Selasa, 28 Januari 2014

Pemerintah Daerah dan Kualitas Sekolah Kita

      Pemerintah Daerah dan Kualitas Sekolah Kita     

Ahmad Baedowi  ;   Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA,  27 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
PENINGKATAN kualitas pendidikan dasar dan menengah tetap menjadi tantangan utama di Indonesia. Wajib belajar 9 tahun hingga sekolah menengah universal yang digagas Kemendikbud mengindikasikan bahwa persoalan utama pendidikan Indonesia masih tetap pada masalah yang sama, yaitu tentang akses dan mutu. Akses menjadi terserak karena fokus anggaran pendidikan tidak ditujukan secara komprehensif, sedangkan persoalan kualitas yang menyangkut sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan sekolah juga tak kunjung digarap secara serius.

Sejak diperkenalkannya reformasi pemerintahan melalui desentralisasi di awal 2000an, pemerintah daerah telah menjadi penanggung jawab atas penyediaan pelayanan dasar bidang pendidikan. Ini artinya peran pemerintah daerah menjadi sentral dalam upaya peningkatan kualitas dan mutu pendidikan dasar dan menengah. 

Namun, pertanyaannya ialah seberapa efektif sebenarnya peran pemerintah daerah dalam upaya ini? Laporan Local Governance and Education Performance: A Survey of the Quality of Local Education Governance in 50 Indonesian Districts yang dilakukan Bank Dunia (2013) menunjukkan beragamnya kualitas tata kelola pemerintahan daerah dalam memengaruhi pelayanan pendidikan secara efektif.

Bukan merit system

Salah satu yang menarik dari laporan tersebut yaitu buruknya pelayanan manajemen pendidikan, termasuk di antaranya upaya-upaya peningkatan kualitas akademik dan manajerial kepala sekolah dan guru. Beberapa ilustrasi menarik dari tata kelola bidang pendidikan yang buruk ialah kontraksi politik lokal yang menjadikan jabatan kepala bidang pendidikan bukan pada merit system, melainkan tim sukses bupati/ wali kota terpilih. Karena itu, tidak jarang ada kepala dinas pendidikan dijabat orang dari pekerjaan umum (PU), lingkungan hidup, dan sebagainya, yang sebelumnya tidak memiliki rekam jejak yang baik di bidang pendidikan.

Kelemahan kedua yang juga berpengaruh terhadap peningkatan kualitas pendidikan ialah lemahnya kemampuan daerah dalam membuat perencanaan anggaran pendidikan berbasis data dan skala prioritas. Pola anggaran berjenis DAU dan DAK yang terkadang baru diterima sekolah di akhir tahun jelas menimbulkan banyak masalah, baik bagi pemerintah daerah maupun sekolah penerima. Belum lagi implementasi dana BOS yang sarat dengan manipulasi antara pemda, sekolah, serta wartawan abal-abal dan LSM lokal yang mencuri anggaran BOS secara bersama-sama. Karena itu, intervensi pusat terhadap sistem perencanaan anggaran masih tetap diperlukan.

Mendikbud M Nuh beberapa waktu lalu bahkan berencana menarik kembali kebijakan tentang pengangkatan kepala sekolah ke tingkat pusat. Mungkin salah satu alasannya ialah karena banyaknya praktik kotor yang semakin memperburuk kondisi pendidikan kita. Begitu juga dengan pengelolaan dan penggunaan dana BOS, yang ditengarai semakin mempersempit jarak kualitas sekolah yang satu dengan lainnya. Karena itu, tidak ada cara lain kecuali merevisi kembali undang-undang tentang desentralisasi, terutama di bidang pendidikan.

Apa yang salah dengan desentralisasi pendidikan kita? Mungkinkah terjadi banyak salah tafsir tentang makna desentralisasi bidang pendidikan? Di banyak negara berkembang, terjadi banyak usaha untuk melakukan proses desentralisasi pendidikan. Desain antara satu dan negara lain memang sangat bervariasi, bergantung pada kebijakan pemerintah masingmasing. Namun, kebanyakan inisiatif tentang desentralisasi dilakukan dengan dua cara.

Pertama, cara yang disebut sebagai devolution. Cara ini lebih banyak mengalihkan program dan tanggung jawab bidang pendidikan dari tingkat pusat ke tingkat pemerintah daerah.

Kedua, disebut dengan delegation. Dengan cara ini, kewenangan hampir seluruh aspek dan fungsi pelayanan bidang pendidikan diserahkan ke tingkat sekolah. Dalam kasus Indonesia, dua tipe ini digunakan, tetapi dapat dipastikan tanpa melalui serangkaian kajian dan assessment yang komprehensif tentang kebijakan mana yang harus dialihkan tingkat daerah dan mana fungsi pelayanan yang dibebankan kepada sekolah. Maraknya korupsi dana BOS dan pengangkatan kepala sekolah yang penuh nepotisme merupakan beberapa contoh yang meneguhkan kurang pede-nya kita menjalankan proses desentralisasi, atau desentralisasi berlaku tetapi setengah hati.

Manfaat sosial

Untuk memperbaiki citra desentralisasi yang telanjur terpuruk karena tertindas oleh 
iklim demokrasi, selayaknya kita mendaur ulang praktik desentralisasi bidang pendidikan ke arah yang lebih benar. Pemberdayaan masyarakat dalam rangka memperkuat basis manajemen sekolah yang lebih baik dan berkualitas adalah salah satu cara untuk memperbaiki praktik desentralisasi saat ini.

Otonomi sekolah harus diberikan jangan setengah-setengah, tetapi jenis pelayanan dan fungsinya jelas harus dikaji secara benar. Dengan mengagendakan penguatan masyarakat sebagai bagian dari manajemen sekolah, sebenarnya kita hendak melihat fungsi lain dari sekolah yang memiliki manfaat sosial (social benefits).

Ukuran social benefits, beberapa di antaranya untuk manfaat pasar yang relevan dengan berapa banyak total investasi dalam pendidikan yang harus dibiayai publik, merupakan ukuran standar seberapa besar bentuk keterlibatan publik terhadap pendidikan. Jika bentuk kesadaran ini hidup dan bertumbuh di masyarakat, manfaat sosial pendidikan untuk orang lain dan generasi mendatang pasti memiliki jaminan masa depan yang cemerlang.

Desentralisasi pendidikan harus terus diyakini sebagai salah satu solusi dalam memberikan kontribusi besar bagi kemajuan bangsa. Fungsi desentralisasi pendidikan seharusnya sebagai prime mover yang menggerakkan proses transformasi sosial dan ekonomi untuk mewujudkan sebuah bangsa yang maju dan modern. Meskipun wacana ini telah diketahui para pemimpin kita dalam dua dekade terakhir, pada praktiknya pemerintah kita seperti jalan di tempat dalam menggalang tumbuhnya investasi di bidang pendidikan yang didanai sektor swasta dan masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar