Déjà Vu
Rhenald Kasali ; Guru Besar FEUI; Pendiri Rumah
Perubahan
|
JAWA
POS, 26 Januari 2014
BUAT kita yang sudah beberapa kali mengikuti pemilu, bosan
rasanya menyaksikan ritual "promosi" yang dilakukan para caleg
maupun capres. Bahkan, kampanye belum dimulai, iklannya sudah muncul di semua
media: kaca mobil, punggung angkot, baliho, sampai tv.
Mengumbar janji, menggambarkan tengah berpidato di depan massa, atau seakan-akan sedang blusukan Ada iklan TV yang menampilkan mereka dengan hangatnya menyapa rakyat kecil - sesuatu yang sulit diterima mata kita, sebab tak pernah kita dapatkan dalam kesehariannya. Membangun komunikasi itu bukan snapshot Polaroid, tak bisa sekali jadi. Kalau tidak pernah bergaul dengan rakyat kecil, jangan harap aura kehangatan akan terpancar. Boleh saja berakting dan memoles, tetapi mata rakyat sulit dikelabui. Apalagi, bila hidup Anda steril: pergi dengan pengawal, rumah dibentengi sekuriti, pakai jet pibadi, dan tak suka bersalaman dengan rakyat. Tak ada interaksi, tak ada trust. I Am President Saya kebetulan terlibat dalam sebuah program TV yang terkait dengan semacam "pemilihan presiden" versi anak-anak muda. Pemilik program, Dr Muhammad Asmi, kemudian menyeleksi sejumlah kandidat dari berbagai provinsi dan menamakannya "I am President". Tapi, entah mengapa, banyak yang beranggapan capres itu identik dengan debat. Padahal, presiden itu identik dengan pelayan masyarakat yang bekerja cepat, tangkas, dan memiliki wawasan luas. Barangkali seperti JK, Dahlan Iskan, dan Jokowi yang gesit dan hangat. Maka, dalam ajang I am President pun mereka menjalani serangkaian evaluasi dan pembinaan. Misalnya, sederhana saja: mencuci mobil atau memasak untuk rekan-rekannya. Dari situ terlihat siapa yang menggerutu dan siapa yang genuine. Saya tersenyum mendengar gerutuan mereka. Apalagi, hadiahnya satu miliar rupiah. Harus diakui, ada juga yang merasa dirinya telah banyak berbuat meski sebenarnya belum dilandasi ketulusan. Belum genuine. Dan, harap maklum, kita tengah dikelilingi banyak role model dengan mentalitas pecundang (losers) yang selalu menyalahkan orang lain terhadap setiap kegagalannya. Meski ini hanya tontonan televisi, kita wajib membuka mata mereka bahwa untuk menjadi capres tak cukup dengan hanya modal pintar debat, apalagi cuma visi-misi atau konsep-konsep di atas kertas. Mereka itu bakal menjadi pelayan masyarakat yang heterogen, bukan pelayan kelompok kecil yang memberikan sesuatu. Harus akrab dengan pekerjaan sehari-hari masyarakat kita. Bagaimana mungkin berempati dengan para pedagang cabai, kalau mereka sama sekali tidak pernah turun ke pasar? Oleh Dr Muhammad Asmi, mereka diajak membuat master plan atau blueprint tentang Indonesia yang lebih maju, adil, dan sejahtera. Dari uangnya sendiri, Dr Muhammad Asmi membawa 11 anak muda itu ke Dubai, melihat bagaimana negeri di atas padang pasir yang nyaris tanpa resources sama sekali itu bisa berubah menjadi kaya yang sejahtera. Saya setuju dengan gagasan Dr Asmi bahwa pemimpin harus punya mimpi besar dan tertuang dalam cetak biru yang jelas. Pemimpin besar China, Mao Zedong, pada 1952 punya mimpi besar untuk memindahkan air dari kawasan selatan China yang berlimpah ke utara yang selalu kekeringan. Mimpi besar itu diteruskan pemimpin China berikutnya. Dan, 50 tahun kemudian, China memulai pembangunan megaproyek senilai USD 62 miliar. Kita sudah lama kehilangan keberanian untuk bermimpi besar. Bahkan, untuk membangun Waduk Ciawi, Sodetan Cisadane, jalur baru kereta api, transportasi publik yang bagus, bandara dengan landas pacu yang mumpuni, atau seribu tower rumah susun untuk rakyat saja, susahnya minta ampun. Akibatnya, rakyat mengurus dirinya masing-masing. Pada masanya Bung Karno pernah berujar, "Gantungkan cita-citamu setinggi bintang di langit." Saya lama tak mendengar ungkapan-ungkapan semacam ini dilontarkan para pemimpin kita. Kita hanya mendengar ajakan-ajakan menjadi lebih religius yang tak disertai bukti dan contoh. Lalu, apa yang mesti dilakukan? Dari paparan beberapa capres, sebagaimana saya pantau melalui sejumlah media, saya belum pernah mendengar capres yang bicara tentang perlunya memiliki lebih banyak pelabuhan laut dan pelabuhan perikanan yang modern dengan nelayan yang disekolahkan tinggi-tinggi. Belum ada capres yang menghitung berapa banyak pelabuhan laut dan pelabuhan perikanan yang kita miliki pada saat ini, dan berapa banyak lagi pelabuhan yang kita butuhkan. Jepang, misalnya, memiliki satu pelabuhan untuk setiap 11 kilometer panjang garis pantai. Lalu, negara tetangga kita, Thailand, memiliki satu pelabuhan untuk setiap 50 kilometer panjang garis pantai. Bagaimana dengan kita? Menurut hitungan LIPI, kita hanya memiliki satu pelabuhan untuk setiap 1.157 kilometer panjang garis pantai. Longgar sekali, padahal ini negeri arsipelago. Karena itu, tak heran kalau nelayan kita kesulitan memasarkan ikan-ikan hasil tangkapannya, atau kita dengan mudah menemukan barang-barang selundupan. Lubang tikusnya ada di mana-mana. Kita masih membutuhkan banyak pelabuhan laut dan pelabuhan perikanan. Kita juga masih membutuhkan banyak bandara. Saya kutip saja data dari Bandara Network yang menyebut bahwa kita memiliki 229 bandara. Cukup banyak, tetapi saya yakin kualitasnya jauh dari memadai. Sebagian besar bandara itu pasti tak layak didarati pesawat-pesawat berbadan besar, dan lokasinya sangat tidak strategis. Di antaranya, berada di tengah kota atau dekat dengan kawasan permukiman. Alhasil, sulit untuk dikembangkan menjadi bandara berkelas internasional. Dari 229 bandara, ada 20 yang dinyatakan berstatus internasional. Saya klik website Skytrax, sebuah lembaga survei industri penerbangan yang berbasis di London dan setiap tahun selalu menyajikan peringkat maskapai-maskapai penerbangan dari sejumlah negara, termasuk bandara-bandaranya. Hasilnya, selama 2013, tak satu pun bandara kita yang masuk dalam daftar 100 bandara terbaik di dunia -termasuk bandara terbesar kita, Bandara Soekarno-Hatta. Jadi, banyak pekerjaan besar yang menunggu. Itu sebabnya, saya setuju dengan gagasan I am President, bangsa kita butuh pemimpin yang berani menawarkan Mimpi Besar, tetapi sekaligus dengan konsep-konsep untuk merealisasikan mimpi-mimpi tersebut. Bukan hanya menjual mimpi kosong. Kembali ke pileg dan pilpres, kita tahu bahwa saat ini kita sedang dibujuk para caleg dan capres yang maaf, masih banyak menggunakan cara yang kurang cerdas: mengumbar janji, slogan, dan memoles citra. Dan, kita harus mengalaminya setiap lima tahun sekali. Deja vu. Membosankan. Meski begitu, saya menyarankan, kali ini gunakanlah hak pilih Anda. Jangan golput. Sebab, itu sama saja dengan menyerahkan nasib kita ke tangan orang ngawur. Kita harus menjadi penentu. Jangan biarkan orang ngawur yang menentukannya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar