Tunduk pada Korporasi Asing
Iman Prihandono ;
Dosen hukum
internasional FH Unair,
Meraih PhD dari Macquarie Law School, Macquarie University,
Australia 2012
|
JAWA
POS, 30 Januari 2014
LARANGAN ekspor
mineral mentah dan jangka waktu lima tahun yang [diberikan UU No 4/2009
tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba) bagi pe rusahaan pertambangan mineral
untuk membangun fasilitas pengolahan serta pemurnian mineral (smelter) seolah tidak dihiraukan.
Bahkan, kebijakan hilirisasi pertambangan mineral itu mendapat penolakan.
Berbagai alasan dikemukakan. Antara lain, biaya investasi pembangunan smelter yang sangat besar dan keharusan mengurangi tenaga kerja dalam jumlah besar karena penurunan kapasitas produksi. Beberapa korporasi asing bahkan mempertimbangkan untuk menggunakan mekanisme arbitrase internasional bila pemerintah tetap memberlakukan larangan ekspor mineral mentah. Alasan tersebut, tampaknya, mampu memaksa pemerintah mengoreksi ketentuan mengenai ekspor mineral melalui penerapan pajak ekspor progresif dan menunda kewajiban pembangunan smelter sampai 2017. Bila ditarik agak lebih jauh ke belakang, sebenarnya bukan sekali ini saja pemerintah mengoreksi undang-undang untuk memfasilitasi kegiatan usaha korporasi asing. Pemerintah pernah mengeluarkan Perppu No 1/2004 yang mengoreksi UU No 41/1999 tentang Kehutanan. Perppu tersebut selanjutnya melahirkan Keppres No 41/2004 yang memberikan jalan bagi 13 korporasi asing untuk bisa melanjutkan kegiatan pertambangan di kawasan hutan lindung. Selain koreksi terhadap undangundang, pengaruh kepentingan korporasi asing patut diduga terlibat pada beberapa kejadian kejanggalan hokum di negeri ini. Kita tentu masih ingat kasus hilangnya ayat tembakau dalam draf Undang-Undang Kesehatan yang telah disahkan DPR. Meski akhirnya ayat tembakau itu berhasil ''dikembalikan'', diduga kuat korporasi asing dalam industri rokok terlibat dalam upaya penghilangan tersebut. Contoh lainnya adalah kasus dugaan tercemarnya susu formula dengan bakteri zakazakii. Sampai saat ini, putusan Mahkamah Agung yang memerintahkan dibukanya informasi mengenai merek - merek susu formu la yang diduga tercemar telah diabaikan. Kejadian-kejadian tersebut menunjukkan masih lemahnya posisi tawar pemerintah terhadap korporasi asing. Pengaruh korporasi asing bahkan telah pula memengaruhi pengambilan keputusan di lembaga legislatif. Yang lebih mengkhawatirkan, mampu melemahkan wibawa Mahkamah Agung, salah satu lembaga yudisial tertinggi negeri ini. Manfaat Investasi Asing Kembali ke masalah koreksi terhadap ketentuan pelarangan ekspor mineral mentah dalam UU Minerba No 4/2009. Kejadian itu sangat disayangkan dan dapat dihindari seandainya pemerintah mempertimbangkan beberapa hal berikut. Pertama, sejak ketentuan itu diberlakukan lima tahun lalu, tidak tampak lang kah pengawasan dan evaluasi berkala dari pemerintah terhadap upaya ke patuhan oleh perusahaan pertambangan mineral. Keributan baru terjadi saat pelarangan ekspor mendekati tenggat waktu pemberlakuannya. Kedua, dalam kurun lima tahun, pemerintah terkesan abai dalam mengatur syarat kadar pemurnian mineral yang boleh diekspor. Saat pelarangan ekspor mendekati batas waktu, pemerintah seolah baru sadar bahwa kadar pemurnian mineral untuk dapat diterima pasar ekspor berbeda-beda bergantung jenisnya. Kekosongan aturan tersebut dimanfaatkan perusahaan tambang untuk memaksa pemerintah mengoreksi peraturan pelarangan ekspor mineral mentah. Ketiga, pemerintah kurang mengantisipasi biaya sosial yang dapat ditimbulkan oleh kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral. Khususnya berkaitan dengan adanya kemungkinan pemutusan hubungan kerja dalam jumlah signifikan pada industri pertambangan skala besar milik korporasi asing. Asumsinya, rasionalisasi tenaga kerja tidak diperlukan bila perusahaan tambang telah membangun smelter dalam kapasitas pengolahan yang minimal sama dengan kapasitas produksi tambangnya. Namun, lemahnya kalkulasi pemerintah dalam menghitung biaya sosial yang mungkin timbul selanjutnya dimanfaatkan korporasi asing untuk mengoreksi pelarangan ekspor mineral mentah. Akibat ketidakmampuan mengantisipasi tiga poin tersebut, kesempatan untuk mendapat keuntungan dari investasi asing dalam pemanfaatan sumber daya alam menjadi tertunda pula. Bjørn Letnes (2002) berpendapat, manfaat investasi asing bergantung pada tingkat ketersediaan created assets di negara tujuan investasi. Dalam hal ini, created assets paling berpengaruh adalah human capital dan infrastructure. Di sinilah letak korelasinya. Pelarangan ekspor mineral mentah dimaksudkan untuk menaikkan nilai tambah mineral yang akan diekspor. Diharapkan, devisa negara bakal meningkat signifikan dengan penjualan mineral jadi atau setengah jadi daripada dengan menjual mineral mentah. Namun, pengolahan dan pemurnian mineral tentunya memerlukan infrastruktur. Karena itu, undang-undang mewajibkan perusahaan tambang untuk memiliki fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral. Pelajaran Penting Polemik pelarangan ekspor mineral mentah memberikan pelajaran penting bagi pemerintah. Langkah pengawasan kepatuhan, penyediaan aturan kadar pemurnian, dan antisipasi biaya sosial harus segera diambil untuk memastikan kepatuhan penuh dalam tiga tahun ke depan. Hal lain yang harus diantisipasi adalah meningkatnya investasi asing dalam pembangunan fasilitas smelter (Jawa Pos, 28/1). Pemerintah harus memastikan bahwa pembangunan smelter tidak menimbulkan masalah sosial dan lingkungan baru. Tanpa itu, amanat konstitusi untuk memanfaatkan kekayaan alam bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat akan sulit tercapai. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar