Selasa, 28 Januari 2014

Presidensialisme setelah Vonis MK

                Presidensialisme setelah Vonis MK              

Fahrul Muzzaqi  ;   Direktur eksekutif Sonar Media Consultant (SMC),
Pengajar di Departemen Politik FISIP Unair
JAWA POS,  28 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
KEPUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pemberlakuan pemilu serentak pada 2019 merupakan terobosan yang cukup bagus bagi perkembangan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Terlepas dari pro-kontra soal kapan waktu keputusan itu dikeluarkan berikut diterapkan, ada beberapa persoalan yang perlu untuk dipikirkan. Persoalan itu tidak lain adalah implikasi putusan MK tersebut terhadap bangunan sistem pemerintahan presidensialisme yang masih belum kukuh di Indonesia. 

Selama ini konstitusi menghendaki sistem permerintahan yang diberlakukan adalah sistem presidensial. Alasan utamanya adalah penciptaan stabilitas demokratisasi. Artinya, demokratisasi yang sedang mencari format kelembagaan itu kiranya perlu diteraturkan secara prosedural dan periodik. 

Legislative Heavy dan Delegitimasi Partai Politik 

Semangat untuk memperkukuh sistem presidensialisme itu mendapat tantangan manakala mencermati implikasi putusan MK. Pertama, putusan tersebut berimplikasi pada semakin terbukanya peluang para bakal calon presiden untuk mencalonkan diri. 


Di satu sisi, hal ini merupakan angin segar bagi para tokoh nasional yang ingin mencalonkan diri sebagai presiden, namun tidak memiliki kendaraan partai besar. Di sisi lain, peluang bagi para bakal calon presiden itu menjadi problem apabila ia memenangkan kontestasi pilpres namun tidak memiliki basis dukungan mayoritas di parlemen. Apa yang terjadi kemudian adalah terhambatnya presiden untuk merumuskan dan menjalankan kebijakan-kebijakannya.

Kekhawatiran ini oleh sebagian kalangan memang ditampik dengan melihat fakta penerapan presidensialisme di lapangan selama ini. Pandangan utamanya adalah bahwa penerapan pemilu serentak tidak berhubungan dengan sistem pemerintahan presidensial. Alasannya, presiden terpilih yang didukung oleh mayoritas kursi di parlemen -entah dari partainya sendiri atau hasil koalisi- tidak menjamin kuatnya lembaga eksekutif dalam merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakannya. 


Sekilas, apabila mengamati pemerintahan yang sedang berlangsung, alasan itu masuk akal. Namun, bangunan logika dari alasan itu sebenarnya masih menyisakan titik kelemahan. Bahwa lemahnya lembaga eksekutif dalam pemerintahan sekarang ini sebenarnya telah ditunjang dengan dukungan kelembagaan yang mengarah pada kukuhnya bangunan sistem presidensial. Nah, dukungan kelembagaan yang sudah relatif kuat itu saja masih menyisakan ruang bagi eksekutif untuk bertindak secara ragu-ragu, apalagi apabila dukungannya lemah atau bahkan tidak ada. Alih-alih memperkuat sistem presidensial, yang potensial terjadi pascaputusan MK itu malah justru melemahkan sistem itu.

Kedua, implikasi putusan itu membuka ruang bagi tuntutan berikutnya kepada MK untuk mencalonkan diri (bagi warga negara) sebagai presiden tanpa melalui ambang batas pencalonan (presidential threshold). Tuntutan inilah yang secara implisit sedang diajukan oleh Yusril Ihza Mahendra kepada MK walau dia tidak mengatakan itu secara eksplisit. Potensi untuk mengarah ke sana tetaplah ada. Lebih jauh lagi, para bakal calon presiden dapat saja berasal bukan dari partai politik (calon independen). Secara normatif, argumentasi untuk membuka ruang yang setara (memiliki hak dan peluang yang sama) bagi para bakal calon presiden untuk mencalonkan diri memang bagus. Persoalannya kemudian adalah kesetaraan pencalonan itu di sisi lain malah melemahkan peran partai politik dalam menjalankan fungsi rekrutmen kepemimpinan nasional.

Dalam konteks semacam itu, kekhawatiran lain yang mengemuka adalah kepercayaan masyarakat terhadap partai politik semakin menyusut dengan beralih pada dukungan orang per orang (personal politics). Alasan ini dapat saja ditampik dengan anggapan bahwa kalau ingin meraih kepercayaan publik kembali, partai politik haruslah berbenah diri. 

Memikirkan Langkah Berikutnya (?) 

Ibarat telah memuntahkan makanan dari perut, orang tidak mungkin memakannya lagi. Begitu pun putusan MK yang telah keluar tidak mungkin ditarik kembali. Peliknya persoalan kelembagaan politik dalam konteks konsolidasi demokrasi di Indonesia kiranya membutuhkan pertimbangan-pertimbangan mendalam untuk jangka panjang. 


Sistem pemerintahan presidensial yang diterapkan di Indonesia idealnya dibarengi dengan penguatan fungsi ideal partai politik sekaligus menyederhanakan sistem kepartaian yang digunakan. Tidak dapat ditawar lagi, partai politik hendaknya memperbaiki sistem kaderisasi, fungsi pendidikan politik, memperjuangkan aspirasi, hingga rekrutmen kepemimpinan nasional baik di legislatif maupun eksekutif.

Dalam sistem kepartaian, semakin sedikit jumlah partai yang bertarung, semakin memungkinkan sistem presidensial diperkuat. Dalam hal ini, seleksi alam bagi partai politik menjadi sebuah keniscayaan. Baik seleksi dari koridor sistem maupun seleksi dari dukungan masyarakat. Kecerdasan dan kesediaan masyarakat untuk "menghukum" partai politik yang terbukti tidak memberikan kontribusi balik yang baik bagi masyarakat sangatlah penting.

Pun secara teknis operasional, ambang batas pencalonan presiden hendaknya masih terus dipertahankan dengan mengacu pada perolehan partai-partai pada pemilu sebelumnya. Keputusan MK yang diberlakukan pada Pemilu 2019 hendaknya masih mempertahankan ambang batas itu dengan mengacu pada hasil perolehan partai politik pada Pemilu 2014. Lebih lanjut, upaya untuk memperkuat sistem presidensial tidak dapat dimungkiri membutuhkan kerelaan para elite partai untuk mendukung secara penuh walaupun barangkali akan mengurangi sedikit keuntungan-keuntungan otoritatifnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar