Media Meliput Bencana
Ignatius Haryanto ;
Peneliti Media di LSPP; Pengajar Jurnalistik
|
KOMPAS,
28 Januari 2014
SEJAK awal 2014 kita menyaksikan
sejumlah bencana alam terjadi di banyak wilayah Indonesia. Jakarta diterjang
banjir tiap tahun. Lalu kita pun menyaksikan Manado tiba-tiba disergap
banjir, longsor. Di sejumlah wilayah di Jawa Barat dan Jawa Tengah pun
mengalami longsor. Kita pun disuguhi berita meletusnya Gunung Sinabung di
Sumatera Utara.
Media adalah alat yang
memungkinkan kita mengetahui perkembangan yang ada. Dan dengan peliputan yang
intensif, kita mengetahui perkembangan bencana tersebut dari menit ke menit,
jam per jam. Di antara sejumlah liputan tersebut, terkadang kita masih
melihat bagaimana media kadang kala terasa kurang pas dalam peliputan
terhadap bencana seperti ini.
Kita melihat,
misalnya, di Jakarta seorang reporter televisi mencemplungkan dirinya ke
tempat banjir dan memberikan laporan langsung. Pertanyaannya: apakah
melaporkan tersebut perlu hingga sampai nyemplung di lokasi banjir
tersebut? Lalu kita pun mendengar beberapa reporter punya pertanyaan yang
agak seragam: ”Sudah dapat bantuan, Pak/Bu?”
Meliput peristiwa
bencana tetap harus dengan memelihara kehati-hatian. Masih ingat kejadian
kecelakaan yang dialami dua kamerawan SCTV dan wartawan Lativi serta dua
orang dari Puslabfor ketika meliput bangkai kapal Levina I pada 25 Februari
2007? Tugas wartawan adalah untuk meliput, bukan diliput (karena wartawan
celaka, atau meninggal, wartawan malah menjadi bahan liputan lain).
Pengambilan posisi gambar oleh reporter televisi harus tetap memperhatikan
hal ini.
Sensitivitas wartawan
atau media terhadap para korban atau mereka yang selamat adalah hal yang
perlu sangat diperhatikan. Ahmad Arif—penulis buku Jurnalisme Bencana,
Bencana Jurnalisme (2010)—pernah membahas hal ini. Ia memberikan
ilustrasi, misalnya: Mereka yang jadi korban bencana atau mereka yang menjadi
pengungsi pun merasa gerah dengan banyak pihak datang untuk bertanya, tetapi
hidup mereka yang tinggal di tenda pengungsian tak berubah juga.
Jebakan dalam liputan berita
Wartawan perlu untuk
memahami ketidakpuasan atau keputusasaan semacam ini. Wartawan dalam
menjalankan tugas untuk mendapatkan informasi terkadang perlu menarik diri
sedikit dan membayangkan diri dalam posisi mereka sehingga mereka tak merasa
diobyekkan semata.
Pertanyaan reporter
akan mencerminkan bagaimana integritas wartawan dan medianya terkait masalah
ini. Jadi, pertanyaan ”Apakah Bapak/Ibu sudah dapat bantuan” seolah-olah mau
menunjukkan bahwa para korban ini harus mengemis minta bantuan. Pertanyaan
akan lebih tepat kalau menanyakan secara umum saja bagaimana mereka
mendapatkan makanan dan minuman setiap harinya.
Jebakan terbesar media
pada masa sekarang adalah persaingan untuk menjadi yang tercepat dalam
menyampaikan berita (bukan bersaing menjadi yang paling akurat; dengan
sedikit mengabaikan soal kecepatan). Di sini surat kabar akan berhadapan
dengan televisi, radio, media daring, dan lain-lain. Perlu dirumuskan posisi
redaksional yang lebih jitu menghadapi soal ini: keakuratan harus didahulukan
ketimbang kecepatan. Namun, pada saat kecepatan dikorbankan, media juga
memberikan kedalaman, perspektif yang lebih luas, serta juga memberikan makna
atas fenomena yang terjadi tersebut.
Pada saat banjir di
Jakarta sedang dalam situasi menegangkan, naik-turunnya debit air menjadi hal
pokok yang diangkat oleh media. Akan tetapi, sedikit media yang kemudian
memberikan suatu perbandingan terhadap kondisi serupa yang terjadi tahun
lalu. Pemberitaan media terkadang seolah meneror masyarakat dengan
angka-angka yang secara kumulatif terdengar terus menaik, tetapi tak
diberikan konteks bahwa kondisi ini tak separah tahun lalu, misalnya. Grafik
akan sangat menolong untuk melakukan perbandingan tersebut.
Bagaimana media bersikap?
Banyak media terlihat
masih gagap memahami bahwa Indonesia adalah negeri penuh gunung api serta
potensi bencana lain di tengah perubahan iklim dunia yang tengah terjadi ini.
Oleh karena itu, ada baiknya setiap media memiliki sejumlah wartawan yang
siap diterjunkan untuk peliputan bencana ini dengan mengikuti sejumlah
pelatihan yang dilakukan beberapa pihak. Di lain pihak, dengan mempelajari
lebih jauh karakter bencana yang terjadi dari waktu ke waktu, media pun bisa
menghadirkan pemberitaan yang lebih bermakna kepada masyarakat.
Sebagai perbandingan,
kita bisa melihat bagaimana televisi NHK di Jepang meliput peristiwa gempa di
Jepang tahun 2011. Silakan cari di Youtube, dan Anda tak akan melihat
bagaimana NHK menggambarkan mayat bergelimpangan, atau air mata kesedihan
yang diperas sampai habis. Tak ada detail (atau teknik kamera close up) atas kesedihan. Peristiwa
gempa dan tsunami setelahnya digambarkan dengan teknik kamera long
shoot.
Mereka yang menonton
akan merasakan kengerian atas fenomena alam tersebut, tapi NHK tak
mengeksploitasi kesedihan para korban. NHK amat sadar dengan posisinya
sebagai lembaga penyiaran publik dan memilih untuk tidak menyiarkan
gambar-gambar dramatis. Nilai di balik ini adalah bagaimana orang Jepang dan
NHK menerima peristiwa alam ini sebagai bagian dari fenomena yang tak
terhindarkan.
Namun, sebagai bangsa, mereka ingin tetap tegar, ingin bangkit,
tak mau mengemis-ngemis bantuan, penuh kebersamaan untuk bangkit dan menapaki
hidup baru. Sikap dan integritas seperti ini yang penting dimiliki media
(juga bangsa kita).
Media juga perlu
menggunakan pendekatan peace
journalism, juga pendekatan jurnalisme empati. Jurnalisme empati
digambarkan oleh Ashadi Siregar sebagai ”seorang jurnalis berusaha memasuki
kehidupan subyek, dengan sikap etis agar tidak melakukan penetrasi yang
sampai mengganggu kehidupan subyek”.
Media juga bisa
menunjukkan kerja pemerintah dalam penanggulangan bencana, juga pelbagai
inisiatif masyarakat menolong sesama. Hal ini penting untuk menumbuhkan
adanya harapan di balik peristiwa dahsyat bencana tersebut. Dengan media yang
lebih sensitif, memberi makna di balik peristiwa, publik pun akan mendapat
manfaat dari suatu peliputan yang lebih bermutu, lebih elegan, dan memberi
nilai dalam memaknai di balik peristiwa tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar