Tahun Politik Berbahaya
Meuthia Ganie-Rochman ;
Sosiolog Organisasi, Mengajar di Universitas
Indonesia
|
KOMPAS,
27 Januari 2014
KONDISI berbahaya dalam
kehidupan politik sering mengambil bentuk yang rumit dan halus.
Tidak selalu tentang kekuatan
dominan yang mampu menyingkirkan oposisi. Bahaya itu bisa muncul dari
keterlibatan masyarakat sipil. Kondisi Indonesia tahun 1960-an dikenal
melalui film The Year of Living
Dangerously. Di sana, simbol yang dihasilkan kekuatan politik dominan
untuk menggalang kekuatan digunakan masyarakat sipil guna meneror masyarakat
sipil lainnya. Namun, bahaya politik hampir selalu didorong apa yang terjadi
di arena politik negara.
Tahun 2014 adalah the year of politicking dangerously untuk
Indonesia yang juga melibatkan masyarakat sipil. Ia akan membuktikan apakah
terjadi keadaan yang disebut ilmuwan politik Michael Johnston sebagai warga
negara yang terpaksa tak demokratis. Kondisi ini lahir pada konteks negara
dengan sistem politik formal demokratis, tetapi belum mampu menghadirkan
mekanisme akuntabilitas para pejabat publik.
Warga sipil yang mengambil sikap
tak demokratis secara putus asa dan pragmatis memilih wakil rakyat atau
pemimpin semata karena orang itu berasal dari daerahnya. Berdasarkan
pertimbangan sosial mereka, wakil yang demikian setidaknya akan sedikit
memberikan perhatian atau keuntungan. Pada dasarnya sudah terjadi
ketidakpercayaan yang sangat luas pada sistem politik dan para politisi
seperti di Indonesia sekarang. Semua partai hampir tak dapat dipercayai.
Berdasarkan pandangan seperti itu, rakyat apatis menilai calon dengan
berbagai kriteria yang seharusnya secara sehat dikembangkan.
Apatisme warga
Apatisme warga negara merupakan
salah satu bentukan sistem politik demokratis formal, tetapi tanpa
akuntabilitas. Berbeda dengan pandangan populer, demokrasi secara
substansial bukan soal keterwakilan. Demokrasi yang demikian tidak menjamin
perbaikan kesejahteraan yang luas. Proses perwakilan penuh problematik.
Bahkan, seandainya partai berusaha
mewakili berbagai kepentingan, hal ini bergantung pada kemampuan
partai/individu partai dan masyarakat tentang makna keterwakilan. Problemnya
bukan menyuarakan kepentingan, melainkan menempatkan kepentingan dalam
pertimbangan kepentingan yang beragam.
Bukan waktu yang menentukan
kematangan demokrasi, tetapi bagaimana mekanisme membuat proses belajar tidak
terdistorsi. Kemunculan fenomena rakyat yang terpaksa menjadi tak
demokratis adalah salah satu akibat dari terjadinya distorsi dalam proses
demokratisasi (ke arah yang lebih tinggi).
Demokratisasi secara berbeda di
setiap negara memunculkan institusi dan organisasinya sendiri, formal atau
informal. Antara institusi dan organisasi dengan yang muncul belakangan
pasti ada berbagai ”jembatan”-nya. Sebagian dari jembatan itu berbahaya bagi
demokratisasi.
Pertanyaan dasar bagi penulis
tentang demokratisasi adalah apakah praktik yang berlangsung memperkuat atau
memperlemah akuntabilitas dari setiap pemain yang menangani sumber daya
publik? Jika tidak, akan terjadi penyimpangan sumber daya publik.
Penyimpangan ini dilakukan melalui
hubungan dengan wilayah yang sebelumnya dianggap ilegal. Sebagai contoh,
hubungan antara penegak hukum dan organisasi kemasyarakatan yang anarkistis,
hubungan antara pihak yang memeriksa dan pihak yang diperiksa, hubungan
antara peradilan dan broker, pejabat publik dan perusahaan abal-abal, dan
sebagainya.
Melalui hubungan-hubungan ini,
sumber daya publik keluar dan digunakan tidak semestinya. Lebih berbahaya
lagi adalah terjadi penguatan pengorganisasian di antara pihak yang
berhubungan secara ilegal atau tidak absah. Nah, apakah mekanisme demokrasi
yang ada, yang dijadikan patokan, dapat mengontrol wilayah-wilayah ini.
Proses pemilu, misalnya, sama
sekali tidak mampu mengontrol pembalikan wilayah ilegal ini. Hubungan antara
lembaga pemerintah dan parlemen yang digambarkan seimbang
dalam sistem demokrasi justru memunculkan hubungan konspiratif. Para
broker merupakan jembatan medium hubungan ilegal ini.
Kita boleh berdebat tentang apakah
di antara calon presiden ada yang berpotensi membawa perbaikan atau tidak.
Namun, persoalan dalam pemilu legislatif dapat menjadi batu besar perubahan
Indonesia ke arah lebih baik. Sebagai contoh, institusi DPR periode 2009-2014
yang kinerjanya buruk sekali dan sebagian anggotanya terbukti ataupun diduga
melakukan pengkhianatan publik, sekitar 90 persen anggotanya
mencalonkan diri kembali.
Jembatan ilegal
Persoalan jembatan ilegal sudah tumbuh
begitu banyak dalam sistem demokrasi Indonesia. Demokratisasi adalah proses
penguatan negara bersamaan dengan penguatan masyarakat. Pemimpin mendatang,
jika ingin melakukan perubahan, harus dapat mengembangkan mekanisme yang
menjadi pendorong keterlibatan masyarakat sipil sebagai energi melawan
politisi yang ingin mengambil keuntungan diri dan kelompok. Pengetahuan
teknokratik tentang hubungan kerja sama institusi negara dan masyarakat sipil
sangat dibutuhkan. Penulis berpendapat ini bagian penting menilai para
calon.
Akuntabilitas DPR merupakan bagian
sangat penting bagi perjalanan bangsa ke depan. Meski penulis sangat skeptis
dengan para calon saat ini, siapa tahu ada partai yang membuat langkah besar
sebagai komitmen memperbaiki institusi DPR. Penulis, dan (yakin) juga banyak
rakyat Indonesia, ingin mendengar konsep mereka lapisan demi lapisan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar