Gagap Elitisme dan Ilusi Otonomi
Pamungkas A Dewanto ;
Mahasiswa
Graduate School of International Relations, Ritsumeikan University, Kyoto
|
KOMPAS,
28 Januari 2014
PEMILU Presiden 2014 menjadi
menarik karena penyegaran dalam aspek ketokohan dan dinamika pasang-surut
partai politik yang terbangun dalam empat tahun terakhir. Penyegaran
ketokohan ditandai dengan munculnya figur-figur baru dari kalangan eksekutif
daerah, intelektual, dan pebisnis.
Biarpun menarik, masyarakat lupa
dengan pelajaran terpenting yang tersirat dalam perjalanan demokrasi kita,
yakni spirit elitisme. Gejala elitisme ini menjamur dalam perpolitikan kita,
bahkan merasuk dalam kelompok masyarakat madani, termasuk dalam menyikapi
pemilu.
Pertama, semangat kolektif yang
bersifat sentralistik tetap merajai dengan masyarakat yang kian
mengarusutamakan politik nasional ketimbang pembangunan daerah.
Baru saja pesta demokrasi
fenomenal di Jakarta yang memenangkan Jokowi, kini rakyat telah melangkah
mendesak Jokowi kembali mempertimbangkan perannya di kancah nasional.
Fenomena ini muncul karena masyarakat meletakkan skala nasional lebih penting
ketimbang daerah.
Kedua, peran media mendorong isu
”Jakarta” mengesampingkan dinamika politik dan pembangunan di daerah lainnya.
Masyarakat yang sehari-hari
bergantung pada biaya bahan pokok, misalnya, diajak untuk lebih peduli pada
kasus kecelakaan di Jalan Tol Jagorawi yang melibatkan artis Ibu Kota
ketimbang perkembangan kebijakan stabilisasi harga pangan.
Ketiga, kolaborasi organisasi
non-pemerintah dan media, mendorong lahirnya masyarakat yang peduli-Jakarta
ketimbang daerah lain yang memerlukan perhatian khusus. Apalagi di era kini,
kinerja pemerintah sangat didorong oleh desakan kolaboratif dua pihak ini.
Akibatnya tak heran jika
pemerintah lebih fokus membenahi kebijakan yang diawasi ketat di Jakarta
dibandingkan dengan eksesnya di daerah.
Sorotan terhadap isu penegakan
hukum, misalnya, masih terfokus pada kasus-kasus kakap (elitis) dan belum
berimbang. Keberanian masyarakat madani dalam mendorong kasus korupsi
non-elitis masih dibatasi tembok inpopularitas.
Padahal, budaya sentralistik kita
terbukti gagal mengubah paradigma berpikir masyarakat umum.
Di sisi lain, korupsi
administratif yang lebih mengakar, seperti kepengurusan dokumen, tilang, dan
surat izin, terus berlangsung hingga pada level terbawah.
Kasus lain terkait pangan, naiknya
harga kedelai misalnya, lebih direspons secara sentralistik dengan menghapus
biaya impor daripada melihat daerah penghasil kedelai mana saja yang
memerlukan inovasi teknologi pertanian berkelanjutan.
Akibatnya, produsen tempe-tahu
kini menuntut proteksi barang impor dengan cara subsidi kedelai impor,
bukannya menuntut peningkatan produksi pertanian negeri yang tanahnya subur
ini.
Kooptasi
nilai
Budaya sentralistik ini bersumber
dari era kolonial. Belanda sejak tahun 1800 menjadikan Jawa sebagai sentra
transportasi dan produksi bahan pertanian, mengesampingkan Ternate dan
kawasan perairan timur Sumatera yang berkembang ratusan tahun sebelumnya.
Muncul dikotomi ”Jawa” dan
”luar-Jawa” yang membangkitkan dilema definisi Indonesia yang terbatas
Jakarta.
Kini, pemikiran ini masih
mendengung di telinga kita. Padahal, konstruksi ini melanggengkan paradigma
sentral-pinggiran (core-periphery),
yang secara filosofis tidak mengizinkan kita memiliki Indonesia dengan
komposisi kepulauan yang berdiri sama tegak dan sama maju.
Hambatan utama negeri ini bukan
berada di hilir (pusat), tetapi di hulu (daerah).
Kesulitan daerah memahami bahasa
peraturan perundang-undangan yang dibuat dalam kerangka berpikir serba
sentralistik, akhirnya melahirkan peraturan-peraturan daerah baru yang
memungkinkan daerah melenggang bebas mengontrol sumber-sumber ekonomi di
daerah.
Apalagi, budaya perekrutan yang
masif melahirkan birokrasi gemuk dan inefektif (Bureaucratic parkinsonization).
Otonomi daerah belum maksimal
karena paradigma sentralistik juga masih mengakar di daerah. Ketergantungan
pemerintah daerah untuk mendapatkan gelontoran anggaran dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara, misalnya, menjadikan daerah kurang inovatif
dan mengutamakan aktivitas lobi kepada pusat dibandingkan melahirkan sebaran
pertumbuhan baru.
Namun perlu diakui pula, banyak
pemimpin visioner yang lahir karena lulus menghadapi tantangan otonomi ini.
Belakangan kita mendengar
testimoni warga Labuan Bajo atas ketidaksesuaian laporan dan kenyataan (window dressing) pelaksanaan Sail
Komodo.
Sebagian besar kegagalan terjadi
karena ideologi ”asal bapak senang” yang dipelihara sejak Orde Baru. Kepuasan
pusat terhadap daerah dapat dengan mudah diciptakan dengan laporan yang
mengada-ada, jauh dari kenyataan di lapangan.
Kita dihadapkan pada suatu fakta
di mana reformasi elitis sudah terbukti tidak cukup berhasil dalam 15 tahun
terakhir.
Oleh karena itu paradigma
sentralistik harus diubah menjadi konsentrik di mana pusat hanya berperan
sebagai poros dan lingkaran terluar tentunya memiliki ”keliling” (baca:
tanggung jawab) yang lebih besar. Di sinilah pentingnya untuk penguatan
pelayanan dalam lingkup daerah, termasuk pengawasannya.
Oleh karena itu, ketimbang
mendorong Jokowi duduk di poros kekuasaan, lebih baik berkonsentrasi
mengawasi para kepala daerah agar lahir Jokowi-Jokowi baru.
Pemimpin dengan skala kecil akan
lebih realistis dalam melakukan kalkulasi eksekusi kekuasaannya ketimbang
dalam lingkup yang luas, termasuk pengawasannya.
Meski demikian, semua terpulang
pada budaya berpikir kita, apakah kita mampu membebaskan diri dari jerat
elitisme yang masih bersarang di benak kita masing-masing. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar