Prahara Parralel State
Bernando J Sujibto ; Kolumnis dan Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi,
Selcuk University, Konya, Turki
|
JAWA
POS, 27 Januari 2014
MEMASUKI tahun politik 2014, kondisi politik dalam
negeri Turki mulai diwarnai manuver panas kelompok-kelompok yang
berkepentingan demi merebut kekuasaan di negara dua benua tersebut. Salah
satu topik yang mencengangkan adalah pengungkapan kasus korupsi di lingkaran
elite kekuasaan. Sebuah penyelidikan intens dan mendadak dilakukan oleh pihak
kepolisian dengan menangkap tiga anak menteri dari partai penguasa bersama
belasan terduga korupsi lainnya. Akhirnya, tiga menteri (Menteri Ekonomi
Zafer Caglayan, Menteri Dalam Negeri Muammer Guler, dan Menteri Lingkungan
Turki Erdogan Bayraktar) mengundurkan diri.
Pengungkapan kasus korupsi tersebut menjadi turning point bagi politik dalam negeri Turki. Sebab, pengungkapan kasus tersebut menjadi buntut perseteruan terbuka antara Perdana Menteri Recep Tayyip Erdoga (RTE) dan salah satu kelompok islamis pimpinan Fethullah Gulen, ulama berpengaruh yang sekarang menjadi eksil di Amerika. RTE mengecam penyelidikan korupsi tersebut sebagai "operasi kotor" untuk menghantam pemerintahannya dan menggagalkan pembangunan ekonomi negara yang dipimpinnya. Yang pasti, ada juga faktor menjelang pemilihan lokal pada Maret dan dilanjutkan pemilihan presiden langsung untuk yang pertama di Turki, Agustus 2014. Untuk itu, dengan sigap, RTE memecat belasan perwira polisi, termasuk kepala unit yang memimpin penyelidikan korupsi. Dalam sebuah siaran pers, RTE dengan lantang mengecam gerakan parallel state dalam negara. Ia dengan tegas melawan tekanan yang semakin besar dari kelompok Gulen Movement sebagai parallel state di Turki. Gulen Movement Secara genealogis, gerakan keagamaan berupa jemaat (Turki: cemaat) telah menjadi bagian dari pergulatan sejarah Turki modern. Meskipun konstitusi sekuler jelas melarang berbagai aliran-aliran keagamaan (termasuk gerakan sufi) sejak 1925, gerakan jemaat terus bergeliat mencari bentuk di bawah tekanan negara. Ada lebih dari 20 jemaat yang berkembang di Turki dengan banyak pengikut, antara lain Nur Cemaati (pengikut Said Nursi), Menzil Cemaati (aliran Naqsyabandi), Süleymancýlar (pengikut Süleyman Hilmi), dan Gülen Hareketi (GH) yang merupakan sempalan Nur Jemaat. GH ditengarai menjadi jemaat yang secara finansial paling kuat karena mereka bergerak secara luwes, pasifikasi, dan menampakkan wajah Islam moderat dengan merambahi semua ranah: pendidikan, media, ekonomi-bisnis, sosial filantropi dan humanitarian, keagamaan, dan juga masuk ke ranah politik dengan cara yang samar. Fungsi Negara Sementara itu, rencana RTE untuk menghapus dershane (lembaga kursus untuk siswa-siswi sekolah) yang dikuasai oleh GH sebagai salah satu pintu kaderisasi anggota adalah langkah politik yang tidak populis untuk melawan parallel state dan sekaligus menguatkan fungsi negara. Risikonya adalah perang terbuka sang perdana menteri dengan Fethullah Gulen yang merasa dikhianati. Sebab, sejak RTE berkuasa, jemaat FG menjadi pendukung dan menjadi mesin suara bagi partainya, Justice and Development Party (AKP). Tak ayal, kekuatan jemaat GH yang sudah tertanam di hampir semua sektor dalam lini pemerintahan, khususnya di lingkaran kepolisisan, akhirnya melawan dengan membuka penyelidikan korupsi yang terkesan mendadak. Bogem mentah pun datang bertubi-tubi kepada the ruling elite penguasa dan sekaligus menjadi senjata bagi pihak oposisi dari kelompok sekuler dan nasionalis Turki untuk meruntuhkan kharisma AKP yang sudah berkuasa lebih dari 10 tahun terakhir. Perang politik terbuka dengan GH, hingga minggu ini, memperlihatkan bahwa RTE adalah seorang yang konsisten untuk menguatkan fungsi negara seperti yang dicita-citakannya. Memerangi parallel state, deep state, parallel structure, ataupun state within a state bukanlah tugas mudah. Sebab, RTE akan menghadapi kekuatan besar yang, meminjam istilah Galip Dalay, an unelected, unaccountable and invisible structure embedded in high bureaucracy with affiliates in media and big business (Aljezera, 06/01/2014). Posisi parallel state bukan hanya menjadi bayangan, tetapi dalam skala ekstrem akan mendikte langkah dan kebijakan politik suatu negara. Di Turki, fenomena ini bisa ditelisik di balik pelarangan buku berjudul The Imam's Army (Imamýn Ordusu) yang mencoba menelanjangi Fethullah Gulen sebagai sosok yang bermain di belakang pemerintahan. Akhirnya, sang penulis, seorang jurnalis nasionalis bernama Ahmet Sýk, harus rela mendekam di penjara pada Maret 2011 karena dituduh sebagai illegal organizational document. Akhirnya, setelah RTE secara terbuka menyatakan komitmen untuk menghadapi kekuatan parallel state berupa gerakan jemaat demi memperkuat fungsi dan posisi negara sebagai kekuatan tunggal bagi seluruh rakyat, pelajaran pentingnya adalah political will dengan nyali sang pemimpin yang tidak kecil, tidak kenal berkompromi, dan sekaligus keyakinan menatap masa depan negaranya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar