Mengevaluasi Kurikulum 2013
Ki Supriyoko ;
Wakil Ketua Umum Majelis Luhur Persatuan
Tamansiswa,
Doktor Bidang Penelitian dan Evaluasi Pendidikan
|
KOMPAS,
28 Januari 2014
SEORANG mahasiswa program
magister pada satu perguruan tinggi mengajukan judul tesis tentang evaluasi
implementasi Kurikulum 2013 di wilayah kabupaten tertentu.
Sang dosen calon
pembimbing pun memberi arahan: topik tersebut tak layak diteliti, apalagi
jadi tesis sebagai simbol keberhasilan studi pascasarjana. Argumentasinya,
Kurikulum 2013 baru efektif diberlakukan satu semester tak layak dievaluasi.
Kalaupun dipaksakan, hasilnya pasti buruk; proses dan produknya.
Pendapat subyektif
bahwa hasil evaluasi Kurikulum 2013 pasti buruk kiranya perlu mendapat
perhatian kita, terutama para pengambil keputusan pendidikan di negeri ini.
Pada sisi lain, pendapat bahwa Kurikulum 2013 yang baru satu semester
diimplementasi tidak layak dievaluasi kuranglah benar. Berdasarkan teori
evaluasi, suatu kurikulum yang sudah dijalankan selama satu semester sudah
layak dilakukan; bahkan dalam satu caturwulan pun, kalau sistemnya
caturwulan, layak dilakukan.
Evaluasi proses
Sebenarnya evaluasi
proses menyangkut banyak aspek, tetapi dalam tulisan ini difokuskan pada
banyaknya sekolah yang pada 2013 mendapat kepercayaan untuk
mengimplementasikannya.
Apabila kita membuka
portal ”EPIK: Sistem Elektronik
Pemantauan Implementasi Kurikulum 2013” milik Kemdikbud, pada 2013
implementasi Kurikulum 2013 baru pada 6.973 sekolah (2.865 SD; 1.535 SMP;
1.431 SMA; dan 1.142 SMK). Kalau dilihat lokasi sekolahnya, ternyata 3.598
(52 persen) di Pulau Jawa.
Kalau jumlah sekolah
di Indonesia lebih dari 200.000 sekolah, 6.973 sekolah yang jadi sasaran
implementasi Kurikulum 2013 tak hanya 3,5 persen. Jumlah ini terlalu
sedikit untuk implementasi suatu kurikulum baru. Untuk rintisan saja jumlah
ini sangat sedikit. Untuk mengimplementasi kurikulum baru, idealnya paling
tidak 50 persen dari keseluruhan sekolah, dan untuk rintisan idealnya paling
tidak 10 persen. Angka yang 3,5 persen itu idealnya untuk uji coba.
Antara implementasi,
rintisan, dan uji coba memiliki persyaratan dan perilaku yang berbeda.
Implementasi dilakukan untuk kurikulum yang sudah ”jadi” dan dalam
perlakuannya sudah tidak ada (banyak) perbaikan. Rintisan dilakukan untuk
kurikulum ”hampir jadi” dan dalam perlakuannya dimungkinkan ada (banyak)
perbaikan. Uji coba untuk kurikulum ”belum jadi” dan dalam perlakuannya
dimungkinkan banyak perbaikan, bahkan dimungkinkan tidak dilanjutkan
sampai tahap implementasi.
Implementasi kurikulum
pada sekolah yang terlalu sedikit jumlahnya, apalagi terpusat pada suatu
lokasi, sangat besar risikonya; baik risiko substantif (sulitnya menyamakan
kesetaraan substansi antarsekolah), risiko representatif (sulitnya mengukur
representativitas karakter sekolah), dan risiko implementatif (sulitnya
mengimplementasikan kurikulum tahapan berikutnya). Implementasi Kurikulum
2013 mengalami semua risiko tersebut.
Evaluasi produk
Implementasi Kurikulum
2013 ibarat orang berlari sambil membetulkan tali sepatu. Artinya sudah lari
meski persiapannya belum selesai. Implementasi Kurikulum 2013 juga demikian;
sudah diimplementasi meski persiapannya belum selesai.
Apa persiapan yang
belum selesai? Banyak guru yang menjalankan kurikulum baru, tetapi belum
mendapat penataran; banyak kepala sekolah juga belum ditatar; dan buku-buku
yang mendukung kurikulum baru pun belum semua dimiliki sekolah.
Sebenarnya banyak
konsep bagus dalam Kurikulum 2013. Misalnya konsep tematik integratif di SD,
tapi tidak bisa terlaksana dengan baik karena pemerintah sibuk ”membetulkan
tali sepatu”. Konsep tematik integratif sangat baik, tapi pelaksanaannya
perlu kesiapan guru; dalam hal ini gurunya harus profesional, menguasai
banyak materi, pandai mengintegrasi materi satu dengan yang lain, serta
pandai menyampaikannya kepada peserta didik. Hal inilah yang belum dimiliki
kebanyakan guru SD kita.
Hal yang sama juga terjadi
di SMP. Teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang diubah konsep dari mata
pelajaran menjadi sarana pembelajaran pada semua mata pelajaran menuntut
semua guru SMP menguasai TIK dalam pembelajaran. Konsep ini sangat bagus,
tetapi dalam realitasnya banyak guru SMP yang kurang familiar dengan TIK.
Dengan kenyataan
seperti itu, sulit menyatakan Kurikulum 2013 telah berhasil dijalankan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar