Pemilu 2014 dan Arus Pemilih Post-modernis
Ridwansyah Yusuf Achmad ;
Pemerhati Ekonomi Politik
|
DETIKNEWS,
26 Januari 2014
Demokrasi Indonesia sejak reformasi 1998 telah melahirkan
beberapa perubahan signifikan dalam dinamika perpolitikan. Salah satu yang
berubah adalah karakter pemilih. Saya melihat pemilih kini terkena arus
post-modernisme yang dicirikan dengan pilihan irasional, tidak menyukai
ideologi dan narasi besar, mengutamakan kepentingan lokal, dan menggunakan
perasaan (suka/tidak suka) dalam mengambil keputusan. Karakter ini
meninggalkan karakter modernism yang memiliki ciri rasional, menyukai narasi
besar, universal dan mendukung keberadaan ideologi. Arus post- modernisme ini
didorong oleh kecepatan perkembangan media digital dan teknologi informasi,
yang membuat pemilih semakin berorientasi visual dan terkoneksi satu sama
lain.
Dalam konteks Pemilu 2014, perubahan karakter ini bisa diartikan bahwa narasi besar seperti 'Indonesia Sejahtera' atau 'Menjadi Negara Ekonomi Maju' menjadi tidak laku, dan pemilih akan lebih suka narasi kecil yang bersifat lokal dan menyentuh langsung kebutuhan individu seperti 'Sekolah Gratis Hingga SMA', 'Pajak Penghasilan 1%', atau '1 Miliar untuk 1 Desa'. Arus post- modernisme juga dapat membuat pemilih tidak hanya sekadar melihat sosok karismatik atau pandai orasi, namun juga sosok yang dicintai dengan tulus. Pemilih tidak lagi rasional dalam konteks memilih berdasarkan aspek-aspek kuantitatif seperti prestasi, besar partai, atau kekuatan modal, melainkan ada peranan mengasosiasikan perasaan yang bermain dalam pertimbangan pemilih. Sehingga, Pemilu 2014 bukan menjadi pertarungan menyentuh logika, melainkan pertarungan menyentuh hati. Arus Pasang Tokoh Populis Tokoh populis yang mampu merebut hati pemilih akan menjadi primadona dalam Pemilu 2014. Ia adalah seorang yang mampu mengombinasikan ketulusan berjuang, kemampuan akting politik, kegemaran membaur dengan rakyat, dan bersahabat dengan media. Konsep populis di sini bukan berarti membuat program asal rakyat senang, melainkan menjadi pribadi pada mana rakyat mampu mengidentifikasikan dirinya sama dengan tokoh tersebut. Pemilih post-modernis ini cenderung egaliter, sehingga mereka menyenangi sosok yang dekat, akrab, dan tidak membuat jarak, apalagi arogan. Salah satu fenomena yang terbentuk akibat pemilih post-modernis adalah Jokowi Effect, meski belum pernah terucap dari mulut sang Gubernur kalau dirinya akan maju atau tidak dalam perhelatan calon presiden, tetapi pemilih seakan tak sabar untuk mencoblos wajah Jokowi di bilik suara. Perbincangan dengan Jokowi telah membahana ke sudut-sudut keramaian Indonesia, pemilih seakan percaya penuh bahwa Jokowi mampu membuat perubahan. Meski, saya menduga, para pecinta Jokowi ini juga tidak mengetahui secara rinci perubahan apa yang telah dilakukan oleh Jokowi atau gagasan besar apa yang diusung. Namun rasa cinta kepada sosok populis ini membuat mereka menyerahkan masa depannya pada kepemimpinan seorang Jokowi. Bagi pemilih post- modernis, gagasan pembangunan nan megah bukan menjadi pertimbangan utama selama rasa cinta telah terpaku. Arus Surut Ideologi dan Narasi Besar Pemilih kini tak acuh pada ideologi dan narasi besar, karena menurut post-modernisme, kedua hal ini telah melahirkan friksi dan konflik antar kelompok. Lebih lanjut, post-modernisme menilai dunia akan damai bila antar kelompok tidak mengedepankan ego gagasan dan hidup dalam tata kehidupan pluralisme. Akibatnya, partai politik dan politisi cenderung bergerak tanpa nilai dan cenderung pragmatis. Mereka tidak lagi bermain gagasan apa yang dibawa, karena keterbatasan mereka dalam membuat gagasan yang menyentuh langsung kebutuhan publik. Padahal dalam demokrasi yang berkualitas, peran gagasan ini sangat krusial. Narasi besar beserta ideologi yang menyelimuti seharusnya berkontestasi dalam pesta demokrasi seperti pemilu. Karena pemilu merupakan arena pertarungan narasi, bukan sebuah perhelatan kontes idol.
Sejauh ini saya melihat ada beberapa calon presiden yang
mengusung narasi besar dalam orasi dan kampanyenya, seperti Menuntaskan Janji
Kemerdekaan, Gelombang Ketiga Indonesia, atau Indonesia Lahir Batin.
Narasi-narasi besar ini memang cukup menggugah dan mampu membangkitkan hasrat
sebagai Indonesia. Namun perlu diingat, bahwa ini masih sebuah narasi besar
nan melangit, sehingga menjadi sebuah konsekuensi logis bagi mereka untuk
mampu mengejawantahkan narasi besar yang ada menjadi narasi-narasi kecil yang
lebih kontekstual, lokal, dan membumi. Tentu saja proses komunikasi
narasi-narasi kecil ini juga perlu dengan cara dan oleh pribadi yang populis.
Pilihan Kompromi Partai Politik Pesta demokrasi Indonesia 2014 tampaknya akan menjadi sebuah pesta arus post-modernisme pertama bagi Republik ini. Kompromi antara perjuangan ideologi dan pragmatisme popularitas akan menjadi dinamika menarik. Pilihan bagi parpol dan politisi setidaknya ada dua: pertama, mengusung sosok populis yang dicintai; atau kedua, mengejewantahkan narasi besar menjadi narasi-narasi kecil. Sembari berharap nilai-nilai negarawan tidak diperjualbelikan demi sebuah bangku empuk di Istana Negara. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar