Mewaspadai Dosis Tinggi Suku
Bunga
Serian Wijatno ;
Pengurus Podomoro
University, Profesional
Keuangan dan Pendidikan, Mantan
Ketua Yayasan Tarumanagara, Alumni Magister Manajemen UI,
Mahasiswa Program Doktoral
|
KORAN
SINDO, 30 Januari 2014
Bank Indonesia sedang menerapkan kebijakan rezim suku bunga tinggi.
Sinyal itu terlihat jelas ketika BI dengan lebih cepat menaikkan suku bunga
hingga 175 basis poin menjadi 7,5%. Bahkan, respons pasar pun sepertinya
sangat berlebihan, karena bank-bank merespons dengan cepat dengan menaikkan
suku bunga simpanan yang lebih tinggi.
Bank-bank percaya bahwa BI melakukan tight
money policy— kebijakan uang ketat. Kebijakan BI di bawah Gubernur Bank
Indonesia Agus Martowardojo adalah menggunakan kenaikan suku bunga, hal yang
berbeda dibandingkan ketika zaman Darmin Nasution yang menginginkan suku
bunga rendah dengan melakukan intervensi. Lihat saja, belakangan ini BI lebih
membiarkan rupiah menuju keseimbangan baru dengan menaikkan suku bunga dan
tanpa melakukan banyak intervensi. Sementara kebijakan sebelumnya lebih
banyak menggunakan masuk ke pasar agar rupiah tidak bergerak liar dan
membiarkan suku bunga rendah.
Pertanyaannya, cukup efektifkah kebijakan suku bunga tinggi ini untuk
mengobati defisit neraca pembayaran yang menjadi penyakit kronis ekonomi
Indonesia? Para pengamat menyebut kebijakan BI ini seperti salah obat, karena
penyakitnya adalah di sisi fiskal, tapi mengobatinya dengan kebijakan moneter
tanpa melihat efek terhadap sektor perbankan dan dunia usaha.
Namun, kebijakan BI dengan menaikkan suku bunga ini tidak salah obat, karena
dengan kebijakan suku bunga tinggi ini efeknya adalah dengan melakukan
pengereman kredit, sehingga tidak dibuat spekulasi dan sekaligus secara tidak
langsung dapat membatasi impor yang selama ini juga menjadi beban berat
neraca perdagangan Indonesia. Bank Indonesia berkeyakinan dengan membatasi
kredit secara tidak langsung membatasi impor, karena semakin besar
pertumbuhan ekonomi ternyata juga membuat posisi impor juga tinggi.
Jadi, kebijakan ini dilakukan untuk mengerem laju pertumbuhan dan pada
akhirnya juga akan memperkecil defisit transaksi perdagangan yang pada
akhirnya mengurangi defisit transaksi berjalan. Hanya, yang perlu diwaspadai
adalah masih tetap tingginya impor bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Impor
BBM sepertinya sulit dibatasi karena sejalan dengan pertumbuhan kelas
menengah yang cukup besar, sehingga dibutuhkan barangbarang konsumsi yang
juga besar––yang ternyata sebagian besar juga impor. Subsidi BBM inilah juga
yang menjadi bom waktu perekonomian Indonesia.
Rezim suku bunga tinggi ini diyakini oleh para pelaku perbankan bisa berjalan
dalam kurun yang relatif lama hingga awal tahun 2015, karena faktor dalam
negeri dan global.
Saat ini bank-bank mengambil langkah menaikkan suku bunga tinggi
simpanan. Bahkan, sebagian besar bank menetapkan suku bunga deposito di atas
suku bunga penjaminan dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Langkah berjaga-jaga
agar likuiditasnya tetap aman dengan menaikkan suku bunga tentu tidak salah.
Pasalnya, tujuan berjaga-jaga ini ada dua hal yaitu agar tetap menjaga
kebutuhan ekspansi kredit dan sekaligus mengamankan dari persaingan bank-bank
yang selama ini terjadi kelangkaan likuiditas dengan menaikkan suku bunga
lebih tinggi. Pembatasan pertumbuhan kredit yang hanya 15% sampai 17% oleh
bank sentral sebenarnya digunakan untuk mengerem ekspansi kredit, yang pada
akhirnya mengerem pertumbuhan ekonomi.
Era uang ketat atau rezim suku bunga tinggi telah datang. Sebenarnya sinyal
pengetatan likuiditas sudah diberikan oleh BI, tidak hanya melalu kenaikan
suku bunga tapi juga melalui moral suasion dengan membatasi kredit dan juga
dengan kebijakan loan to value (LTV) dan pembatasan KPR inden. Kebijakan itu
merupakan pengetatan kredit, karena dengan mengetatkan kredit diharapkan
tidak terjadi jorjoran suku bunga. Jika terjadi persaingan suku bunga maka
akan terjadi “kecelakaan kredit” yang bisa berakibat pada kesehatan bank.
Rezim suku bunga tinggi ini tentu akan berdampak besar pada perbankan dan
sektor riil. Harapannya, Bank Indonesia tidak terlalu besar dalam memberikan
“dosis” yang terlalu tinggi atau “overdosis” suku bunga tanpa memperhatikan
kondisi perbankan. Kelebihan dosis ini sangat mungkin karena pengawasan bank
sudah tidak ada di Bank Indonesia dan beralih ke Otoritas Jasa Keuangan
(OJK). Sikap keras BI dengan “ngotot” memberikan dosis tinggi suku bunga
tentu akan berdampak buruk bagi perbankan dan dunia usaha.
Pengalaman masa lalu, dosis suku bunga tinggi justru melumatkan bank-bank dan
dunia usaha. Risiko terbesar adalah kenaikan non-performing loan (NPL),
persaingan perebutan danayangmelampauibatas, maka akan berdampak pada
kenaikan cost of fund dan bisa memacu penurunan kolektibilitas kredit.
Pengalaman masa lampau, yaitu ketika krisis perbankan tahun 1998 dan respons
atas kenaikanBBMditahun2005yang menerapkan suku bunga yang overdosis,
menyebabkan bankbank mengalami kesulitan karena dunia usaha mengalami
masalah.
Pada tahun 2005, karena kenaikan harga komoditas maka ekonomi masih tetap
tumbuh dan bankbank tidak mengalami. Sementara sekarang ini, situasinya
berbeda dengan lesunya pasar global dan penurunan harga komoditas yang
berlangsung sejak 2011 lalu hingga sekarang ini.
Kebijakan suku bunga tinggi ini jangan sampai overdosis. Kalau itu
sampai overdosis maka akan terjadi keguncangan di perbankan dan sektor riil.
Adanya pemilu memang tetap akan mendorong sisi belanja pemerintah dan swasta
yang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Namun, tentu tidak terlalu besar
kontribusinya.
Kewaspadaan yang perlu dilakukan dalam rezim suku bunga tinggi ini, terutama
setelah melihat faktor dalam negeri dan faktor global terutama membaiknya
ekonomi AS, maka perbankan Indonesia harus tetap menjaga likuiditas yang
memadai. Pasalnya, pelarian dana-dana Negeri Paman Sam akibat membaiknya
ekonominya akan berpengaruh pada likuiditas dolar di dalam negeri. Jika hal
itu terjadi, dapat dibaca maka BI akan menaikkan suku bunga.
Untuk itu, bagi perbankan tidak ada cara lain adalah tetap menjaga
likuiditasnya dan mengerem nafsu pemberian kredit—yang saat ini posisi loan
to deposit rasio (LDR) bank-bank juga sudah relatif tinggi, bahkan sejumlah
bank sudah di atas 90%. Hal yang tak kalah pentingnya adalah menjaga
kolektibilitas kredit agar tidak bermasalah. Kewaspadaan yang tinggi juga
dilakukan terhadap nilai tukar rupiah. Posisi rupiah sepertinya akan didorong
oleh BI dengan menuju keseimbangan baru.
Itu artinya nilai tukar rupiah sepertinya akan dibiarkan tanpa intervensi
yang berlebihan dan lebih memilih kebijakan suku bunga tinggi. Langkah
menjaga likuiditas, menjaga NPL, dan mewaspadai nilai tukar rupiah menurut
pengalaman adalah langkah paling tradisional terbaik selama ini. Bank-bank
yang menjaga tiga hal itu dalam kondisi rezim suku bunga tinggi akan lebih
berkembang. Sementara sektor riil langkahnya adalah melakukan konsolidasi dan
mengurangi pinjaman bank berbunga tinggi. Dan, yang paling penting BI tidak
overdosis menaikkan suku bunga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar