno sambil berucap, “Kurang
ajar kamu.”
Ya,
itulah Hoegeng, suka melucu, tapi bersikap tegas, berani kepada atasan atas
dasar kebenaran.
Ketika
masih mengisi acara obrolan di Radio Elshinta awal 1970-an, Pak Hoegeng
sering melontarkan humor-humor kocak, di samping kritik-kritik tajam.
Contohnya, ia menyebut pernah menjabat sebagai “menteri sayuran”, plesetan
dari Menteri Iuran Negara atau MIUN.
Pak
Hoegeng dan istrinya, Merry, suka menyanyi dan melukis. Untuk menyalurkan
hobi menyanyinya, Pak Hoegeng mendirikan klub The Hawaian Seniors yang sering muncul di TVRI. Namun, karena
dianggap pembangkang, acara itu dilarang pemerintah.
Karya
lukisan atas pesanan seorang pengusaha yang diberi inisial Hoegeng juga urung
dibeli karena pengusaha itu takut disangkutpautkan dengan Petisi 50. Hoegeng
menolak menghapus inisialnya atas permintaan sang pemesan dan transaksi batal
pun, tak mengapa.
Bagi
polisi, Pak Hoegeng adalah polisi legendaris dan panutan keteladanan untuk
kejujuran dan ketegasan sikap. Sewaktu menjabat Kapolda Sumut di Medan, ia
membuang bingkisan-bingkisan yang dikirim kepadanya lewat jendela.
“It is nice to be important, but it is
important to be nice,” begitu salah satu moto hidupnya. Artinya,
adalah baik menjadi (orang) penting, tapi adalah penting menjadi (orang)
baik.
Hoegeng
wafat pada 14 Juli 2004. Tidak ada manusia sempurna. Tapi, di samping
pusaranya saya tertegun kagum mengingat keteguhan imannya (Iman Santoso)
sampai akhir hayatnya. Salaamun, qaulan
mir rabbir rahim (terimalah salam,
ucapan selamat dari Tuhan yang Maha Penyayang). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar