(Bukan) Putusan yang Hambar
Saldi Isra ;
Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat
Studi Konstitusi (PUSaKO) FH Universitas Andalas
|
KOMPAS,
27 Januari 2014
SETELAH sekitar sepuluh bulan
berada dalam ketidakpastian, akhirnya Mahkamah Konstitusi membacakan putusan
uji materi (judicial review) UU
Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang
diajukan Effendi Gazali. Dalam amar putusannya, Mahkamah Konstitusi
mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan pemohon.
Pada pokoknya,
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan: pemilihan umum (pemilu) anggota
legislatif yang penyelenggaraannya dipisahkan dari pemilu presiden-wakil
presiden bertentangan dengan UUD 1945 (inkonstitusional). Karena itu,
penyelenggaraan kedua jenis pemilu ini harus dikembalikan pada makna serta
semangat Pasal 22E Ayat (1) dan (2) UUD 1945 yang menghendaki pemilu
dilaksanakan sekali dalam lima tahun.
Namun, karena alasan
diperlukan waktu untuk menyiapkan budaya hukum dan kesadaran politik yang
baik bagi warga masyarakat ataupun bagi partai politik untuk mempersiapkan
diri dan melaksanakan agenda penting ketatanegaraan ini, MK menyatakan bahwa
penyelenggaraan pemilu legislatif serta pemilu presiden (dan wakil presiden)
baru berlaku pada 2019. Artinya, dengan menggunakan rezim alasan keterbatasan
waktu, pemulihan konstitusionalitas Pasal 22E Ayat (1) dan (2) UUD 1945 baru
terjadi lima tahun lagi.
Dengan demikian,
apresiasi atas putusan MK ini terasa agak hambar karena pemulihan Pasal 22E
Ayat (1) dan (2) menjadi kehilangan makna dalam Pemilu 2014. Padahal,
sebagaimana tertulis pada akhir Putusan No 14/PUU-XI/2013 ini, kesepakatan
mayoritas hakim MK untuk menerima pemilu legislatif dan pemilu presiden-wakil
presiden dilaksanakan secara serentak telah diambil dalam rapat
permusyawaratan hakim (RPH) pada 26 Maret 2013. Karena penundaan itu,
keberhasilan permohonan yang diajukan Effendi Gazali menjadi antiklimaks.
Koreksi total
Secara subtantif,
Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 ini merupakan koreksi total MK terhadap
kesalahan sistemik pemaknaan Pasal 22E Ayat (1) dan (2) UUD 1945. Dalam hal
ini, MK menyatakan, baik dilihat dari segi original intent, penafsiran sistematik, maupun gramatikal, UUD
1945 menginginkan pemilu legislatif dan pemilu presiden dilakukan secara
serentak.
Merujuk pengalaman
Pemilu 2004 dan 2009, dengan alasan legal
policy, pembentuk UU memisahkan waktu penyelenggaraan kedua pemilu ini.
Tak hanya sekadar memisahkan jadwal penyelenggaraan, dengan alasan yang sama
UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (UU No 23/2003 dan UU No 42/2008)
mendesain sedemikian rupa dengan menjadikan hasil pemilu legislatif sebagai
basis dukungan bagi partai politik peserta pemilu untuk dapat mengajukan
pasangan calon presiden.
Dengan demikian,
memisahkan penyelenggaraan pemilu legislatif dengan pemilu presiden untuk
membenarkan presidential threshold adalah bentuk pengingkaran
terhadap kesempatan bagi semua partai politik peserta pemilu sebagaimana
diatur Pasal 6A Ayat (1) UUD 1945. Logika tersebut kian sulit terterima
apabila dikaitkan dengan pilihan pengubah UUD 1945 untuk tetap mempertahankan
sistem presidensial. Dalam sistem presidensial, lembaga legislatif dan
presiden sama-sama mendapat mandat langsung rakyat. Dengan logika itu,
menggunakan hasil pemilihan anggota legislatif sebagai ambang batas guna
mengajukan pasangan calon presiden adalah cara pandang yang sesat dan
menyesatkan.
Karena itu, keinginan
mengembalikan penyelenggaraan pemilu legislatif dan pemilu presiden secara
serentak memiliki basis konstitusional yang kuat dan mendasar, terutama
memulihkan makna frasa ”lima tahun sekali” dalam Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945.
Apalagi, melacak risalah pembahasan perubahan UUD 1945, maksud Pasal 22E Ayat
(1) dan (2) tersebut dimaknai dengan penyelenggaraan pemilu dengan memberikan
kesempatan kepada pemilih memasukkan suara ke dalam lima kotak.
Seperti dikemukakan
Slamet Effendy Yusuf—salah seorang pelaku perubahan UUD 1945—saat
menyampaikan keterangan ad informandum di sidang MK, pemilu
diselenggarakan bareng saat memilih anggota DPR, DPD, DPRD, dan memilih calon
presiden hingga digambarkan tersedia lima kotak. Jadi, dalam pemilu serentak,
menurut Slamet, akan tersedia kotak untuk anggota DPR, kotak untuk anggota
DPD, kotak untuk anggota DPRD provinsi, kotak untuk anggota DPRD kabupaten/
kota, dan kotak untuk calon presiden.
Sebetulnya, pada
batas-batas tertentu, pemisahan jadwal pelaksanaan pemilu legislatif
dan pemilu presiden tidak akan menjadi perdebatan konstitusional serius
sepanjang hasil yang lain tidak menjadi prasyarat untuk proses lain
dipisahkan. Dalam hal ini, ketika hasil pemilu legislatif dijadikan sebagai
dasar bagi partai politik peserta pemilu untuk mengajukan pasangan
calon, legal policy yang demikian dapat dikatakan memanipulasi
konstitusi. Selain memanipulasi Pasal 22E Ayat (1), pilihan demikian juga
mencederai Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945.
Selain mengoreksi UU
No 42/2008, Putusan No 14/PUU-XI/2013 juga menjadi koreksi total atas putusan
MK sebelumnya. Dalam Putusan No 51-52-59/PUUVI/2008 (18/2-2009), MK
menyatakan: memisahkan pemilu legislatif dengan pemilu presiden seperti
diatur Pasal 3 Ayat (5) UU No 42/2008 merupakan kebiasaan ketatanegaraan yang
dapat dibenarkan secara hukum. Namun, dengan alasan memperhatikan kaitan
dengan pilihan sistem presidensial, original intent UUD 1945,
efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemilu, serta hak warga negara
untuk memilih secara cerdas, MK pun mengoreksi Putusan No 51-52-59/PUUVI/2008.
Permusyawaratan berlapis
Gagasan-gagasan
mendasar melakukan koreksi total atas penyimpangan pemaknaan Pasal 22E Ayat
(1) dan (2) serta Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 tergerus dengan adanya penundaan
pelaksanaannya pada Pemilu 2019. Karena itu, putusan ini terasa lebih
menonjol unsur pragmatisnya ketimbang pemenuhan unsur substantif. Padahal,
merujuk waktu pengajuan permohonan Effendi Gazali, pemulihan dari
penyimpangan UU No 42/2008 sangat mungkin dilaksanakan dalam Pemilu 2014.
Pada titik itu, banyak
catatan kritis yang dapat diajukan atas penundaan pembacaan putusan No
14/PUU-XI/2013. Salah satunya: mengapa MK perlu sekitar 10 bulan untuk
membacakan putusan? Menggunakan jadwal RPH yang tertera dalam putusan ini,
sekiranya dibacakan beberapa waktu setelahnya, maka dekatnya jadwal pemilu
legislatif tak akan jadi alasan. Bahkan, dari rentang waktu yang tersedia,
sekiranya dibacakan pada April 2013, misalnya, KPU pasti lebih siap untuk
menyelenggarakan pemilu serentak.
Karena itu, pertanyaan
besar yang wajar untuk dikemukakan: ada apa di balik keterlambatan pembacaan
putusan tersebut? Pertanyaan ini tak hanya gugatan atas terabaikannya prinsip
penyelesaian perkara secara cepat, tetapi sekaligus menjadi bukti kaburnya
logika urgensi pengajuan uji materi karena adanya momentum proses bernegara
yang amat penting.
Kejadian ini bertolak
belakang, misalnya, dengan penyelesaian permohonan uji materi pemakaian kartu
tanda penduduk (KTP) dalam penggunaan hak pilih yang diajukan menjelang
Pemilu Presiden 2009. Karena dinilai sangat urgen, MK memutusnya dalam
sehari. Lalu, apakah pengujian pemilu serentak ini tak sama pentingnya dengan
penggunaan KTP?
Gugatan atas
keterlambatan pembacaan Putusan No 14/PUU-XI/2013 tidak hanya soal pengabaian
prinsip tersebut, tetapi kuat dugaan, pilihan pelaksanaan pemilu legislatif
dan pemilu presiden-wakil presiden secara serentak pada 2019 sangat mungkin
karena keterlambatan pembacaan putusan. Karena itu, pertanyaan berikutnya:
apakah RPH pada 26 Maret 2013 hanya terbatas pada sikap menerima atau menolak
permohonan Effendi Gazali? Karena mayoritas hakim menerima, apakah RPH
tersebut sekaligus juga menyepakati jadwal pelaksanaan pemilu serentak?
Membaca penjelasan
beberapa hakim MK, dapat dipastikan bahwa RPH 26 Maret 2013 tidak menyepakati
jadwal pemilu serentak. Misalnya, Wakil Ketua MK Arief Hidayat menyatakan,
setelah melihat kondisi pemilu yang sudah terjadwal dan sangat dekat dengan
penyelenggaraan Pemilu 2014, maka sebelum menggelar sidang pembacaan putusan,
MK merevisi putusan tersebut, pemilu serentak dilakukan pada Pemilu 2019.
Dugaan saya, sekiranya
memang benar tidak ada kesepakatan mengenai jadwal, dengan tenggang waktu
yang relatif masih cukup, boleh jadi keinginan yang berkembang ketika
pelaksanaan RPH 26 Maret 2013 mayoritas hakim menghendaki pemilu serentak
dilaksanakan dalam Pemilu 2014. Meski demikian, untuk keluar dari berbagai
prasangka, soal ini dapat dilacak dari legal opinion semua hakim
MK. Sekiranya pembacaan putusan lebih awal, Putusan No 14/PUU-XI/2013 menjadi
kehilangan basis argumentasi yang kuat untuk menyelenggarakan pemilu serentak
2019.
Merujuk keterangan
Wakil Ketua MK tersebut, Putusan No 14/PUU-XI/2013 tak sepenuhnya berasal
dari RPH 26 Maret 2013. Paling tidak, hakim MK kembali mengadakan RPH lain
sebelum pembacaan putusan. Dalam bahasa sederhana, untuk sampai pada putusan
yang berujung pada pembacaan, hakim MK melakukan permusyawaratan (RPH)
berlapis. Lalu, RPH mana yang jadi pengambil keputusan final dalam memutus
perkara Effendi Gazali? Pertanyaan tersebut penting dikemukakan karena
sebagian hakim yang ikut RPH 26 Maret 2013 tidak lagi menjadi hakim MK ketika
RPH kedua dilakukan.
Anulir ambang batas
Sekalipun permohonan
Effendi Gazali telah dibacakan serta memiliki kekuatan hukum final dan
mengikat, perdebatan untuk mengajukan calon presiden menuju 2014 belum
selesai. Dalam hal ini, meski permohonan Yusril Ihza Mahendra tidak menyoal
pemilu serentak, fokusnya dapat dikatakan berimpitan. Karena itu, logika
hukum menerima permohonan Effendi Gazali dengan mudah diterapkan dalam
memutus permohonan Yusril. Dengan dasar pijakan itu, dalam batas penalaran
yang wajar, tak ada alasan bagi MK untuk menolak permohonan Yusril.
Selama ini, hambatan
yuridis mempersoalkan ambang batas pengajuan pasangan calon presiden, MK
pernah menolak permohonan serupa. Namun, dengan dikabulkannya permohonan
Effendi Gazali, secara implisit MK menganulir ambang batas meski dalam
Putusan No 14/PUU-XI/2013 dinyatakan: syarat mengajukan pasangan calon
presiden merupakan wewenang pembentuk UU dengan tetap mendasarkan pada
ketentuan UUD 1945. Dengan adanya frasa ”dengan tetap mendasarkan pada
ketentuan UUD 1945”, MK mengisyaratkan pengembalian validitas ambang Pasal 6A
Ayat (2) UUD 1945.
Dengan posisi
tersebut, MK punya ruang menjawab kritik berbagai kalangan karena menunda
pemilu serentak lima tahun lagi. Caranya, segera batalkan ambang batas (presidential threshold) dalam UU No
42/2008. Dengan demikian, makna hakiki Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 dapat
dipulihkan dalam Pemilu Presiden 2014. Saya percaya, keberanian MK melakukan
langkah tersebut akan sedikit meredakan penilaian rasa hambar atas Putusan MK
No 14/PUU-XI/2013. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar