Ahok
Fransisca
R Susanti ; Wartawan Sinar Harapan
|
SINAR
HARAPAN, 29 Januari 2014
Revolusi belum selesai. Ini kata Bung Karno. Tapi pekan
lalu Basuki Tjahaja Purnama, wakil gubernur Jakarta yang lebih akrab
dipanggil Ahok, yang di Indonesia digolongkan sebagai minoritas karena
bermata sipit dan beragama Kristen, menyitir ucapan ini. Ia mengucapkannya
saat dimintai komentar oleh sebuah stasiun TV nasional tentang Megawati
Soekarnoputri, ketua partai banteng moncong putih yang juga anak biologis
Sukarno.
Keputusan partai yang dipimpin Megawati untuk menyetujui
dirinya yang “minoritas kuadrat” duduk bersanding dengan lelaki Jawa yang
populer dari Solo tapi minim modal, guna memperebutkan kepemimpinan Jakarta,
membuktikan bahwa Mega serius berupaya menuntaskan revolusi Indonesia.
Mungkin benar bahwa revolusi kemerdekaan selesai ketika
Sukarno membacakan proklamasi di Pegangsaan Timur 56, itupun setelah ia
diculik paksa oleh para pemuda Menteng 31 dan dibawa ke Rengasdengklok. Namun
itu toh hanya pintu gerbang. Di belakangnya, Indonesia yang murung,
terisolir, feodal, sektaris, primordial, pemuja duli sembah, pembebek relasi
tuan-budak. Di depannya, Indonesia yang gilang gemilang, adil, makmur,
berdaulat, sejajar, sama rata, sama rasa.
Revolusi belum selesai, kata Sukarno. Lalu kelompok kiri
dan kanan berseteru. Perang dingin membagi barat dan timur. Sukarno tergilas.
Soeharto muncul sebagai pemenang. Modal datang dan menggoyang daulat.
Jalan aspal memanjang dan meliuk hingga ke pulau-pulau terpencil yang
sebenarnya hanya butuh dermaga. Dinding beton tumbuh mencakar langit dimana
di dalamnya ekonomi digelembungkan dan dikempeskan lewat spekulasi pasar
saham. Tapi ironisnya jejak primordialisme - keterkungkungan komunitas karena
sama kulit, sama ras, sama etnis, sama suku, sama agama, sama kelamin- yang
kita kira sudah endap di belakang gerbang merdeka, muncul ke permukaan dan
membuat gaduh modernitas.
Revolusi belum selesai, kata Ahok. Untuk itulah ia ditaruh
di Jakarta untuk menguji nyali manusia Indonesia yang mengaku paling modern,
kelas menengah baru yang dengan pongah menyebut revolusi sudah tak ada
lagi.
Di tahun 1740, kota yang dipimpin Ahok saat ini pernah
bersimbah darah. Oktober 1740, huru-hara terjadi di dalam tembok Kota
Batavia. Para serdadu VOC melakukan perampokan dan pembersihan warga China.
Pemukiman Cina dibakar, dan semua warga China dalam tembok kota, baik
laki-laki, perempuan, maupun anak-anak yang lari berhamburan ke jalanan kota
itu dibunuh dengan keji. Ratusan orang China ditahan di Stadhuis –kini Museum
Jakarta- lalu setelahnya mereka disembelih di halaman belakang gedung
tersebut. Diperkirakan 10.000 warga China mati. Sejak itu, Batavia butuh
waktu lama untuk bangkit lagi.
Seorang Banjar, dicatat oleh J. Rusconi, menulis syair
untuk masa gelap itu. “Perang Jakarta sudah berhenti, perang menang rugi
Kompeni, negri pun sunyi, China lari…”
Tapi pembantaian itu ternyata baru awal. September 1825,
Perang Jawa meletus di bawah pimpinan pangeran bersorban: Diponegoro.
Perang ini tak semata melawan kompeni Belanda, tapi juga China. Bulan
itu, pasukan Diponegoro di bawah pimpinan Raden Ayu Yudakusuma menuju
Ngawi, sebuah kota kecil di Jawa Timur. Sebuah kelompok China, sekitar 100
orang, menjadi target. Semuanya tewas dibunuh. Di mata Jawa, China adalah
kafir.
Namun di luar pengkafiran, pasukan Diponegoro bergerak
lebih jauh pada sikap antirasis. Hanya gara-gara seorang perempuan. Catatan
Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya, menyebut,
pada Oktober 1826, pasukan Diponegoro kalah di Gowok. Seorang perempuan
pemijat China dituding sebagai biang musabab kekalahan. Hanya karena malam
sebelumnya sang pangeran bercinta dengan perempuan itu, kekalahan itu
dianggap sebagai karma. Maka muncullah nubuat itu: pengikut Diponegoro
dilarang kawin dengan perempuan China maupun mengambil perempuan peranakan
sebagai selir.
Saat ipar Diponegoro, Sasradilaga, yang juga sering serong
dengan perempuan-perempuan China di Lasem, mengalami kerugian besar dalam
perang di pantai Utara, maka nubuat itu makin mendapatkan pembenaran.
Kebencian pada ras China meruncing dan makin tajam saat persaingan dagang
antara orang China dan kaum borjuis Muslim berkecambah.
Saat abad berganti, pun saat merah putih sudah berkibar,
dan neoliberalisme menggulung Nusantara bagai air bah, prasangka itu
tak turut pergi. Prasangka ada ketika Sukarno mengeluarkan PP No 10 tahun
1959, saat Soeharto mengibarkan panji anti-komunis di tahun 1965 karena
terhisap gelombang perang dingin, juga saat reformasi menciptakan amuk di
tahun 1998.
Kini, saat Joshua Oppenheimer mendedahkan kebengisan
orang Indonesia di tahun 1965 di layar lebar lewat filmnya The Act of
Killing yang masuk nominasi Oscar untuk film dokumenter terbaik
2014 dan membuat warga China di negeri asalnya ternganga karena
ternyata ada serangan kebencian terhadap orang China di Indonesia selain
tahun 1998, maka sepertinya kita tak perlu buru-buru panik dan mengutuk
Oppenheimer. Seperti halnya kita tak perlu sinis terhadap pribumi. Mungkin
kita perlu instropeksi seperti Ahok. Revolusi memang belum selesai.
Persoalannya, apakah kita berani menuntaskannya? Bukan sebagai pribumi, tapi
juga bukan sebagai China. Namun sebagai Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar