Demografi Politik Pemilu 2014
Ribut Lupiyanto ;
Deputi Direktur Center for Public
Capacity Acceleration
(C-PubliCA) Yogyakarta
|
KOMPAS,
30 Januari 2014
SETIAP menjelang pemilu, daya
tawar rakyat kian menguat. Partai politik dan calon legislator akan
berpacu demi memikat dan mengikat dukungan rakyat. Optimalisasi strategi dan
pendekatan menjadi kunci agar kampanye berbuah kursi di parlemen.
Suara sebagai ukuran kemenangan
pemilu sifatnya kuantitatif. Suara profesor nilainya sama dengan petani.
Melihat kenyataan ini, ditambah pemberlakuan sistem suara terbanyak, dapat
diprediksi siapa yang mampu mendapat kursi adalah mereka yang memahami
karakter rakyat. Caleg mesti melek kondisi dan peta demografi politik.
Demografi merupakan bagian studi
kependudukan yang mempelajari penduduk terutama mengenai jumlah, struktur,
dan perkembangannya (IUSSP, 1982). Kenyataannya, faktor yang memengaruhi
karakter dan perkembangan penduduk tak hanya faktor demografi. Yaukey (1990)
mengatakan, variabel demografi akan sering berhubungan timbal balik dengan
variabel nondemografi. Salah satu hubungan tersebut melahirkan demografi
politik yang mempelajari hubungan aspek penduduk dan politik.
Secara garis besar terdapat tiga
variabel penting demografi politik. Pertama, jumlah penduduk. Setiap wilayah
dengan jumlah penduduk besar tentu memiliki jumlah pemilih yang besar pula.
Kedua, struktur atau komposisi
penduduk. Komposisi penduduk bisa diamati dari segi jender, golongan umur,
ekonomi, dan pendidikan. Kementerian Dalam Negeri (2012) melaporkan,
49,13 persen penduduk Indonesia adalah perempuan. Artinya, perempuan
adalah konsumen politik potensial. Dari segi golongan umur yang paling
potensial adalah pemilih muda dan pemula. Penduduk berusia 45 tahun ke bawah
mencapai 60 persen dari populasi. Penduduk dari segi ekonomi terpilah jadi golongan atas dan menengah ke bawah.
Penduduk miskin, hingga Maret
2013, tercatat 28,07 juta jiwa atau 11,37 persen. Penduduk kelas menengah
diperkirakan mencapai 55 persen (Bank Dunia, 2012). Selanjutnya dari aspek
pendidikan, BPS (2012) melaporkan rata-rata pendidikan penduduk Indonesia
adalah lulusan SMP atau sederajat.
Ketiga, distribusi penduduk.
Distribusi wilayah dapat dipahami dalam desa-kota. Jumlah penduduk Indonesia
yang tinggal di perkotaan mencapai 54 persen (LGFE-UI, 2012). Distribusi
sosial dapat diamati melalui keberadaan komunitas, baik komunitas sosial,
ekonomi, budaya, maupun ideologi dan agama.
Peta demografis di atas adalah
obyek politik pada Pemilu 2014. Politik sejati akan senantiasa memaknai
setiap kondisi sebagai peluang. Optimalisasi penangkapan peluang dari peta
tersebut butuh strategi pemenangan. Caleg, parpol, dan capres mesti
mempertimbangkan demografi politik sebagai basis pemenangan.
Dinamika pemenangan
Dari segi wilayah, pemenangan
dapat dilakukan dengan memfokuskan diri menguasai wilayah padat penduduk.
Kantong-kantong penduduk seperti wilayah urban dan pinggiran kota menjadi
lahan rebutan yang tidak bisa terhindari. Pemilu 2009 sudah membuktikan,
anggota legislatif yang terpilih sebagian besar berasal dari wilayah ini.
Dari segi jender, pemilih
perempuan menarik dibidik. Pemberlakuan sistem afirmatif menjadikan parpol
minimal memiliki 30 persen caleg perempuan. Caleg ini penting didorong
fokus menggarap segmen perempuan karena kedekatan emosionalnya.
Dari segi golongan usia perlu
kejelian strategi dan pendekatan khusus kepada pemilih muda dan pemula. Gaya
muda, bahasa gaul, kegiatan ringan, dan lainnya dapat jadi pertimbangan.
Matta (2013) menyebut pemilih muda sebagai the new majority dan
pemilih pemula sebagai the native democracy. Kedua kelompok ini menanti
visi dan agenda baru dari setiap peserta pemilu.
Dari segi kondisi ekonomi dan
edukasi, kampanye perlu meyakinkan mereka bagaimana nanti memperjuangkan
kesejahteraannya. Isu pendidikan gratis, kesehatan gratis, lapangan kerja,
kemudahan berusaha yang logis dan sederhana dicerna umumnya laku untuk segmen
ini. Perlu pendekatan yang dapat dipahami golongan ini jika ingin diterima
dan dipilih.
Dari segi distribusi, perlu
pemetaan isu yang tepat serta pendekatan yang sesuai karakter obyek pemilih.
Isu desa tentu beda dengan kota, begitu pula karakter penduduknya. Distribusi
sosial dapat dioptimalkan melalui pendekatan komunitas. Komunitas lebih
homogen dan hampir sama kebutuhannya sehingga cukup efektif jika bisa
mendekatinya.
Jabaran di atas menunjukkan pasar
politik potensial secara demografis. Parpol dan caleg perlu memahami bahwa
rakyat bukanlah konsumen politik semata. Rakyat adalah tuannya parpol, di
mana caleg yang terpilih akan menjadi wakilnya rakyat. Potensi demografi
politik ini semoga benar-benar dimanfaatkan parpol dan caleg dengan semangat
dan komitmen pendidikan politik, sekaligus menjunjung tinggi filosofi
kedaulatan rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar