Jalan Panjang Menuju Pemilu Serentak
Saldi Isra ; Guru
Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas
Hukum Universitas Andalas, Padang
|
MEDIA
INDONESIA, 27 Januari 2014
“Terlepas dari soal substansi yang
akan diatur, penyatuan juga dimaksudkan untuk membuat desain undang undang
pemilu agar diberlakukan dalam waktu panjang.”
PUTUSAN Mahkamah
Konstitusi (MK) No 14/ PUU-XI/2013 menga bulkan sebagian permohonan uji
materi (judicial review)
Undang-Undang (UU) Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden (UU No 42/2008) yang diajukan Effendi Gazali. Dalam amar
putusannya, MK menyatakan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UU No 42/2008 tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat (inkonstitusional). Dari rangkaian ketentuan yang dinyatakan
kehilangan validitas konstitusional tersebut, MK menegaskan pemilihan umum
presiden dan wakil presiden harus dilaksanakan serentak dengan pemilihan umum
anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Dengan putusan ini,
keten tuan bahwa pemilihan umum presiden dan wakil presiden (pemilu presiden)
dilaksanakan setelah pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD (pemilu
legislatif) adalah inkonstitusional. Konsekuensinya, ketentuan masa
pendaftaran pasangan calon presiden paling lama tujuh hari terhitung sejak
penetapan secara nasional hasil pemilu anggota DPR, dan pemungutan suara
pemilu presiden dilaksanakan paling lama tiga bulan setelah pengumuman hasil
pemilu legislatif juga kehilangan dasar konstitusional. Karena itu, setelah
meraih status sebagai peserta pemilu, partai politik (parpol) dapat
mengumumkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Secara substansial,
tidak ada alasan untuk tidak memberikan apresiasi atas keberanian MK
mengabulkan permohonan Effendi Gazali. Alasannya sederhana, ketentuan pemilu
legislatif dan pemilu presiden dilaksanakan sekali dalam lima tahun yang
telah disimpangi sejak Pemilu 2004 dan Pemilu 2009 dikembalikan kepada makna
normatif Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945.
Namun, pemulihan konstitusionalitas Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) tersebut
belum akan terjadi pada Pemilu 2014. Penundaan itu dapat dibaca dalam Poin 2
Amar Putusan MK No 14/PUU-XI/2013 yang menyatakan pemberlakuan pemilu
presiden dan pemilu legislatif secara serentak baru dimulai sejak Pemilu
2019.
Mengikuti perdebatan
setelah pembacaan putusan No 14/PUU-XI/2019, pembahasan lebih banyak terfokus
pada pilihan MK menunda penyelenggaraan pemilu presiden dan pemilu legislatif
secara serentak terhitung sejak Pemilu 2019. Salah satu kritik mendasar yang
muncul ke permukaan yaitu lamanya waktu yang diperlukan MK dari putusan yang
diambil di dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH) sampai dengan pembacaan
putusan. Dari putusan tersebut bisa dilacak, RPH dilakukan pada 23 Maret 2013
dan pembacaan putusan baru dilakukan 23 Januari 2014. Jarak sekitar 10 bulan
antara RPH 23 Maret 2013 dengan pembacaan putusan menimbulkan pertanyaan
besar dan sekaligus menjadi misteri di balik putusan No 14/ PUU-XI-2013 ini.
Karena penundaan itu,
muncul gugatan lain yang tidak kalah peliknya, yaitu terkait dengan
konstitusionalitas penyelenggaraan Pemilu 2014 yang masih memisahkan pemilu
legislatif dan pemilu presiden. Persoalan ini muncul karena di salah satu
sisi, MK menyatakan bahwa pemisahan penyelenggaraan pemilu legislatif dan
pemilu presiden inkonstitusional, sedangkan di sisi lain MK menyatakan bahwa
pemi sahan penyelenggaraan pada Pemilu 2014 dengan segala akibat hukumnya
tetap dinyatakan sah dan konstitusional.
Dalam batas-batas tertentu, sikap mendua Putusan MK No 14/PUU-XI/2013
tentunya akan memicu perdebatan keabsahan konstitusionalitas Pemilu 2014.
Bahkan, bukan tidak mungkin, perdebatan masalah ini akan hadir terus sampai
tahap akhir penyelenggaraan pemilu.
Terlepas dari gugatan
soal keterlambatan dan perdebatan konstitusionalitas Pemilu 2014 yang muncul,
sebagai sebuah putusan yang bersifat final, langkah-langkah strategis
menyambut penyelenggaraan pemilu serentak harus dimulai dari jauh-jauh hari.
Dalam hal ini, sekalipun waktu menuju 2019 masih terbilang cukup jauh di
depan mata, banyak masalah yang mestinya mulai didiskusikan. Selain aturan
hukum pemilu serentak, dorongan perubahan perilaku partai politik sebagai
pintu pengajuan pasangan calon harus pula dimulai lebih awal.
Tidak hanya itu, `pesan' di balik putusan No 14/PUU-XI/2013 mestinya
diterjemahkan pula secara tepat dalam mendesain pemilu kepala daerah secara
serentak.
Menyatukan UU Pemilu
Sejak Pemilu 2004,
undang-undang pemilu legislatif dan undang-undang pemilu presiden dibuat
terpisah. Dengan Putusan MK No 14/ PUU-XI/2013, sudah waktunya untuk
memikirkan penyatuan kedua undang-undang tersebut. Bahkan, sekiranya
pemilihan kepala daerah tetap ditempatkan sebagai rezim pemilu, sebaiknya
ketentuannya juga menjadi bagian penyatuan tersebut. Dengan pemikiran ini, ke
depan, DPR dan Presiden akan membentuk Kitab Undang-Undang tentang Pemilihan
Umum dalam satu proses legislasi. Artinya, semua aturan strategis pemilu bisa
dibuat lebih sinkron.
Dalam kerangka pikir
yang lebih besar dan strategis, penyatuan ini diperlukan untuk melakukan
sinkronisasi ketentuan-ketentuan strategis yang berpengaruh signifikan
terhadap kualitas pemilihan umum. Misalnya, mengatur secara seragam persoalan
yang terkait dengan sumber dan penggunaan dana partai politik (parpol)
peserta pemilu. Sebagai institusi yang memiliki otoritas untuk mengajukan
pasangan calon presiden dan wakil presiden, pengaturan secara bersamaan ini
sekaligus dapat digunakan untuk melacak dana parpol yang digunakan calon
presiden. Dengan penyatuan pengaturan ini, penyelenggara pemilu akan menjadi
lebih mudah melacak pergerakan dana parpol dengan dana pasangan calon
presiden.
Selain persoalan dana,
penyatuan pengaturan ini juga diperlukan untuk membangun keseragaman
soal-soal yang terkait dengan penegakan hukum kepemiluan. Misalnya, materi
pelanggaran (baik pidana maupun administrasi) bisa dibangun dalam perspektif
yang sama. Sekiranya ini dilakukan, misalnya, penegakan hukum pidana dan
hukum administrasi dapat menjadi bagian yang bermuara pada peningkatan
kualitas pemilu. Selama ini, pelanggaran-pelanggaran yang terjadi seperti
menguap tidak tentu ujungnya. Akibatnya, pelaku pemilu tidak pernah takut
untuk melakukan segala macam bentuk pelanggaran.
Terlepas dari soal
substansi yang akan diatur, penyatuan juga dimaksudkan untuk membuat desain
undang-undang pemilu untuk diberlakukan dalam waktu panjang. Selama ini,
sadar atau tidak, karena bertahan untuk sekali pemilu, undang-undang pemilu
seperti menjadi proyek lima tahunan. Sekiranya diletakkan dalam desain
kepentingan yang lebih luas, legislasi undang-undang pemilu sangat menyita
banyak energi DPR dan Presiden. Tidak hanya itu, dengan perubahan setiap lima
tahun, pengaturan pemilu sulit keluar dari jebakan dan kalkulasi politik
jangka pendek pembentuk undang-undang.
Ujungnya, penyelenggaraan pemilu seperti berada dalam ketidakpastian
permanen.
Demokratisasi parpol
Meski Putusan MK No
14/ PUU-XI/2013 tidak membatalkan ambang batas pengajuan pasangan calon
presiden (presidential threshold),
pada batas penalaran yang wajar, dengan dipulihkan kembali makna pemilu
serentak dalam Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945, ambang batas minimal
tersebut menjadi kehilangan relevansi. Artinya, semua parpol yang dinyatakan
lolos menjadi peserta pemilu dapat mengajukan pasangan calon presiden dan
wakil presiden sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
Dalam kaitan dengan
itu, dengan menggunakan asumsi maksimal, bila semua parpol peserta pemilu
mengajukan calon sendiri-sendiri, jumlah pasangan calon akan menjadi lebih
banyak. Agar jumlah calon tidak berada di luar akal sehat, persyaratan parpol
peserta pemilu mestinya tidak lebih ringan dan longgar dari ketentuan yang
ada saat ini. Artinya, dengan memakai jumlah parpol dalam Pemilu 2014, paling
banyak hanya akan muncul 12 pasangan calon pada putaran pertama pemilihan
presiden. Jumlah demikian dapat dikatakan lebih dari cukup untuk menyediakan
alternatif calon bagi pemilih.
Namun yang jauh lebih
mendasar dibahas, bagaimana mendorong parpol hadir dengan proses yang jauh
lebih demokratis. Sebagai saluran utama pengajuan pasangan calon presiden dan
wakil presiden, demokratisasi internal parpol menjadi sebuah keniscayaan.
Artinya, pasangan calon yang diajukan harus berasal dari hasil sebuah proses
yang terbuka dan partisipatif. Dengan cara seperti itu, posisi sentral
(seperti ketua umum, ketua dewan pembina, dan lain-lain) di parpol tidak
otomatis menjadi jalan tol menjadi calon presiden dan/atau wakil presiden.
Dengan melihat
bentangan empirik selama ini, mengharapkan semua parpol untuk lebih
demokratis hampir pasti jauh dari mudah. Karena itu, tidak ada pilihan lain
kecuali Undang-undang tentang Partai Politik memberikan paksaan yang tidak
mungkin dihindari. Dalam hal ini, undang-undang tersebut harus menentukan
kerangka dasar keterbukaan proses pengajuan pasangan calon. Jika perlu,
sekiranya tidak melakukan proses terbuka dan partisipatif, parpol bersangkutan
kehilangan haknya mengajukan pasangan calon.
Bahkan, untuk
mendorong proses yang lebih terbuka di internal parpol, undang-undang dapat
saja membuka ruang bagi calon yang berasal jalur perseorangan. Selain
bermaksud memberikan kesempatan bagi warga negara untuk ikut serta dalam
pemerintahan sebagaimana termaktub dalam Pasal 28D ayat (3) UUD 1945, parpol
pun dipaksa untuk menghasilkan calon presiden dan/atau wakil presiden yang
lebih baik dan lebih aspiratif. Tentu saja, sekiranya kesempatan ini benar-benar
tersedia, calon yang memilih jalur perseorangan harus memenuhi syarat dan
dukungan yang tidak ringan.
Dalam hitungan waktu, Pemilu
2019 masih terbilang jauh. Artinya, jalan menuju pemilu serentak masih
panjang membentang di depan. Agar waktu yang tersedia tidak menjadi jalan
panjang nan sia-sia, segala pemikiran demi menghasilkan penyelenggaraan
pemilu serentak yang berkualitas harus dimunculkan ke permukaan. Jika tidak,
pemilu serentak tetap saja sulit menghadirkan presiden dan wakil presiden yang
mampu membawa negeri ini keluar dari impitan persoalan yang kian menggunung. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar