Presiden dan Orang Miskin
Adji Suradji ;
Alumnus Fakultas Sains, Universitas Karachi,
Pakistan
|
KOMPAS,
30 Januari 2014
WAJAH semringah para tokoh calon
presiden 2014 yang tergambar di halaman pertama harian ini (8/1) membuat hati
berbunga-bunga. Namun, ketika membaca Tajuk Rencana di halaman berikutnya,
”Jumlah Orang Miskin Bertambah”, kesedihan menyerang.
Apakah presiden Republik Indonesia
sekarang—dan yang akan datang—betul-betul berniat memberantas kemiskinan?
Ada yang perlu dicermati. Guru
terbaik mengentaskan dari kemiskinan adalah orang miskin itu sendiri.
Artinya, untuk mengentaskan dari kemiskinan tidak bisa dilakukan hanya dari
balik kaca jendela gedung-gedung mewah dan Istana Presiden.
Kemiskinan tercipta oleh struktur,
kebijakan pemerintah, dan sistem dalam masyarakat. Dalam pengentasan dari
kemiskinan, yang diperlukan bukan program ”dahsyat” yang didukung dana atau
dianggarkan dari APBN (APBD), melainkan lingkungan yang mampu melahirkan
kreativitas rakyat miskin bisa berkembang.
Di dunia ini pernah lahir
pahlawan-pahlawan kemanusiaan, di antaranya Pierre Tritz (Yayasan ERDA,
Filipina), Bunda Teresa (Ordo
Missionaries of Charity, India), dan Muhammad Yunus (Grameen Bank, Banglades). Dengan prinsip kerja tanpa pamrih,
mengedepankan pendekatan cinta kasih, dan perjuangan heroik, mereka ikut
mencerdaskan bangsa dan mengentaskan dari kemiskinan—tanpa program dan
anggaran ”sepeser pun” dari pemerintah.
Semua orang miskin di Indonesia,
yang tercatat per September 2013 sebanyak 28,55 juta orang, selalu memimpikan
setiap presiden akan berusaha meningkatkan kualitas hidup mereka. Kualitas
hidup diukur dari tiga kriteria. Pertama, derajat dipenuhinya kebutuhan untuk
hidup sebagai makhluk hayati. Kedua, derajat dipenuhinya kebutuhan hidup yang
manusiawi. Ketiga, derajat kebebasan untuk memilih, termasuk kebebasan
memilih agama dan pendidikan.
Miskin bukan pilihan
Juli 2014 dilaksanakan pemilu
presiden (pilpres) lagi. Namun, entah, apakah nama orang miskin juga ada
dalam daftar pemilih tetap yang amburadul itu?
Kepemimpinan seorang presiden
dianggap berhasil apabila ia mampu meninggalkan warisan yang bisa
menginspirasi sekaligus memberikan dorongan energi positif kepada rakyat, terutama
rakyat miskin, untuk bisa meningkatkan kehidupan lebih baik. Fenomena ini
sekaligus menjelaskan betapa kualitas, kredibilitas, dan integritas seorang
presiden menjadi yang utama.
Rakyat miskin adalah cermin negara
yang paling buruk. Sebab, dalam teori dasar demokrasi, keberhasilan
pembangunan ekonomi dan politik diukur dari sejauh mana tingkat kesejahteraan
rakyat dan keadilan sosial tercipta.
Setidaknya ini yang pertama harus
diketahui para kandidat presiden. Korelasinya dengan Pilpres Juli 2014, yang
diimpikan orang miskin tampilnya sosok presiden—siapa pun dia—yang
bertipologi sebagai pemimpin bangsa. Pemimpin yang memiliki empati dan bisa
memandang kemiskinan rakyatnya sebagai bentuk ketidakadilan: ekonomi, hukum,
kesehatan, dan keamanan.
Tak ada orang yang bercita-cita
jadi miskin. Tetapi, yang bercita-cita jadi presiden banyak. Jika capres
punya strategi dengan alokasi dana puluhan hingga ratusan miliar demi
menaikkan elektabilitas, orang miskin juga punya strategi meski itu sebatas
untuk mencari makan, sekadar memenuhi kebutuhan dasar hidup.
Orang tidak dihargai dan dianggap
tidak punya harga diri selama hidup terjepit kemiskinan (Muhammad Yunus).
Dan, Tuhan tak pernah bertanya apakah orang miskin Indonesia mau menerima
hidupnya? Hidup bukan pilihan. Satu-satunya yang bisa dipilih dalam kehidupan
adalah bagaimana menjalaninya (Henry
Ward Beecher, 1813-1887).
Kehidupan orang miskin ibarat
burung. Semoga para capres 2014 lebih berempati kepada orang-orang miskin di
Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar