Pemerintah Daerah dan Kualitas Sekolah Kita
Ahmad Baedowi ;
Direktur
Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 27 Januari 2014
PENINGKATAN
kualitas pendidikan dasar dan menengah tetap menjadi tantangan utama di
Indonesia. Wajib belajar 9 tahun hingga sekolah menengah universal yang
digagas Kemendikbud mengindikasikan bahwa persoalan utama pendidikan
Indonesia masih tetap pada masalah yang sama, yaitu tentang akses dan mutu.
Akses menjadi terserak karena fokus anggaran pendidikan tidak ditujukan
secara komprehensif, sedangkan persoalan kualitas yang menyangkut sinergi antara
pemerintah, masyarakat, dan sekolah juga tak kunjung digarap secara serius.
Sejak diperkenalkannya
reformasi pemerintahan melalui desentralisasi di awal 2000an, pemerintah
daerah telah menjadi penanggung jawab atas penyediaan pelayanan dasar bidang
pendidikan. Ini artinya peran pemerintah daerah menjadi sentral dalam upaya
peningkatan kualitas dan mutu pendidikan dasar dan menengah.
Namun,
pertanyaannya ialah seberapa efektif sebenarnya peran pemerintah daerah dalam
upaya ini? Laporan Local Governance and
Education Performance: A Survey of the Quality of Local Education Governance
in 50 Indonesian Districts yang dilakukan Bank Dunia (2013) menunjukkan
beragamnya kualitas tata kelola pemerintahan daerah dalam memengaruhi
pelayanan pendidikan secara efektif.
Bukan merit system
Salah satu yang
menarik dari laporan tersebut yaitu buruknya pelayanan manajemen pendidikan,
termasuk di antaranya upaya-upaya peningkatan kualitas akademik dan
manajerial kepala sekolah dan guru. Beberapa ilustrasi menarik dari tata
kelola bidang pendidikan yang buruk ialah kontraksi politik lokal yang
menjadikan jabatan kepala bidang pendidikan bukan pada merit system,
melainkan tim sukses bupati/ wali kota terpilih. Karena itu, tidak jarang ada
kepala dinas pendidikan dijabat orang dari pekerjaan umum (PU), lingkungan
hidup, dan sebagainya, yang sebelumnya tidak memiliki rekam jejak yang baik
di bidang pendidikan.
Kelemahan kedua yang
juga berpengaruh terhadap peningkatan kualitas pendidikan ialah lemahnya
kemampuan daerah dalam membuat perencanaan anggaran pendidikan berbasis data
dan skala prioritas. Pola anggaran berjenis DAU dan DAK yang terkadang baru
diterima sekolah di akhir tahun jelas menimbulkan banyak masalah, baik bagi
pemerintah daerah maupun sekolah penerima. Belum lagi implementasi dana BOS yang
sarat dengan manipulasi antara pemda, sekolah, serta wartawan abal-abal dan
LSM lokal yang mencuri anggaran BOS secara bersama-sama. Karena itu,
intervensi pusat terhadap sistem perencanaan anggaran masih tetap diperlukan.
Mendikbud M Nuh
beberapa waktu lalu bahkan berencana menarik kembali kebijakan tentang
pengangkatan kepala sekolah ke tingkat pusat. Mungkin salah satu alasannya
ialah karena banyaknya praktik kotor yang semakin memperburuk kondisi
pendidikan kita. Begitu juga dengan pengelolaan dan penggunaan dana BOS, yang
ditengarai semakin mempersempit jarak kualitas sekolah yang satu dengan
lainnya. Karena itu, tidak ada cara lain kecuali merevisi kembali
undang-undang tentang desentralisasi, terutama di bidang pendidikan.
Apa yang salah dengan
desentralisasi pendidikan kita? Mungkinkah terjadi banyak salah tafsir
tentang makna desentralisasi bidang pendidikan? Di banyak negara berkembang,
terjadi banyak usaha untuk melakukan proses desentralisasi pendidikan. Desain
antara satu dan negara lain memang sangat bervariasi, bergantung pada
kebijakan pemerintah masingmasing. Namun, kebanyakan inisiatif tentang
desentralisasi dilakukan dengan dua cara.
Pertama, cara yang disebut sebagai devolution. Cara ini lebih banyak
mengalihkan program dan tanggung jawab bidang pendidikan dari tingkat pusat
ke tingkat pemerintah daerah.
Kedua, disebut dengan
delegation. Dengan cara ini, kewenangan hampir seluruh aspek dan fungsi
pelayanan bidang pendidikan diserahkan ke tingkat sekolah. Dalam kasus
Indonesia, dua tipe ini digunakan, tetapi dapat dipastikan tanpa melalui
serangkaian kajian dan assessment yang komprehensif tentang kebijakan mana
yang harus dialihkan tingkat daerah dan mana fungsi pelayanan yang dibebankan
kepada sekolah. Maraknya korupsi dana BOS dan pengangkatan kepala sekolah
yang penuh nepotisme merupakan beberapa contoh yang meneguhkan kurang pede-nya kita menjalankan proses
desentralisasi, atau desentralisasi berlaku tetapi setengah hati.
Manfaat sosial
Untuk memperbaiki
citra desentralisasi yang telanjur terpuruk karena tertindas oleh
iklim
demokrasi, selayaknya kita mendaur ulang praktik desentralisasi bidang
pendidikan ke arah yang lebih benar. Pemberdayaan masyarakat dalam rangka
memperkuat basis manajemen sekolah yang lebih baik dan berkualitas adalah
salah satu cara untuk memperbaiki praktik desentralisasi saat ini.
Otonomi sekolah harus diberikan jangan setengah-setengah, tetapi jenis
pelayanan dan fungsinya jelas harus dikaji secara benar. Dengan mengagendakan
penguatan masyarakat sebagai bagian dari manajemen sekolah, sebenarnya kita
hendak melihat fungsi lain dari sekolah yang memiliki manfaat sosial (social benefits).
Ukuran social benefits, beberapa di antaranya
untuk manfaat pasar yang relevan dengan berapa banyak total investasi dalam
pendidikan yang harus dibiayai publik, merupakan ukuran standar seberapa
besar bentuk keterlibatan publik terhadap pendidikan. Jika bentuk kesadaran
ini hidup dan bertumbuh di masyarakat, manfaat sosial pendidikan untuk orang
lain dan generasi mendatang pasti memiliki jaminan masa depan yang cemerlang.
Desentralisasi pendidikan harus
terus diyakini sebagai salah satu solusi dalam memberikan kontribusi besar
bagi kemajuan bangsa. Fungsi desentralisasi pendidikan seharusnya sebagai
prime mover yang menggerakkan proses transformasi sosial dan ekonomi untuk
mewujudkan sebuah bangsa yang maju dan modern. Meskipun wacana ini telah
diketahui para pemimpin kita dalam dua dekade terakhir, pada praktiknya
pemerintah kita seperti jalan di tempat dalam menggalang tumbuhnya investasi
di bidang pendidikan yang didanai sektor swasta dan masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar