Mewaspadai Satrio Piningit
Mohamad
Sobary ; Budayawan
|
SINAR
HARAPAN, 29 Januari 2014
Badan Pengawas
Pemilu (Bawaslu) kelihatannya khusus dilahirkan untuk disakiti. Lembaga itu
memanggul mandat dari seluruh bangsa untuk mengawasi pemilu.Tetapi, apakah
para pemimpin partai yang mencalonkan diri sebagai presiden, senang diawasi?
Bagi orang yang ambisinya besar dan merasa harus menang karena tahu
dirinya disebut “satrio piningit”, kelihatannya diam-diam menolak kehadiran
pengawas.
Mengapa harus ada pengawasan? Pemilu sekadar merupakan cara mengukuhkan dirinya, yang sudah “piningit”. Artinya, sudah merupakan pilihan alam dan dianggap pilihan terbaik. Mengapa pakai diawasi segala? Bagaimana kalau pengawasannya malah menjadi penghalang bagi ambisi, langkah, dan strategi politiknya, padahal dia sudah “piningit”, dengan kepastian menang dalam pemilu? Apa gunanya Bawaslu kalau hanya akan membuat posisinya sebagai yang dipingit itu hilang lenyap karena pengawasan? Ini rintangan berat. Jadi, sebaiknya lembaga yang tugasnya “mengawasi” pemilu itu justru harus diawasi. Banyak cara untuk mengawasinya. Bisa saja dibuatkan peraturan agar dia tak berdaya sejak awal, segenap langkahnya tidak penting, protes-protesnya atas segenap pelanggaran pemilu mudah dianulir, dan tidak berarti. Kecuali itu, pengawasannya dibatasi hanya bersifat moral dan etis sehingga tidak memiliki kekuatan hukum apa pun. Jika yang merasa dipingit itu menyimpang dan ketahuan Bawaslu, penyimpangannya hanya tidak memiliki akibat apa pun. Dia hanya akan “diingatkan” dan “ditegur” dengan lemah lembut, tapi tak ada sanksi hukum apapun. Begitulah mekanisme “demokratis” yang dibuat untuk menyakiti demokrasi itu sendiri dalam mengatur penyelenggaraan pemilu yang sudah ditetapkan untuk sang “piningit”. Buat orang yang merasa dirinya bakal menjadi pemenang, peduli apa dengan pengawasan? Baginya pengawasan itu boleh ada, sah, dan baik kalau pengawas hanya mengawasi partai-partai lain dan mengukuhkan posisi politiknya sebagai sang “piningit” tadi. Kalau tidak, sekali lagi, Bawaslu tidak diperlukan. Namun, seseorang yang sudah dipingit dan dia tahu dirinya memang dipingit, mengapa harus cemas menghadapi lembaga pengawasan? Bukankah yang dipingit itu harus menjadi pemenang? Mengapa masih juga risau memikirkan kemungkinan untuk menyimpang? Yang “piningit” beneran, biarpun melalui proses demokrasi yang panjang dan melelahkan, tak perlu bertindak culas karena pilihan alam tidak pernah keliru. “Si terpingit” seharusnya tenang saja. Selain itu, niscaya bakal terjadi sesuatu yang gaib dan aneh. Akhirnya, tahu-tahu dia menang secara meyakinkan tanpa menimbulkan protes dari pihak lain. Seaneh apa pun proses itu, demokrasi tak bakal ternodai. Kemenangannya sah, tak ada cela secara politik maupun hukum. Meskipun begitu, kita harus berhati-hati. “Satrio piningit” itu idiom politik Jawa tradisional. Sementara pemilu, kita tahu, instrumen politik modern. Bagaimana membuat “matching” satu sama lain tidak mudah. Manipulasi, keculasan, dan kebohongan bisa terjadi. Jelas kita harus mengawasi gerak-gerik sang “satrio piningit” agar dia tak berbuat curang. Jebakan Demokrasi
Minggu lalu,
Bawaslu menyelenggarakan diskusi terbatas dengan mengundang tokoh-tokoh yang
disebutnya “tokoh bangsa”. Banyak hal disampaikan para tokoh dalam diskusi
agak tertutup minggu lalu itu. Inti pembicaraan, semua pihak merasa wajib
mengawal jalannya pemilu agar yang terjadi hanya apa yang baik bagi rakyat,
bangsa, dan demokrasi. Jadi, harapan semua pihak pemilu berjalan lancar,
selamat, aman, dan damai.
Mengenai “satrio piningit” yang sudah kita bicarakan di sini, saat itu terlupakan. Saya perlu mengusulkannya dan semoga teman-teman di Bawaslu menerimanya. Idiom politik Jawa, “satrio piningit” itu, dalam praktiknya merupakan jebakan bagi demokrasi bila yang menjadi “si terpingit” terlalu ambisius, ingin segera menjadi presiden dan kelihatan haus sekali akan kekuasaan. “Si terpingit”, bila dalam Pemilu 2014 akan datang ini tampil lagi, sebaiknya diawasi terus-menerus. Bukan mustahil bila kelak tiba-tiba ada klaim bahwa seorang calon pesiden menganggap dirinya “satrio piningit”. Kita tak usah mempercayainya secara berlebihan. Bagi yang tak mau percaya sedikit pun, mungkin itu sikap politik yang lebih sehat dan harus didukung. Tidak percaya pada apa yang “sok serbagaib” ada kalanya baik sekali. Kita memerlukan sikap kritis macam itu. “Satrio piningit” sering manipulatif. Sesudah kita amati baik-baik, ternyata dia bukan satrio dan tidak sedang “piningit”. Maksudnya tidak sedang dipingit dan sama sekali tak ada yang merasa tertarik memingitnya. Sebutan-sebutan dan segenap julukan seram, garang, dan mengerikan boleh dibuat oleh mereka yang ingin memasuki kancah pemilu sebagai calon presiden dan wakilnya. Demokrasi dan semangat kekeluargaan tak melarang orang memberi nama hebat-hebat bagi dirinya. Rakyat bukan kumpulan bebek yang mudah digiring ke mana orang menghendakinya. Dari waktu ke waktu kita tahu sebutan dan julukan seram tak ada artinya kalau kenyataannya kosong, tanpa isi, seperti kayu growong ditempati tokek. Sebutan boleh yang serbahebat, tapi kalau kinerjanya buruk dan merusak demokrasi, siapa mau percaya? Seperti disebut tadi itu, “satrio piningit” bukan satrio dan bukan “piningit” karena tidak dipingit siapa pun. Dia hanya jebakan demokrasi. Kita diminta waspada dan mengawasinya terus-menerus. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar