Spiritual Ecology
Maksun ;
Mahasiswa S3 Walisongo Semarang
|
KORAN
JAKARTA, 30 Januari 2014
Krisis lingkungan kini menimpa
hampir seluruh wilayah yang berdampak banjir, tanah longsor, polusi,
ketidakmenentuan cuaca. Alam sahabat manusia menjadi bersifat destruktif dan
ancaman sangat serius kehidupan manusia. Puluhan nyawa melayang akibat banjir
bandang di Manado, Sulawesi Utara.
RF Schumacher dalam A Guide for the Perplexed (1981)
mengatakan ini terkait dengan krisis spiritual. Bencana alam akibat krisis
lingkungan silih berganti harus menjadikan manusia mereoreintasi hidup.
Manusia jangan lagi merusak alam, tindakan tidak bertanggung jawab.
Dalam konteks ini, menarik untuk
dicermati munculnya sebuah aliran pemikiran baru dalam bidang ekologi, spiritual ecology, alternatif terhadap
pemikiran lingkungan dalam perspektif baru. Spiritual ecology adalah sebuah kritik. Pemikiran environtalisme
barat, yang khas ekonomik dan teknologik, kerusakan lingkungan hidup hanya
dipandang sebagai persoalan alami dan teknis.
Secara etimologis, ekologi
berasal dari bahasa Yunani, oikos,
yang berarti rumah atau tempat berdiam, yang juga berarti rumah tangga, dan logos, ilmu.
Ekologi lalu diartikan sebagai
ilmu pengetahuan tentang hubungan timbal-balik antara makhluk hidup dan
lingkungan. Adapun satuan pokok (unit
of analysis) ekologi adalah ekosistem atau sistem ekologi, yakni suatu
kehidupan yang terdiri atas suatu komunitas makhluk hidup (dari berbagai
jenis) dengan berbagai benda mati yang saling berinteraksi membentuk suatu
sistem.
Dengan pengertian dan pokok
pembahasan tersebut, jelas bahwa kajian ekologi berpusat pada manusia dan
alam sebagai suatu sistem (ekosistem). Karena manusia dan alam merupakan
suatu ekosistem, kondisi yang mutlak diperlukan untuk tetap mempertahankan
kesatuan tersebut hubungan timbal balik manusia dan lingkungan.
Banjir, tanah longsor, dan
kebakaran hutan, menggambarkan disharmoni hubungan manusia dan alam. Maka, keserasian
hubungan harus dijaga. Mengingat kedudukan manusia dalam alam lingkungan
kosmik, sewajarnyalah manusia menjadi pusat perhatian utama dari seluruh
rangkaian hubungan makhluk di alam ini.
Hubungan manusia dan alam
didasarkan pada etika antroposentrik, manusia ditempatkan sebagai tuan yang
berkuasa atas alam. Tak dapat dipungkiri, dengan etika semacam ini, yang
dikembangan dalam rangka modernisasi, manusia harus mampu keluar dari
kungkungan determinasi kosmologis untuk menaklukkan alam.
Ilmu pengetahuan, teknologi,
dan industrialisasi membuktikan kekuatan manusia atas alam sekitarnya.
Manusia kini menikmati berbagai kemudahan hidup. Manusia bisa dengan mudah
berkomunikasi jarak jauh dalam dunia, global village ini.
Hanya, di balik kemajuan
tersebut, manusia sekarang menghadapi realitas lain berupa krisis ekologis,
seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan tadi. Tetapi yang paling
mendasar dan langsung menyentuh sisi eksistensi manusia, alienasi
(keterasingan) dari dirinya. Inilah paradok modernitas dari tujuan awal
pengembangan iptek.
"Spiritual Ecology"
Berbagai implikasi negatif dan
destruktif perkembangan iptek atau industrialisasi mendorong manusia melihat
kembali hakikatnya. Untuk apa iptek diciptakan? Kini, ada keinginan kembali
kepada dunia spiritual, setelah sekian lama ditolak karena dipandang tidak
mendorong modernisasi.
Dalam bentuk yang lama,
spiritualisme lebih banyak berorientasi ke atas (teosentrik), sedangkan dalam
bentuk yang baru muncul pada era postmodern, lebih banyak diorientasikan
untuk menjawab persoalan kemanusiaan global (global humanity).
Dalam konteks diskursus
ekologi, kebangkitan spiritualisme ini membawa implikasi pergeseran paradigma
(paradigm shift) ekologi, yaitu
suatu pandangan dasar keekologian yang mencoba mencari dasar-dasar pijakan
spiritual untuk mengangkat alam lebih dari sekadar ilmu.
Dia beroperasi lebih dari hanya
dalam konteks politik. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah
"ekologi dalam" (deep ecology)
sebagai lawan dari paradigma "ekologi dangkal" (shallow ecology).
"Ekologi dalam" ini, secara paradigmatis memunyai pijakan pada
filsafat dan agama. Dari sini dibangun paradigma spiritual ecology.
Apa yang membedakan deep ecology dan shallow ecology? Di antaranya, shallow ecology banyak dibentuk pemikiran-pemikiran modern yang
positivistik dan antroposentrik.
Ini berimplikasi pada
penguasaan manusia atas alam dengan segala akibat yang ditimbulkannya,
sedangkan deep ecology karena
basisnya filsafat dan agama, kesatuan ekologis menjadi pandangan paling utama
dengan menyadari hak asasi manusia dan alam.
Manusia diakui hak asasinya
atas alam karena potensi dan kedudukannya sebagai pengelola– sebagai khalifah
fi al-ardl dalam doktrin
spiritualisme Islam. Alam pun diakui hak asasinya karena berlakunya hukum
keseimbangan (tawazun) semesta.
Pandangan dasar tersebut
berpengaruh terhadap hubungan manusia dan alam sekitar. Jika shallow ecology lebih memusatkan pada
manusia sehingga memunculkan hubungan yang sepihak. Ini antara lain dapat
dilihat pada eksploitasi besar-besaran untuk kepentingan manusia.
Maka, dalam deep ecology, model hubungan yang
diciptakan, keseimbangan (balances). Dalam konteks keseimbangan ini,
eksploitasi terhadap alam tetap dilakukan, namun harus berdasar pada prinsip
keseimbangan.
Atas dasar itu, maka yang akan
dicapai keduanya juga berbeda. Shallow
ecology lebih berorientasi pada produksi untuk mengejar pertumbuhan
ekonomi, deep ecology lebih
diorientasikan demi terpeliharanya moralitas ekologi manusia yang tetap
menjaga keseimbangan alam.
Dari uraian tadi dapat
dipahami, pemikiran lingkungan dalam perspektif spiritual ecology, pada
dasarnya ingin memberi wacana keekologian baru. Persoalan krisis ekologis
lebih banyak berhubungan dengan manusia dalam memandang realitas alam.
Pandangan dasar inilah yang akan membentuk perilaku ekologi (ecological behavior) dengan segala
implikasi yang dimunculkan.
Jika saja prinsip-prinsip spiritual ecology yang berbasis pada
filsafat dan agama itu secara konsisten diaplikasikan dan ditegakkan, krisis
ekologis yang kerap melanda seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan
dapat dieliminasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar