Pemilu Kada Asimetris Jadi Model Ideal
Ridwan Mukti ;
Bupati Musi Rawas, Sumsel; Doktor pada FH Unsri
|
MEDIA
INDONESIA, 29 Januari 2014
KRITIK terhadap penyelenggaraan
pemilihan umum (pemilu) kepala daerah (kada) secara langsung sangat sering
disuarakan. Sebagai sebuah antitesis dari model pemilu kada dipilih DPRD,
model pemilu kada langsung memiliki banyak kelemahan, sehingga mendorong banyak
pihak untuk mencoba mencari model ideal bagi Indonesia yang memang sangat
majemuk, dan memiliki karakteristik berbeda-beda.
Di antara kritik yang
sering diungkapkan mengenai pelaksanaan pemilu kada langsung karena seringnya
berujung pada kerusuhan, yang disebabkan mulai dari politisasi birokrasi,
politisasi anggaran, hingga pada masalah netralitas penyelenggara serta money politics. Pascapemilu kada pun
banyak meninggalkan masalah, misalnya saja, politik berbiaya tinggi yang
berujung pada korupsi, disharmoni dengan wakil, dan mayoritas berujung
sengketa di pengadilan. Lihat saja kasus suap terhadap Ketua MK.
Dalam pemilu setidaknya setiap
warga negara bisa 9 kali ke TPS, dengan asumsi pemilu presiden dua putaran,
legislatif satu putaran, gubernur dua putaran, bupati/wali kota dua putaran,
atau kepala desa dua putaran. Implikasi pemilihan langsung one man one vote dengan menjunjung
tinggi prinsip kebebasan dan kesetaraan individu, mengakibatkan bangsa ini
semakin sulit menemukan tokoh-tokoh anutan yang merupakan refleksi kesadaran
hukum masyara kat adat yang gotong royong dan kekeluargaan. Bahkan, pemilu
kada langsung juga telah menghasilkan kepemimpinan yang kurang bermutu, dan
terbukti ada 295 dari 908 kepala daerah tersandung kasus hukum. Sejumlah kepala
daerah itu melalui 961 kali pelaksanaan pemilu kada langsung hasil pemilihan
Juni 2005Juni 2013.
Pergeseran perilaku `yang dipilih'
atau `pemilih' dalam proses pemilihan langsung dapat juga diukur dengan
munculnya gejala pelemahan terhadap sistem pemerintahan presidensial, bahkan
mengancam keutuhan NKRI. Misalnya, pembangkangan gubernur terhadap presiden,
bupati/ wali kota terhadap gubernur, para kepala desa terhadap bupati,
kendati konstitusi dengan tegas mengatur mereka berada dalam hierarki
pemerintahan tertinggi di bawah presiden. Belum lagi perilaku siap menang
tidak siap kalah.
Tidak
tepat
Dari hasil penelitian saya, pemilu
kada seyogianya dilakukan secara beragam sesuai dengan karakter setiap
daerah. Pemaksaan secara seragam hanya akan menuai konflik yang
berkepanjangan. Hasil penelitian itu juga menunjukkan bahwa Pasal 18 ayat (4)
UUD 1945 telah ditafsirkan secara tidak tepat, parsial, dan restriktif oleh
UU No 32 Tahun 2004, sehingga konsekuensinya pemilu kada bermasalah, baik
secara praktik atau perilaku, maupun norma, serta bentuk aturannya.
Ketidaktepatan UU No 32 Tahun 2004
ketika melakukan tafsir secara parsial terhadap Pasal 18 ayat (4), yaitu
dengan tidak mempertimbangkan 16 pasal lain dalam UUD 1945 menjadi penyebab
utama kenapa pemilu kada tersebut diselenggarakan secara langsung dan
diseragamkan, karena dibentuk terburu-buru dan setengah diam-diam.
Sesuai latar belakang perumusannya,
frasa `Dipilih secara demokratis' dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dapat
dilakukan baik secara langsung oleh rakyat, secara tidak langsung oleh DPRD
maupun melalui sistem lainnya. Yang terpenting adalah pemilu kada dilakukan
secara jujur dan adil, sesuai prinsip-prinsip demokratis. Karena itu, dalam
putusan MK No 072 dan 073/PUU-II/2004 dinyatakan bahwa wewenang pembentuk UU
un tuk menentukan apakah pemilu kada dilakukan secara langsung atau tidak. Pembuat
UU sesungguhnya juga dapat menentukan sistem pemilu kada berbeda-beda sesuai
dengan daerah masing-masing.
Itu sebabnya model pemilu kada ke
depan merupakan condition sine quanon
harus beragam yang mencerminkan kebinekaan dalam kerangka NKRI.
Implementasinya tergantung pada kesiapan tiap-tiap daerah untuk memilih salah
satu model yang sesuai karakteristik tiap-tiap daerah yang diatur dalam UU
tentang Pokok Pokok Penyelenggaraan Pilkada Indonesia. Konkretnya, pemilukada
itu dapat dipilih DPRD, langsung, atau campuran, yakni a) pemilihan oleh DPRD
diperluas, b) pemilihan langsung dipersempit (popular vote), atau c) pemilihan oleh adat.
Pemilu kada langsung paling tepat
dilaksanakan di Jawa dan Sumatra, kecuali Kepulauan Riau yang cocok
menggunakan sistem perwakilan diperluas. Bali, Sulawesi, dan Kalimantan
semodel dengan Kepulauan Riau. Adapun model pemilu kada dengan sistem
langsung di persempit, cocok diterapkan di NAD. Untuk model forum adat, cocok
di Kabu paten Buleleng (Bali), Kabupaten Baubau (Pulau Buton), DIY, dan
kabupaten-kabupaten di Provinsi Papua. Untuk model pemilu kada dengan sistem
perwakilan DPRD, cocok diterapkan di Sumatra Selatan termasuk untuk Provinsi
Papua.
Aturan
Hukum
Mengenai aturan hukumnya, ke depan
dilakukan melalui UU yang bersifat umum dan dilaksanakan secara teknis oleh
perda tiap-tiap daerah provinsi atau kabupaten/kota. Peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan pemilu kada di pusat atau daerah didesain efektif dan
efisien. Selain itu, juga dirumuskan dalam kerangka pokok-pokok untuk men
dukung penguatan sistem politik demokrasi Indonesia, mendukung penguatan
negara hukum Pancasila, mendukung penguatan kekuasaan pemerintahan di bawah
presiden, tujuan pembangunan berkelanjutan dalam rangka pembentukan
masyarakat demokratis Pancasila, memantapkan konsensus bahwa NKRI adalah
harga mati, menghasilkan akuntabilitas tertinggi dari sebuah legitimasi
sosial di daerah, dan mengedepankan kearifan lokal, tetapi responsif terhadap
perkembangan global.
Penempatan perda sebagai landasan
hukum dapat dilihat dari perjalanan sejarah desentralisasi. Selanjutnya
terjadi pergeseran paradigma dari desentralisasi administratif ke arah
desentralisasi politik, dan lanjut mengarah ke desentralisasi hukum, yaitu
pengaturan pemilu kada melalui perda. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar