Penyelundupan Anggaran Pemilu
Reza Syawawi ;
Peneliti Hukum dan
Kebijakan Transparency International Indonesia
|
KOMPAS,
29 Januari 2014
TAK ada yang menduga apa yang
sedang dipikirkan pemerintah ketika mengalokasikan anggaran pengawasan pemilu
untuk membiayai saksi partai politik di tempat pemungutan suara. Seolah-olah
tanpa beban, anggaran sekitar Rp 600 miliar akan digelontorkan untuk
membiayai para saksi.
Semasih sebagian elite
dan petinggi parpol cenderung korup dengan ”mencuri” anggaran negara melalui
proyek pemerintah, sangat tak pantas jika uang yang dikelola dalam APBN
kembali ”dirampok” untuk membiayai parpol. Bagi parpol, ketika laporan
keuangan partai masih tertutup, pengucuran anggaran itu dianggap wajar
belaka.
Tak berlebihan
mengatakan bahwa alokasi anggaran semacam ini sebagai bentuk ”persekongkolan”
baru pengawas pemilu, DPR, dan pemerintah (Kementerian Dalam Negeri).
Parahnya, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) justru menjadi corong bagi
parpol melegalkan praktik itu.
Dana politik
Regulasi yang mengatur
tentang dana politik sangat jelas melarang parpol menerima dana dari
APBN/APBD di luar ketentuan yang ada. Parpol hanya boleh menerima bantuan
keuangan dari pemerintah melalui APBN/APBD atas dasar perolehan suara dan
memiliki kursi di lembaga legislatif dalam pemilu sebelumnya (Pasal 34 Ayat 3
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik).
Di sisi lain,
penggunaan bantuan keuangan dari APBN/ APBD diprioritaskan untuk
melaksanakan pendidikan politik bagi anggota parpol dan masyarakat.
Prinsipnya, bantuan keuangan kepada parpol yang bersumber dari APBN/APBD
tidak digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemilu (baca: saksi).
Dalam konteks pemilu
legislatif (DPR, DPD, dan DPRD), alokasi anggaran dalam APBN/APBD untuk
membiayai saksi parpol adalah bentuk pelanggaran atas ketentuan Pasal 139
Ayat 1 Huruf (c) UU No 8/2012 bahwa peserta pemilu dilarang menerima
pendanaan yang bersumber dari pemerintah. Dari sudut konsep penganggaran,
sumber pendanaan dari pemerintah mengarah pada alokasi anggaran pada APBN.
Dengan semua ketentuan
di atas, pengucuran dana APBN untuk membiayai saksi parpol di tempat
pemungutan suara (TPS) adalah bentuk pelanggaran atas undang-undang.
Pemerintah dan DPR selaku pemegang kuasa atas penganggaran yang seharusnya
memahami soal aturan itu justru jadi aktor utama atas semua pelanggaran ini.
Dalam kasus ini,
pemerintah dan DPR sebetulnya menunjukkan ”wajah aslinya”. Tak dapat dimungkiri
bahwa keduanya memang berasal dari entitas yang bernama parpol. Maka,
tidaklah mengherankan apabila peruntukan alokasi anggaran itu disetujui.
Bagi parpol, di tengah
tingginya biaya politik, pengucuran anggaran ini tentu menjadi dana segar
untuk membiayai kegiatan politiknya (saksi). Maka, relasi antara persetujuan
alokasi anggaran itu di tingkat APBN dan kebutuhan parpol saat ini menjadi
tak terbantahkan.
Lalu, di mana peran
Bawaslu? Bawaslu berubah menjadi ”alat” bagi pemerintah dan DPR menyalurkan
dana itu kepada parpol. Tujuannya sangat jelas: menghindari agar dana APBN
tak secara langsung diberikan kepada parpol.
Jalur penyelundupan
Bawaslu telah
menyediakan diri menjadi jalur ”penyelundupan” anggaran kepada parpol.
Padahal, jika anggaran tersebut diarahkan untuk penguatan kelembagaan
pengawas pemilu di daerah, ini jauh lebih memungkinkan dibandingkan dengan
mengambil alih tanggung jawab membiayai saksi parpol.
Dari sisi institusi,
penguatan pengawas pemilu jauh lebih menjamin terselenggaranya pengawasan
pemilu yang independen. Maka, pembiayaan saksi parpol oleh APBN tidak hanya
melanggar undang-undang, tetapi sekaligus juga melemahkan pengawasan pemilu.
Dalam konteks hukum,
alokasi anggaran ini jelas mengarah pada dugaan penyalahgunaan wewenang oleh
pemerintah, DPR, dan Bawaslu. Ada upaya yang sistematis dari ketiga lembaga
ini untuk melegalkan praktik penyalahgunaan anggaran dalam pengawasan pemilu.
Untuk itu, perlu
kiranya ada kebijakan meninjau ulang pengalokasian anggaran. Bawaslu sebagai
lembaga yang dimanfaatkan sebagai corong ”penyelundupan” anggaran seharusnya
berani menolak anggaran itu digunakan untuk membiayai saksi dari parpol.
Jika tidak, Bawaslu
akan menjadi lembaga yang paling dipersalahkan karena memfasilitasi parpol
mendapat dana APBN di luar ketentuan yang diperbolehkan. Pelaksanaan Pemilu
2014 tentu akan kehilangan legitimasinya sebagai sarana demokrasi karena
diselenggarakan dengan cara-cara yang melanggar hukum.
Penyelundupan anggaran
pemilu untuk kepentingan parpol jelas telah mencederai kepercayaan publik
terhadap parpol
dan pengawas pemilu. Bawaslu yang seharusnya mengawasi setiap tahap
penyelenggaraan pemilu telah berubah menjadi ”penyelundup” anggaran
pemilu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar