Semiotika Sosial 2014
Acep Iwan Saidi ;
Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB
|
KOMPAS,
27 Januari 2014
TAHUN
politik. Demikian predikat yang dilekatkan kepada tahun 2014.
Dalam perspektif semiotika,
predikat ini penanda yang refe- rennya taksa. Ia mengirim pesan yang
menggembirakan sekaligus mengkhawatirkan: memberi harapan, tetapi pada saat
yang sama menimbulkan kecemasan.
Politik adalah diksi yang sangat
metaforik. Kata ini sering membawa kita ke dalam situasi tidak jelas. Ia
menjadi ruang tempat terlepasnya batas antara baik dan buruk, jujur dan
dusta, putih dan hitam, demikian seterusnya.
Megawati Soekarnoputri dalam
wawancara dengan harian ini menyatakan, 2014 bukan sekadar tahun politik,
melainkan tahun penentuan bagi bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang
kembali pada akar sejarahnya. Bangsa yang mandiri, beradab, dan menjadi
pelita bagi bangsa-bangsa lain di dunia (Kompas,
7/1). Siapa pun pasti setuju dengan pandangan ini. Secara semiotik, di
baliknya ditemukan tekad yang teguh, sebuah pesan yang memberi harapan.
Namun, pernyataan itu juga
mengirim sinyal lain. Ia sebuah negasi dari situasi hari ini bahwa kini kita
tengah berada dalam keadaan sebaliknya dari harapan itu. Kita tak sedang
tumbuh pada akar sejarah sehingga, karena itu, menjadi tak mandiri, bahkan
tak beradab. Ini kritik yang tajam, tetapi tersembunyi. Pernyataan yang
keras, tetapi gemanya menuju ruang dalam. Karena itu, pernyataan ini
menjadi sangat politis juga, apalagi jika mengingat Megawati adalah tokoh
politik dengan pengalaman politik di atas semua tokoh yang tahun ini
bertempur di arena politik menuju puncak kekuasaan.
Tahun wacana
Fakta di atas bisa dibaca sebagai
semiotika politik. Namun, saya akan memperluasnya jadi semiotika sosial (Halliday, 1989), tempat politik jadi
salah satu topik di dalamnya. Semiotika sosial tak hanya bergerak pada
tataran relasi antara penanda dan petanda serta relasi antartanda,
tetapi juga menyangkut interaksi berbagai tanda di dalam medan tanda dengan
sejumlah pelibatnya. Di dalam arena itu yang terjadi bukan sekadar pertukaran
pesan dan makna, melainkan pertempuran tentangnya.
Semiotika sosial adalah
perdebatan parole (ujaran
individu) dalam ruang perbincangan yang memperebutkan berbagai posisi. Dalam
interaksi tanda semacam ini, yang sebenarnya terjadi relasi kuasa, baik dalam
arti filosofis, yakni sesuatu yang menyebar dan dimiliki setiap individu (Foucault, 1989), maupun dalam
arti praktis: kuasa terdistribusi dari ”yang dominan” ke ”yang
terdominasi”. Dengan demikian, kajian semiotika sosial berbanding lurus
dengan analisis wacana.
Berpijak pada semiotika sosial
demikian, ungkapan Megawati di atas bisa dibaca sebagai pesan yang dikirim ke
tengah arena per- tempuran perebutan posisi kua- sa. Sebagaimana diketahui,
para pelibat lain juga terus aktif mengirim hal sama dengan berbagai formula.
Dalam tataran bahasa, semua formula pesan itu mewujud sebagai ”konstruksi
kebenaran” atau hal-hal yang sangat ideal. Lebih tepatnya, semua bertendensi
merumuskan kebenaran. Dalam konteks ini kehendak merasa benar identik dengan
kehendak berkuasa. Aku benar karena itu aku berhak atas kuasa.
Ambivalensi media
Dengan demikian, tahun politik
akan menjadi tahun wacana, saat hal-hal ”yang ideal” dipinjam dan dimasukkan
ke dalam bahasa untuk merebut posisi kuasa tadi. Di dalam pertempuran itu
seolah-olah kita hanya menyaksikan orang suci dengan berbagai fatwa
kebenaran. Selanjutnya setelah pertempuran selesai, sebagaimana sifat wacana
yang selalu temporer, ”yang ideal” hanya akan tertinggal sebagai ujaran yang
ditinggalkan pengujarnya, sebagai fatwa yang ditinggalkan ulama atau pendeta.
Hal menarik dalam situasi itu
adalah media. Sejatinya media adalah medan tempat pertempuran tadi. Sebagai
arena, media mesti steril dari kepentingan. Ia hanya mengantarai. Namun, kini
yang terjadi tak demikian. Media, terutama televisi, jadi ambivalen, berperan
sebagai medan sekaligus pelibat. Sebagai pelibat, ia pasif sekaligus aktif.
Dalam posisi pasif, media jadi prajurit tanpa zirah. Di bawah
panglimanya (pemilik) yang jadi pelibat perang, media melancarkan serangan
dan bertahan di tempat tersembunyi meski faktanya di mata publik tampak
telanjang juga.
Sebagai pelibat aktif, media
berjuang untuk kepentingan dirinya, ”perusahaan yang memproduksi dan menjual
informasi”. Dalam posisi ini, media menyeleksi ”bahan mentah dan bahan
setengah jadi informasi” yang dianggap layak produksi dan karena itu layak
jual. Dengan peran ini, di tengah arena—yang tak lain dirinya sendiri
itu—media jadi pihak yang terus mengintip lalu menangkap bagian tertentu dari
wacana dianggap bergizi sebagai bahan informasi. Pada tingkat tertentu, media
juga bisa melakukan deviasi atas realitas dengan menciptakan realitas
lain yang disebut Baudrillard (1981) sebagai simulasi.
Dihubungkan dengan pemirsa atau
masyarakat sebagai penonton, ambivalensi media sedemikian mendorong
masyarakat berada pada posisi ganda pula. Bedanya, kedua posisi berhadapan:
yang dimiliki masyarakat sangat ringkih. Di hadapan televisi,
masyarakat adalah penonton pihak yang mengintip, televisi itu sendiri.
Ironisnya, dalam banyak hal, yang diintip televisi tak lain para pemirsanya.
Walhasil, masyarakat adalah penonton sekaligus yang ditonton televisi.
Sebagai penonton ia pasif, sedangkan sebagai yang ditonton ia obyek.
Situasi demikian akan menyebabkan
2014 menjadi tahun yang taksa: memberi harapan sekaligus mencemaskan. Paling
tidak, pertempuran merebut posisi puncak kuasa yang menggunakan ”formula
kebenaran” dapat jadi semacam pemecah kejumud- an berbangsa yang sejauh ini
terjadi. Di sini sedikit harapannya.
Namun, ketika pertempuran selesai,
media pasti akan menyeleksi pertempuran lain. Di sinilah tahun 2014 akan
menciptakan enigma semiotik (teka-teki tanda). Sebab, saat pemilu presiden
selesai, kita akan segera dibawa ke pertempuran lain yang terjadi di arena
netral yang, dengan demikian, menjadi pertempuran sesungguhnya: Piala Dunia.
Sejauh ini, kita tahu, tak ada
yang bisa mengalahkan daya tarik sepak bola, apalagi kini ia sudah masuk di
dalam pusaran modal raksasa. Di situ sepak bola akan jadi modal buta
(meminjam Horkheimer) yang menggerakkan siapa saja keluar dari kesa- daran,
menjadi pribadi mengambang, hengkang dari ingatan. Saat stadion Piala Dunia
ditutup, sekonyong-konyong kita kembali menemukan diri bangsa compang-camping
seperti hari ini.
Jangan sampai seluruh 2014 direbut
modal yang menjadikan segalanya sebagai industri, sebagai pesta bahasa, atau
sebagai tontonan sesaat seperti pada pesta kembang api di setiap perayaan
malam Tahun Baru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar