Sikap Kultural Hadapi Bencana
Fathur Rokhman ;
Rektor Universitas Negeri Semarang
(Unnes)
|
SUARA
MERDEKA, 27 Januari 2014
BENCANA datang melalui berbagai
rupa beberapa pekan ini. Bencana telah membuat kita menderita. Namun, bencana
juga bisa mengetuk nurani untuk merefleksikan sikap kultural untuk
menghadapi. Dengan begitu, ketika bencana berakhir kita tak hanya diam,
tetapi tergerak untuk mengatasinya.
Hal pertama yang perlu
direfleksikan adalah persoalan relasi manusia dengan alam. Telah disebutkan
pada kitab suci, manusia adalah khalifah di muka bumi. Tugas khalifah adalah
mengorganisasi sehingga tercipta keharmonisan. Khalifah memiliki hak
sekaligus kewajiban memutuskan secara baik, mana tindakan yang boleh
dilakukan dan harus dihindari.
Sayang, amanah sebagai khalifah
kerap disalahgunakan. Manusia justru menempatkan diri sebagai penguasa.
Hampir seluruh tindakan dilatari motif memuaskan diri.
Kehausan pada kekayaan mendorong
eksplorasi alam yang menjurus eksploitasi. Pola relasi antroposentris
demikian berlangsung lama hingga menjurus pada ìpenjajahan terhadap alamî.
Borgias (2013) berpendapat tindakan yang dilakukan manusia adalah
representasi kehendak yang bergelora dari pikirannya. Kehendak tersublim dari
pengetahuan-pengetahuan yang terakumulasi.
Pengetahuan kemudian membentuk
pandangan mendasar (paradigma) sebagai dasar untuk menilai baik-buruk.
Pandangan manusia terhadap lingkungannya menjadi dasar argumentasi bagi tindakan
yang akan dilakukan. Eksploitasi manusia terhadap alam adalah akibat
pemahaman teknologis terhadap alam. Dalam tradisi berpikir teknologis,
manusia merasa berhak menggunakan apa pun di sekitarnya.
Teknologi diciptakan untuk
memudahkan hidup dengan cara mengambil sebanyak-banyaknya sumber daya alam.
Semakin banyak kekayaan yang bisa dikeruk dari bumi manusia merasa semakin
berhasil. Para pemikir kritis menganjurkan kita membedakan realitas natural
dan realitas kultural agar mampu memahami alam dengan labih baik.
Realitas natural adalah sebuah
kondisi yang tercipta karena ìkehendakî alam itu sendiri. Adapun realitas
kultural adalah kondisi yang tercipta dari tindakan manusia, baik yang
dikonstruksi secara sengaja maupun terakulumasi tanpa disadari. Letusan
Gunung Sinabung, tsunami Aceh, dan gempa Bantul DIY adalah contoh bencana
natural. Bencana ini menimpa tanpa campur tangan manusia. Sifatnya sangat tak
bisa diperkirakan.
Terhadap bencana semacam itu,
pilihan terbaik bagi masyarakat adalah mengantisipasi. Sementara banjir yang
tengah menimpa kita saat ini adalah bencana kultural karena kita keliru
mengelola sumber daya air. Siklus hidrologi yang terbangun secara alami rusak
akibat rekayasa manusia.
Pelajaran Leluhur
Bencana kultural menyisakan
ruang refleksi bagi kita. Pertama; merefeleksikan berbagai tindakan
eksploitatif yang selama ini kita lakukan. Kedua; merefleksikan tindakan masa
mendatang guna menebus ”dosa” kepada alam.
Sebagai fenomena kultural,
banjir separah apa pun dapat dicegah. Meski memakan energi dan biaya besar,
bahkan waktu lintas generasi, perbaikan harus dilakukan agar alam tidak makin
ganas. Untuk memulai pekerjaan besar itu, kita dapat meneladani leluhur.
Mereka bisa hidup selaras
dengan alam karena menganggapnya sebagai rumah. Sebagai rumah, alam tidak
hanya harus dijaga tapi dipelihara sehingga tetap nyaman dan membuat kerasan.
Memayu hayuning buwana adalah salah satu konsepsi terpenting leluhur kita
dalam memahami alam.
Konsep ini berarti upaya
menjaga kelestarian alam. Konsep itu menjadi ikon utama kerajaan-kerajaan
Jawa, sejak Majapahit dan kemudian Mataram Islam. Wasino (2010)
mengungkapkan, konsepsi ini menunjukkan kehendak manusia Jawa menjaga harmoni
antara makrokosmos dan mikrokosmos.
Konsep pertama diterjemahkan
sebagai jagad gedhe, alam semesta yang memiliki tatanan sendiri yang diatur
oleh kekuatan supranatural sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Adapun
mikrokosmos berarti jagad cilik.
Pada level individual berarti
tiap orang menempatkan diri sebagai bagian dari sistem besar alam. Pada level
negara dimaknai bahwa raja atau penguasa harus menunjukkan sifat-sifat yang
dimiliki penguasa makrokosmos untuk menjaga kelestarian alam. Konsepsi Jawa
yang juga penting adalah momor, momong,
dan momot.
Secara sederhana, momor adalah kehendak untuk menyatu
dan bersahabat dengan lingkungan (manjing
ajur ajer). Manusia hidup berbagi ruang di bumi, sudah semestinya merasa
memiliki. Kepemilikan tidak diterjemahkan secara lahir dengan menguasai,
memelihara, dan memanfaatkan tetapi juga secara batin.
Adapun momot diartikan sebagai kemampuan menampung dan mengakomodasi
aspirasi. Dalam berelasi dengan alam, manusia diberikan kemampuan membaca
kondisi alam. Manusia juga subjek paling aktif sehingga memiliki kewajiban
kultural untuk memahami kehendak alam.
Momong berarti menjaga, mengasuh, dan
membimbing. Dengan kemampuan budi yang dimiliki, manusia memiliki kedigdayaan
melakukan tiga hal itu. Momong
dilakukan orang tua agar anak tumbuh dan berkembang. Tak ada niatan mengambil
untung, apalagi mengeksploitasi. Mudah-mudah bencana ini menyadarkan kita
agar makin peduli. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar