Korupsi. Satu kata yang bertahun-tahun,
terus-menerus bergelayut di negeri berbendera merah-putih. Korupsi mencuat di hadapan publik semenjak Orde Baru bergulir
(1966-1998). Aneka usaha dan strategi telah dilakukan, tetapi hasilnya tetap
saja nihil. Korupsi tetap saja bergelayut sampai Orde Reformasi
(1998-sekarang).
Kini, korupsi semakin diterpa hembusan
jiwa-jiwa hedonis dan materialis kalangan mainstream (elite bangsa).
Akibatnya, aneka sistem kehidupan negara karut-marut. Selain itu, Indonesia
menjadi salah satu negara terkorup di dunia. Ini berdasarkan laporan
Corruption Perception Index (CPI) 2013, skor CPI Indonesia adalah 32 dan
menempati posisi 114 dari 177 negara yang diteliti indeks korupsinya.
Oleh sebab itu, tidak sedikit masyarakat mulai
dari kalangan grass root (masyarakat awam), akademisi, hingga praktisi hukum
berkoar-koar menuntut pidana mati koruptor. Mengingat efek domino
korupsi sangat membahayakan. Disadari atau tidak, maraknya praktik korupsi
telah merampas lima unsur pokok kehidupan manusia, apa yang oleh Imam
asy-Syathibi disebut dharuriyyah atau Ushul al-Khamsah, yaitu: kemerdekaan
agama (ad-din), jiwa (an-nafs), akal (al-aql), keturunan (an-nasl), dan harta
(al-mal). Bahkan hukum Islam kontemporer menambahkan satu lagi, kemerdekaan
lingkungan (bi’ah).
Realitanya, mayoritas masyarakat dari Sabang
sampai Merauke mengalami kesulitan ekonomi dan hidup dalam jerat kemiskinan,
karena nyaris semua harga sembako mengalami high-cost economy, beribu jiwa
harus terenggut nyawanya akibat kelaparan, sulit dan mahalnya biaya
pendidikan dan kesehatan sehingga menjadi beban psikologis. Di sisi lain,
korupsi berimbas pada demoralisasi elite bangsa dan masyarakat. Belum lagi
kondisi lingkungan alam yang memperihatinkan. Alam dieksploitasi dalam skala
besar-besaran tanpa dibarengi upaya reboisasi juga lemahnya penegakkan
hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan.
Sungguh korupsi merupakan tindak pidana luar
biasa (extra ordinary crime). Karenanya, diperlukan sanksi luar biasa bagi
pelakunya. Tiada sanksi lain selain pidana mati.
Secara normatif, pidana mati koruptor
termaktub di dalam Undang-undang Tipikor, perbuatan melawan hukum yang
bertujuan memperkaya diri atau merugikan perekonomian negara (korupsi) pidana
mati dapat dijatuhkan (Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1991 jo. UU No. 20 Tahun
2001).
Dalam perspektif hukum pidana, tujuan hukuman
mati untuk melindungi dan memelihara kepentingan umum guna mempertahankan
keamanan dan ketertiban masyarakat sebagai satu kesatuan. Apa yang
dicita-citakan oleh Doeltheorie (Teori Relatif) adalah pidana mati sebagai
langkah preventif kejahatan.
Ada beberapa alasan perlunya pidana mati
koruptor diterapkan, yaitu: Pertama, pidana mati selaras dengan amanat
konstitusi karena ia termaktub dalam Pasal 28 J ayat (2) Amandemen II UUD
1945, di mana setiap orang yang telah melampaui batas kebebasannya (melanggar
hukum) sehingga merugikan kehidupan orang lain, maka ia wajib tunduk pada
undang-undang.
Kedua, pidana mati bukan berarti
melanggar hak prerogatif Tuhan (Allah), esensinya pidana mati
ditetapkan oleh syariat Islam dengan dekrit Allah yang tidak bisa diganggu
gugat seperti jarimah (tindak pidana) ta’zir (Lihat QS. Al-A’raf [7]: 157).
Sanksi jarimah ta’zir bergantung pada penguasa atau keputusan hakim. Dasar
jarimah ta’zir adalah pertimbangan kemaslahatan dengan mengacu pada prinsip
keadilan. Sebagaimana adagium fikih, “Tindakan pemimpin terhadap rakyat
bergantung pada kemaslahatan.” Jarimah ta’zir sebagai indikasi manusia
diperintahkan melaksanakan sanksi-sanksi yang telah didekritkan Allah sesuai
dengan jarimahnya, yang salah satunya berwujud pencabutan nyawa manusia
(Nur’ainy, 2008).
Ketiga, pidana mati tidak bertolak belakang
dengan Pancasila karena pidana mati diterapkan dengan tujuan melindungi
kepentingan umum yang bersifat kemasyarakatan. Dengan ungkapan lain,
mendatangkan kemaslahatan dan menolak kemadharatan nasional.
Sayangnya, persoalan pidana mati koruptor
masih menjadi polemik belum menyentuh ranah praktikal. Koruptor masih
dipidana penjara plus denda. Itu pun hukumannya acap kali tidak sesuai
sehingga menyisakan dongkol, amarah, benci dan seribu satu macam perasaan
serta sikap masyarakat.
Pidana penjara sebenarnya hanya memberi efek
waspada tidak memberi efek jera. Faktanya, koruptor di negeri ini semakin
beranak-pinak (regenerasi). Ketika koruptor sudah ber-regenerasi, besar kemungkinan
negara akan terus-menerus berada di titik nadir kehidupan (kemiskinan dan
keterbelakangan). Apabila keadaan negara sudah seperti ini, untuk memulihkan
stabilitas negara bukan perkara “membalik telapak tangan”.
Oleh karena itu, pidana mati koruptor sangat
urgen diterapkan. Dalam penerapannya memang butuh keberanian, ketegasan,
komitmen, konsisten, dan sinergitas elite bangsa dan catur wangsa (hakim,
jaksa, advokat, dan polisi) dan didukung oleh masyarakat. Pada akhirnya,
Indonesia menjadi negara antikorupsi dimana masyarakatnya hidup adil, makmur,
sejahtera, dan penuh berkah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar