Bubarkan (Sebagian Besar) LPTK
Amich Alhumami ;
Antropolog,
Penekun Kajian Pendidikan, Bekerja di Direktorat
Pendidikan Bappenas
|
MEDIA
INDONESIA, 27 Januari 2014
SALAH satu kritik untuk
dunia pendidikan ialah keberadaan lembaga pendidikan tenaga kependidikan
(LPTK), yang punya peran penting dan tanggung jawab besar dalam melahirkan
guru. Kritik terhadap LPTK ini terkait dengan jumlah lembaga yang terlampau banyak
sehingga terjadi inflasi institusi, juga terkait kualitas lulusan LPTK yang
dinilai tidak mumpuni. Jumlah LPTK memang sudah sangat berlebih, mencapai 415
institusi yang terdiri atas 12 eks IKIP, 24 FKIP universitas negeri, satu
FKIP Universitas Terbuka, dan 378 LPTK swasta, dengan total mahasiswa
mencapai 1,3 juta orang. Dari ratusan LPTK, terutama yang swasta, mayoritas
berkinerja rendah dan menghasilkan lulusan berkualitas rendah pula. Jumlah
LPTK yang demikian banyak dan mayoritas mutu lulusan yang tidak kompetitif
dikhawatirkan akan menciptakan malapetaka baru di dunia pendidikan.
Pertumbuhan LPTK yang
tidak terkendali memang sangat mengkhawatirkan karena dua alasan: 1)
memperparah komplikasi masalah pengelolaan guru/tenaga kependidikan, dan 2)
menyebabkan kelebihan pasokan guru, terutama yang bermutu rendah, sehingga
kontraproduktif bagi upaya meningkatkan kualitas pendidikan. Tidak diragukan,
kualitas pendidikan sangat bergantung pada mutu guru. Guru memainkan peranan
sentral yang menentukan apakah sistem pendidikan berkinerja baik atau tidak.
Sungguh, masalah utama pendidikan nasional ialah terbatasnya guru bermutu
sehingga kinerja pendidikan Indonesia sangat tidak membanggakan. Upaya
meningkatkan mutu pendidikan harus dimulai dari reformasi LPTK, yang menjadi
tumpuan bagi ikhtiar melahirkan guru-guru berkualitas dengan kompetensi
tinggi.
Kompetensi guru
Menurut data
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2012), dari total guru sekitar 2,7
juta orang, sebanyak 1,7 juta (62%) sudah berkualifikasi S-1/D-4 atau lebih
sebagaimana disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, dan sebanyak 1,5
juta (55%) sudah mengikuti program sertifikasi kompetensi. Ini berarti mereka
telah besertifikat sebagai guru profesional. Namun, status `guru profesional'
tidak serta-merta terpantul pada kompetensi dalam mengajar.
Meskipun guru-guru secara formal telah berkualifikasi S-1/D-4 dan
besertifikat, kemampuan akademik dan kecakapan mengajar mereka ternyata tidak
setara dengan standar profesionalisme keguruan.
Hasil uji kompetensi
guru (UKG) menunjukkan gabungan kompetensi profesional dan pedagogi guru-guru
yang diuji (sekitar 878 ribu orang) ratarata hanya 45,85%, sangat jauh di
bawah kemampuan ideal menurut standar guru profesional. Hasil UKG itu dengan
gamblang menjelaskan betapa guru-guru yang direkrut berkompetensi rendah,
bukan hanya dalam hal pemahaman ilmu didaktik-pedagogik, tetapi juga dalam
hal penguasaan mata pelajaran. Semua pihak tentu sangat prihatin melihat
profil guru dengan kompetensi di bawah standar yang di syaratkan. Berbagai
upaya yang dilakukan pemerintah untuk memperbaiki kualitas guru melalui
program peningkatan kualifikasi dan sertifikasi kompetensi tak kunjung
mengubah keadaan.
Hal tersebut menunjukkan guru-guru yang ada sekarang adalah
produk dari sebuah proses pendidikan keguruan di LPTK yang tidak bermutu. Tak
pelak, kita perlu meninjau peran LPTK sebagai institusi yang bertanggung
jawab dalam penyelenggaraan pendidikan keguruan.
Reformasi LPTK
Upaya meningkatkan
kualitas pendidikan harus dimulai dengan melakukan reformasi LPTK, yang
menjadi jantung bagi pendidikan bermutu. Reformasi LPTK dapat ditempuh
melalui langkah-langkah radikal berikut.
Pertama, identifikasi
LPTKLPTK yang berkinerja buruk untuk kemudian dilikuidasi karena mereka
berkontribusi pada membanjirnya lulusan pendidikan keguruan yang tidak
bermutu. Paralel dengan langkah ini, izin pendirian LPTK baru dan pembukaan
program studi pendidikan keguruan, terutama PGSD di LPTK swasta, ditutup sama
sekali. Langkah ini diperlukan untuk menjaga keseimbangan antara pasokan dan
kebutuhan tenaga kependidikan, sekaligus menghindari terus bertambahnya apa
yang disebut--meminjam istilah di dunia industri--manufacturing defective products dalam pendidikan keguruan.
Bayangkan, setiap tahun LPTK melahirkan ratusan ribu lulusan yang sebagian
besar bermutu rendah dan kemudian mengajar di sekolah-sekolah. Mereka menjadi
bagian dari mata rantai masalah rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
Kedua, proses
penerimaan mahasiswa di universitas LPTK harus dilakukan sangat ketat dengan
menggunakan pendekatan academic merit system.
Mereka yang diterima untuk menempuh pendidikan keguruan di universitas LPTK hanyalah pelajarpelajar cemerlang dengan prestasi akademik tinggi. Kita bisa merujuk pengalaman Finlandia dan Korea Selatan dalam melakukan reformasi LPTK. Kedua negara hanya merekrut masing-masing 20% dan 10% lulusan SMA terbaik untuk mengikuti pendidikan keguruan. Atau, Malaysia yang hanya menyeleksi lulusan SMA dengan nilai A paling kurang 8 dari 10 mata pelajaran untuk kuliah di Institut Pendidikan Guru (IPG). Pendekatan ini mutlak dilakukan agar pendidikan ke guruan tidak ber sifat SENO masif seperti yang berlaku sekarang ini. Sungguh, universitas LPTK harus menjadi institusi prestisius dengan prinsip dasar, the best and brightest individuals go into teaching. Kita bersyukur, dalam dua-tiga tahun terakhir calon-calon mahasiswa yang diterima di universitas LPTK negeri semakin membaik. Peminat LPTK kian meningkat dan kompetisi untuk menempuh pendidikan keguruan makin ketat sehingga setiap LPTK dapat memilih calon-calon terbaik untuk dididik menjadi guru.
Ketiga, ikhtiar
meningkatkan mutu guru dilakukan melalui program Pendidikan Profesi Guru
(PPG). Menurut ketentuan UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, lulusan-lulusan
universitas LPTK tidak otomatis bisa menjadi guru dengan sertifikat mengajar.
Bila ingin menjadi guru, mereka terlebih dahulu harus mengikuti program PPG
yang dilakukan secara sangat selektif di beberapa LPTK terpilih. Program PPG
memberi pembekalan bagi calon-calon guru, terutama pada aspek pengetahuan
pedagogi, yang sangat fundamental dalam kegiatan pembelajaran dan proses
pendidikan secara keseluruhan.
Pengetahuan pedagogi
mencakup antara lain falsafah dan teori pendidikan, psikologi pendidikan,
psikologi perkembangan anak, metode didaktika, evaluasi dan penilaian
pembelajaran, serta praktik mengajar. Program PPG harus pula dimaknai sebagai
pendekatan alamiah untuk menyeleksi hanya lulusan LPTK yang berkualitaslah
yang dapat menjadi guru. Dengan demikian, perlahan-lahan LPTK yang tidak
bermutu akan tutup dengan sendirinya sebab lulusan yang dihasilkan tidak bisa
mengikuti program PPG.
Faktor pedagogi
UU Guru dan Dosen
memberi peluang bagi lulusanlulusan universitas non-LPTK untuk memasuki karier
profesional sebagai guru setelah menempuh program PPG yang berbasis di
universitas LPTK. Peluang ini untuk merespons kritik para ahli dan praktisi
pendidikan bahwa kompetensi profesional--penguasaan subject knowledge-lulusan-lulusan LPTK tidak mumpuni. Penguasaan
mata pelajaran yang lemah bagi guru-guru lulusan LPTK jelas berpengaruh pada
kualitas pembelajaran. Namun penting dicatat, kualitas pembelajaran tidak
sepenuhnya bergantung pada penguasaan subject knowledge semata. Faktor pedagogical knowledge juga sangat
berpengaruh, bahkan merupakan faktor determinan dalam proses pembelajaran.
Hasil studi Bank Dunia
bertitel Teacher Reform in Indonesia
(2013) menunjukkan bahwa guru-guru mata pelajaran matematika yang berlatar
belakang sarjana matematika murni memang lebih tinggi dari segi kemampuan
penguasaan subject knowledge-nya daripada guru-guru berlatar belakang LPTK;
sarjana pendidikan matematika. Namun, apabila dilihat dari hasil belajar,
murid-murid yang diajar oleh guru lulusan LPTK justru berkinerja lebih baik.
Hasil kajian ini menunjukkan betapa faktor pedagogi sangat menentukan karena
terkait dengan kemampuan seorang guru dalam menyampaikan materi pelajaran,
dan bukan persoalan penguasaan subject knowledge belaka. Hasil kajian Bank
Dunia yang baru dirilis ini dapat menjadi basis bagi reformasi LPTK untuk
meningkatkan kualitas pendidikan keguruan dalam rangka memperbaiki mutu
pendidikan di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar