Ubah Fokus Pendidikan
JC Tukiman Taruna ;
Pemerhati Pendidikan
|
KOMPAS,
29 Januari 2014
SEKURANG-kurangnya
tiga alasan mengapa fokus pendidikan kita harus ”balik kanan” 180 derajat.
Akan tetapi, kita harus menunggu pergantian rezim, mengingat penguasa saat
ini ingin zona nyaman dan programnya tidak diganggu gugat.
Analisis ini dapat dipandang
tak etis, tetapi mungkin saja justru sangat etis. Bertens (2000) menegaskan
bahwa untuk menentukan sesuatu etis atau tidak etis, orang harus
mempertimbangkan tiga tolok ukur moral: hati nurani, kaidah emas, dan audit
sosial. Perihal hati nurani, jelas bahwa setiap orang menggunakannya
bergantung pada tingkat ketajaman masing-masing.
Dalam tolok ukur kaidah emas
disebutlah kata mutiara ini: hendaklah memperlakukan orang lain seperti anda
sendiri ingin diperlakukan. Di sini berlaku ungkapan Jawa tepa
salira, tenggang rasa: jika Anda tak ingin sakit hati, janganlah
menyakiti hati pihak lain.
Sementara itu, tolok ukur audit
sosial menyebutkan bahwa di- minta atau tidak, hendaklah siapa pun (terutama
penguasa) menyadari bahwa pihak lain (sebutlah masyarakat) pasti sudah
dengan sendirinya memberikan penilaian terhadap program penguasa. Tulisan ini
berpijak pada tolok ukur audit sosial itu.
Budget
Semua pihak tahu bahwa budget
untuk fungsi pendidikan tertinggi dibandingkan budget fungsi mana pun. Tolok
ukur audit sosial serta-merta dan wajar akan mengatakan (bahkan menuntut),
”Dengan alokasi anggaran terbesar di fungsi pendidikan, apa hasil besar yang
telah dan dapat dirasakan masyarakat?”
Pada 2013, budget fungsi
pendidikan Rp 345,3 triliun. Bahkan, pada 2014 ada kenaikan sekitar 7,5
persen, yaitu Rp 371,2 triliun. Pada 2013, alokasi budget untuk Kemdikbud Rp
51,130 triliun (15 persen dari anggaran seluruh fungsi pendidikan). Untuk
2014, anggaran Kemdikbud Rp 82,7 triliun (22 persen dari budget fungsi
pendidikan). Fakta lapangan pada 2013 salah satunya menyebut- kan bahwa
ternyata di tingkat pendidikan dasar sekitar 480.000 anak (dari 42
juta) drop out ketika mereka berada di kelas II dan III SD (Kompas,
31/12/2013).
Fakta lainnya, angka partisipasi
murni (APM) SMP/sederajat 16,95 persen lebih rendah daripada APM SD/sederajat
di tahun yang sama. Artinya, wajib belajar sembilan tahun tercapai tidak
lebih dari 80 persen dan itu menunjukkan betapa masih ada persoalan penting
menyangkut penuntasan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun.
Belum tuntasnya wajib belajar
pendidikan dasar sembilan tahun ditinjau dari sisi anggaran memang beralasan
sekali karena pada 2013 ternyata alokasi anggar- an untuk pendidikan dasar
hanya 23 persen, untuk pendidikan menengah 22 persen, dan sisanya (55 persen)
dialokasikan untuk pendidikan tinggi. Inilah ”balik kanan” pertama yang harus
terjadi di tahun-tahun mendatang, yaitu alokasi anggaran untuk pendidikan
anak usia dini, dasar, dan menengah harus jauh lebih besar daripada alokasi
untuk pendidikan tinggi.
Balik kanan 180 derajat ini tak
cukup hanya pada alokasi anggarannya, tetapi juga para pejabat di Kemdikbud
karena dalam lima tahun terakhir ini mereka didominasi unsur perguruan
tinggi.
Paradigma ”wong cilik”
Tidak tuntas di wajib belajar
pendidikan dasar sembilan tahun (anak usia 7-15 tahun)
agaknya menjadikan ”ketakutan”
tertentu dalam diri Kemdikbud dan akhirnya tidak berani mencanangkan wajib
belajar 12 tahun. Lalu dirumuskanlah Pendidikan Menengah Universal (PMU) dan
mulai 2014 konon PMU sangat diutamakan agar kelak pada 2020 sebanyak 97
persen anak usia 16-18 tahun mendapat pendidikan menengah (Kompas,19/8/2013).
Konsep PMU tidak sangat tegas,
kecuali hanya menekankan bahwa PMU adalah bentuk investasi yang mengantarkan
generasi sekarang menjadi generasi masa depan yang kompeten dan produktif.
Maka, PMU perlu dilandasi tiga kriteria: nondiskrimi- natif, afirmatif, dan
kualitas (Bambang Indriyanto dalam
majalah pendidikan Merah Putih, Edisi 58, Desember 2013).
Ketidaktegasan ini sebaiknya menjadi momentum ”balik kanan” kedua bagi
penguasa ke depan yang konon selalu mengumandangkan jargon demi
kesejahteraan wong cilik.
Intinya, setelah balik kanan
pertama, maka pada balik kanan kedua ini harus berani ditetapkan dan
ditegaskan pentingnya wajib belajar 12 tahun. Pemaknaan tentang wong
cilik jangan terbatas pada aspek dan hitungan ekonomi yang mengarah
kepada mereka yang miskin, tetapi juga harus fokus kepada wong
cilik dalam arti anak usia 0-18 tahun dalam segala aspek kebutuhannya,
terutama pendidikan.
Dunia pendidikan dewasa ini sudah
sangat kapitalistis. Contoh sangat jelas adalah kegiatan studi banding ke
luar negeri yang dilakukan, baik siswa, kepala sekolah, maupun guru (termasuk
di perguruan tinggi). Studi banding ke luar negeri sebenarnya hanya pergi
pesiar, wisata, dan belanja, tetapi dibungkus studi banding tanpa pernah
mempertimbangkan sebanding atau tidak.
Paulo Freire pernah menegaskan
dalam Sekolah, Kapitalisme Yang
Licik (ed M Escobar, 1998),
tindakan pendidikan adalah tindakan politik yang sangat memengaruhi cara
pandang setiap orang dalam mengkritik sistem kehidupan dan pendidikan yang
sangat diwarnai corak kapitalisme. Sayangnya, sekolah justru menanamkan cara
pandang dan sistem kapitalisme itu.
Sekolah selalu gagal menanamkan
dan menghadirkan realitas sosial yang harusnya digumuli sekolah (siswa dan guru)
karena proses dan reproduksi pendidikan sangat jauh dalam membaca realitas
sosial secara kritis dan cerdas. Mengambil contoh yang saat ini sedang
terjadi terkait bencana alam, apakah Kemdikbud punya terobosan agar sekolah
mengajarkan realitas sehari-hari tentang banjir, tanah longsor, gempa? Tidak.
Karena itu, diperlukan ”balik
kanan” ketiga. Penguasa ke depan hendaknya benar-benar menyadari bahwa
pendidikan harus berhasil menanamkan bela rasa kepada wong cilik dalam arti golongan
miskin menderita, maka sekolah harus dijauhkan dari pola pikir kapitalistis.
Alokasi dana fungsi pendidikan 65 persen terserap untuk gaji dan berbagai
tunjangan guru (dan dosen). Karena itu, penguasa ke depan harus berhasil
menuntut guru benar-benar mencurahkan seluruh perhatiannya kepada tertanamnya
bela rasa kepada wong cilik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar