Imlek
dan Keberagaman
Ismatillah A Nu’ad ;
Peneliti Pusat Studi
Islam dan Kenegaraan,
Universitas Paramadina, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 30 Januari 2014
“Sebaik-baiknya masyarakat berbudaya
dan beragama adalah menghargai dan menghormati bahasa praktik beragama yang
berbeda-beda dan bersifat sakral itu.”
TAHUN Baru Imlek atau
Cap Go Meh ke2565 akan dirayakan etnik Tionghoa di seluruh Indonesia pada 31
Januari 2014. Di Jakarta, misalnya, tahun lalu pusat perayaan dialokasikan di
sepanjang kawasan perdagangan (Jalan Jayakarta, Stasiun Kota, Hayam Wuruk,
kawasan bisnis Mangga Dua dan Glodok). Saat itu terlihat heterogenitas budaya
masyarakat berbaur, tak hanya budaya Tionghoa, bahkan juga lenong Betawi
bercampur dengan kultur lokal ikut pula meramaikan karnaval.
Di tengah
heterogenitas, masyarakat yang menikmatinya pun bercampur dan bergembira
seraya tidak memedulikan partikularitas budaya yang semasa Orde Baru berkuasa
mengancam kelestarian budaya multikultural Indonesia. Tarian barongsai dengan
kecrek yang mengiringinya, lenong dan ondel-ondel Betawi yang
berlenggak-lenggok, hingga nyanyian marawis meleburkan suasana tahun baru
Gong Xi Fa Cai. Etnik Tionghoa, Betawi, Jawa, Sunda, Batak, dan sebagainya
lebur dalam suasana cinta kasih dan damai.
Tahun Baru China
(Imlek) di Indonesia baru dirayakan semenjak pemerintahan Abdurrahman Wahid
membuka kebijakan baru bagi kebebasan beragama dan etnik. Asumsinya, tentu
saja akibat perubahan budaya sejak rezim Orba mengekang kebebasan
berkebudayaan. Dalam konteks itu, meski di Indonesia masih terbilang baru
bagi umumnya masyarakat, perayaan Imlek patut dilestarikan sebagai kekayaan
khazanah kebudayaan Indonesia. Tak hanya tradisi multikulturalisme yang harus
dipelihara dalam rangka mengukuhkan akuntabilitas bangsa ini di panggung
global seperti semboyan unity in diversity,
tapi juga akan terasa lebih baik ketika harapan untuk mendirikan kampung
global yang bernama Jakarta atau Indonesia, dengan beragam etnik budaya,
selanjutnya dikreasi secara kultural atau tidak bersifat simbolis.
Meski secara umum dua
etnik besar yang bermukim di Jakarta atau Indonesia seperti Tionghoa dan Arab
telah memiliki geneologi sejarah yang kuat, yang telah tereunifi kasi dengan
kultur lokal masyarakat kita, hal itu tidak menutup kemungkinan dilakukan
pada kultur budaya yang lain seperti budaya India atau Eropa. Implikasi
terpenting dengan adanya tradisi reunifikasi budaya juga dapat meningkatkan
kedewasaan masyarakat, bahwa Tuhan Yang Mahakuasa telah menciptakan beragam
heterogenitas budaya dan etnik yang harus dikenal.
Kedewasaan masyarakat
dalam menangkap fenomena itu sangat penting karena dapat memberi kontribusi
‘pelajaran budaya’, atau bahkan berimplikasi pada dimensi kedewasaan dalam
beragama. Bagaimanapun, menurut Clifford Geertz (1987), agama merupakan salah
satu hasil dari kreasi budaya. Dengan adanya pluralisme agama-agama baik yang
datang dari semenanjung Tionghoa seperti Konfusianisme dan Buddha, dari Arab
seperti Islam, dan India seperti Hindu, akan memberi kesadaran lebih tentang
keberagamaan yang plural, meski terkadang puritanisme memegang warisan klasik
agama tertentu dalam fenomena masyarakat sering terjadi.
Seperti masyarakat
muslim Jawa atau Betawi yang masih cenderung `diskriminatif '
pada agamaagama
tertentu. Karena itulah, pentingnya memperkuat budaya dan pluralisme agama
perlu mendapat perhatian bersama, baik didukung oleh negara maupun kesadaran
kultural masyarakat sendiri.
Upaya-upaya itu tak
semudah membalikkan telapak tangan, tetapi memang harus berjalan secara
linier.
Bahkan kita bisa
belajar dari bangsa Amerika, yang terkenal dengan masyarakatnya yang
heterogen dan plural, karena secara geneologisgeografis negeri itu hasil dari
tanah temuan Columbus pada sekitar abad ke-14. Misalnya, pada dekade 40-an
mantan Presiden Kennedy merasa perlu mendirikan lembaga kementerian negara
yang secara khusus mengurusi masalah heterogenitas budaya dan pluralisme
agama. Poin penting didirikannya lembaga itu bertujuan mendamaikan budaya dan
agama yang sangat aneh dan berbeda-beda, yang datang dari bangsa-bangsa dunia
yang ingin mengadu nasib di dunia baru (new
world).
Lembaga itu dalam
perkembangannya kemudian menghasilkan berbagai corak pemikiran untuk pembangunan
negara kesatuan AS ke depan. Soal pluralisme agama, misalnya, terbukti dengan
adanya lembaga itu akhirnya bisa menyatukan agama-agama di sana. Ideologi
pluralisme diusung oleh negara, yang selain demi kepentingan kelangsungan
perdamaian, juga untuk mengkreasi kesejahtera an bersama dengan tidak ada
diskriminasi dan rasialitas. Akan tetapi, sejarah panjang heterogenitas dan
pluralisme AS tak seperti yang semudah kita pikirkan. Gejolak sosial dan
budaya tetap menjadi pelajaran penting sehingga menjadikan AS sebagai bangsa
besar seperti terlihat kini.
Kasus-kasus
kesenjangan telah banyak mewarnai masyarakat Indonesia dengan etniketnik
lain, terutama Tionghoa. Sebagaimana tragedi yang terjadi pada Mei 1998, yang
hanya karena sedikit urusan yang sesungguhnya tidak perlu terjadi. Meski
tragedi Mei bersifat politis yang dimainkan ‘kekuasaan’, sesungguhnya hal itu
juga ada sentimentalitas dan obsesi negatif dari masyarakat kita yang melihat
sisi negatif dari etnik lain.
Ketika bangsa ini
hendak memadukan langkah memajukan budaya, faktor memperlakukan bahasa juga
sangat penting, terutama ‘bahasa agama’. Seperti praktik-praktik peribadatan
di tengah komunalisme agama masyarakat kita yang berbeda-beda. Dalam kasus di
kawasan Kota (Glodok) ketika komunitas Konfusianisme dan Islam lebih banyak
terlihat, maka `bahasa agama' yang sakral, yang terkadang memang aneh ketika
praktik bahasa peribadatan itu dilaksanakan, akhirnya kembali lagi menjadi
semacam kesenjangan sosial, meski hal itu tak teraktualisasi secara nyata.
`Bahasa agama' memang
bersifat sakral sehingga praktik-praktik simbolis yang `membingungkan' dan
irasionalitas itu, jika tidak dikelola ke dalam sebuah konstruksi penghargaan
pluralisme, bisa menimbulkan konflik. Karena, sebagian masyarakat beragama
akan menganggap sesat kepada masyarakat beragama lain. Hal itu disebabkan
kedewasaan beragama yang belum mapan.
Di sini letak
kedewasaan beragama dituntut untuk membangun konstruksi baru budaya di
masyarakat. Bahwa bahasa praktik agama yang berbeda-beda itu merupakan
sakralitas agama yang memang bersifat demikian, irasional dan untouchable, karena langsung
berhubungan dengan Tuhan yang diyakininya masing-masing. Sebaik-baiknya
masyarakat berbudaya dan beragama adalah menghargai dan menghormati bahasa
praktik beragama yang berbeda-beda dan bersifat sakral itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar