Kamis, 30 Januari 2014

Kemajemukan

                                 Kemajemukan              

Mudji Sutrisno  ;   Guru Besar STF Driyarkara,  
Dosen Pascasarjana Universitas Indonesia, Budayawan
KORAN SINDO,  29 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Keragaman suku, identitas budaya lokal, religi yang aneka merupakan sumber mata air daya hidup bangsa Indonesia. Kemajemukan itu bahkan secara proses kebudayaan diberi kata kunci kebinekaan dalam antagonismenya dengan keikaan. 

Maka, sejarah peradaban kita (baca: proses- proses merajut kebudayaan menjadi proses transformasi agar orang-orang menjadi semakin manusiawi dalam proses yang secara sadar dihayati sebagai humanisasi), merajut diri dalam Bhinneka Tunggal Ika. Apa artinya? Indonesia yang secara politis menegaskan diri sebagai kami bangsa Indonesia pada 17-08-1945, secara kultural hanya akan terus ada dan eksis bila terus menenun keragamannya sebagai bangsa menjadi negara Republik Indonesia yang bersatu dan berdaulat seperti tertulis dalam Mukadimah Konstitusi 1945. 

Para pemikir sosialitas hidup bersama yang manusia dari religi (wujud sosial dari religiositas: keimanan) memberi acuan sumber keunikan manusia dari tafsir Kitab Suci. Manusia adalah citra (gambar) unik dari Allah. Yang pria adalah citra agung Allah, sedang yang perempuan adalah citra ayu Allah. Ini pandangan Kristen. Sementara saudara-saudari muslim menegaskan manusia adalah khalifah Allah di dunia ini. Pokok renung ini berpendapat bahwa perbedaan dan keunikan manusia merupakan jati dirinya. Lihat saja dalam unit kelompok yang paling dekat, yaitu keluarga. 

Masing-masing anak itu unik dan perbedaan watak merupakan kenyataan hakiki, sehingga orang tua berusaha memahami dan memperlakukan mereka secara unik dan tidak menyeragamkan. Kidung dan nyanyi alam mengisahkan warna-warni dalam taman satwa maupun flora yang justru indah dalam keragamannya. Kitab Mazmur mencatat kekaguman penyairnya untuk merayakan keragaman warnawarni ciptaan sebagai anugerah hidupdari SangPenciptayangdisyukuri karena perbedaan dan keragaman keunikan ciptaan. 

Contoh-contoh sahaja di atas menampilkan betapa keragaman yang disyairkan serta dikidungkan di mana Ibu Sud (almarhum) menggubah lagu bunga di taman dengan warnawarni merah, putih, kuning dan ungu menjadi salah satu ungkapan ”jalan seni” dalam bahasa lagu anak-anak untuk menanamkan ke batin anak-anak bahwa kemajemukan adalah hakikat (yang inti) dalam hidup bersama. Maka, lagu Desaku yang Permai atau lukisan-lukisan alam sejak Sudjojono, 

Affandi, Basuki Abdullah menebarkan warnawarni alam penuh daya hidup dari kuning padi, hijau muda, hijau tua, sampai pepohonan beragam untuk menunjukkan tanah air kita Indonesia yang majemuk warna justru menjadi kanvas keindahannya. Sebagai jalan seni, keragaman yang menjadi sumber inspirasi seniman dan susastra pelan namun pasti akan mendorong antagonisnya dari bineka ke perajut satuannya, yaitu ika. Sang matahari adalah metafora penyatu keragaman, karena darinya daya hidup cahaya panas serta terbit dan tenggelamnya memberi hidup untuk bumi semesta. 

Ketika Affandi banyak melukis dengan dominasi warna kuning di kanvas-kanvas alam persawahan atau bunga-bunga matahari, dia menjawab lantang bahwa kuning itu simbol matahari nusantara yang selalu bersinar di khatulistiwa, membuat padi-padi matang menguning, siap dipanen para petani. Bahasa-bahasa seni yang memuliakan alam ragam dengan satu mentari pada titik ekstremnya lalu dikatakan lukisan molek Indonesia karena terlalu meromantisisasi keelokan, padahal jiwa gairah pelukisnya biasanya lebih bergejolak, lebih bernyawa, 

untuk bertanya pula apakah kuningnya padi bisa dimakan merata untuk setiap orang Indonesia? Apakah tetes keringat proses menanamnya pernah jadi pelajaran narasi pada anak-anak kota yang tidak pernah tahu betapa satu butir gabah menjadi nasi yang dimakannya itu merupakan hasil sentuhan beribu tangan sesamanya dan kerja keringat petani hingga bisa dimakan? Anak kota yang hanya tahu tersedianya makanan kerap ”lupa dan dilupakan oleh pendidikan bahwa kerja keras sesamanyalah yang ikut membuat ia bisa makan nasi.” 

Kemajemukan dan keikaan ketika diformat menjadi jalan politik, maka praktek menomorsatukan politik macam apa dan politik makna apa akan menjadi ujiannya. Politik sebagai ikhtiar untuk membuat tata hidup bersama lebih berharkat dalam anggota-anggota masyarakatnya pasti akan memuat etika sebagai acuan yang baik, yang benar, dan yang suci serta yang indah dari kehidupan ini untuk menjadi rambu-rambu pelaksanaan atau laku politik itu. Inilah politik yang beretika yang sebenarnya kita pantas bersyukur atau berbahagia karena para pendiri bangsa sudah memberikan dasar-dasarnya dalam proses dari bangsa majemuk ke negara kesatuan. 

Politik etis religiusnya jelas, yaitu sila pertama Pancasila: yang rumusan konsensus akhir di alinea 4 Pembukaan UUD 1945 menekankan keesaan atau tauhid penghayatan religiositas kita dalam Ketuhanan Yang Maha Esa. Padahal, bila politik etis dalam dasar bernegara sila 1 ini dilihat dalam sejarah pengolahannya oleh Bung Karno di Ende 1930-an, saat dibuang oleh pemerintahan kolonial Hindia Belanda, Soekarno merumuskan setelah menghayati dari pengalaman beragamnya para misionaris Kristen di Ende, para muslim setempat, serta mereka yang menghayati religireligi bumi dan kepercayaan masing-masing, sila 1 ini sebagai Ketuhanan yang berkebudayaan dan berbudi pekerti. 

Artinya, praksis atau laku agamais yang sudah dihayati dalam konteks budaya dari agama-agama itulah akhirnya memiliki acuan sama yang melintasi religi-religi dan yang dipraktikkan dalam budi pekerti (yang baik, benar dan suci) sebagai manusia saat keragaman agama-agama sudah tampil dalam wajah budayanya. Juga ketika keragaman pikiran, identitas sosial, beda kepentingan di antara orang-orang Indonesia yang majemuk sekali, ingin bisa menghormati beda pendapat dan mencoba toleransi berpikir di pihak yang jadi lawan bicara, maka di sanalah dirangkumkan ”asas permusyawaratan perwakilan, namun dalam cara mufakat untuk mengambil putusan bersama.”

Jalan budaya berbincangdan berdebat dalam keragaman cara mengambil keputusan adalah mufakat. Para pendiri bangsa sudah bijaksana sekali mengelola di satu pihak kemajemukan tiap orang kita dan di lain pihak harus ada keputusan yang melegakan kebenaran bersama dari kebenaran masing-masing yang beda kepentingan. Mereka bijaksana karena ”inti kebenaran” itu tidak bisa divoting. Alasannya, pertama, kebenaran utuh itu hanya satu, yaitu Allah sebagai kebenaran Ilahi. Sedang kebenaran-kebenaran insani itu parsial, terbatas relatif dan berlapis-lapis. 

Kebenaran utuh pulalah satu kehidupan yang dihayati oleh berbagai ragam umat manusia. Maka kehidupan sebagai kebenaran (the truth of life) itu tidak bisa divoting atau diambil putusannya dengan pemungutan suara. Alasan kedua, fakta bahwa tiap makhluk manusia mempunyai kepentingannya sendirisendiri mulai dari kepentingan akan informasi, pengetahuan, dan petunjuk bahagia dalam hidup (inilah cognitive interest; religious interest). Tetapi pula political interestdalam hal menguasai untuk memenangkan tujuan politisnya, maka voting selalu memuat luka bagi yang kalah. 

Politik kepentingan atau penguasaan ini hukumnya adalah menang atau kalah, untuk bisa menerima ”kalah” butuh pendidikan etis kenegarawanan atau warga negara. Maka politik tanpa etika akan menjadi perang kuasa menguasai untuk memenangkan kepentingan kekuasaannya dan menghalalkan segala cara hingga tega menyingkirkan sesama. Politik tanpa etika mengenai mufakat dan acuan nilai benar (baca: adil dalam hukum), baik (etika), suci (religius) dan yang indah (estetika) akan melupakan hidup bersama dalam keragaman dan perbedaan identitas- identitas warga-warga lalu akan membuang dan mengorbankan kepentingan bersama agar bisa hidup saling menghormati dalam keragaman sebagai tujuan bernegara itu sendiri. 

Alasan ketiga, alasan sejarah proses dari bangsa menjadi negara Republik Indonesia. Negara RI tidak akan ada tanpa pengakuan kemajemukan bangsa sebagai penyusunnya. Hebat sekali pemahaman para pendiri RI saat sadar dengan kemampuan logika brilian mereka, kenyataan fakta keragaman kita sebagai orang Jawa, orang Minang, orang Batak, orang Flores, orang Makassar, Bugis, Dayak, Ambon yang bermacam- macam ini, setelah dihayati, dialami dalam pergaulan budaya danlogikainduksi, maka bila ingin mendirikan negara yang menyatukan mereka yang beragam untuk itu deduksi atau abstraksi dari ragam orangorang ini harus dirumuskan dalam satu kemanusiaan yang dicitakan dan diperjuangkan terus untuk adil dan beradab. 

Ketika jalan politik pada titik ekstremnya sudah membuat sesama warga dipecah-belah sebagai kerumunan musuh atau lawan di kelompok ”mereka” dan sebagai kawan di kelompok ”kami”, maka jalan budaya menjadi renung jalan rekonsiliasinya apabila keragaman dijaga dan dihormati. Namun, zaman rezim penyeragaman ekstrem pun kita alami karena politik penyeragaman meniadakan kerja sama hingga bineka dilupakan. Ketika jalan kalkulasi untung rugi atau manfaat dipakai sebagai ukuran pokok dalam ekonomisasi hingga tidak menguntungkan secara ekonomis ditendang keluar, tibalah mengingat kembali jalan budaya kita. 

Apalagi, saat-saat ini di mana reduksi atau pengerdilan hormat ke sesama dan karyanya hanya dihitung dari uang dan uang, di sinilah pertanyaan hakiki untuk apa kita berbangsa dan ke manakah bernegara kita harus ditoreh dengan mempelajari lagi jalan budaya alinea 4 Pembukaan UUD 1945. Membiarkan keragaman berteriak-teriak sendiri dan bergerak sendiri secara tata politis akan menyebabkan situasi anarkis. 

Dan menindas kebebasan ekspresi untuk pengalaman lalu kita sudah jelasjelas membuat mati lemas kreativitas manusia Indonesia dan otoriternya rezim politik. Maka menengok kembali tata kelola masyarakat majemuk dalam bernegara yang saat ini masih terbukti paling baik sudah pula diwariskan para pendiri RI yaitu sistem demokrasi untuk keragaman dan kepastian hukum untuk menghukum yang anarkis. Pekerjaan rumah renung kita di saat-saat ini!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar