Mungkinkah Pemilu 2014 Inkonstitusional
Erfandi ;
Ketua LBH PB PMII,
Anggota Komisi Hukum dan Perundang-undangan
MUI Pusat
|
KORAN
SINDO, 29 Januari 2014
Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menjadi pembahasan menarik baik
di kalangan akademisi, praktisi bahkan pada tataran elite partai politik
dengan dikeluarkannya putusan terkait judicial
review terhadap pasal 3 ayat (5) UU No 42 Tahun 2008.
Selain adanya dissenting opinion atas putusan uji materi Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum yang pernah di uji materi oleh Koalisi Masyarakat Sipil dan dinyatakan telah konstitusional, juga yang sangat menarik dalam putusan MK kali ini adalah putusan yang memerintahkan pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan presiden (pilpres) secara serentak pada tahun 2019. Putusan ini sungguh sangat disayangkan karena jelas bertentangan dengan Pasal 45 A UU No 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyebutkan bahwa putusan MK tidak boleh memuat amar putusan yang tidak diminta oleh pemohon atau melebihi permohonan. Di sisi lain, kewenangan MK dalam memberikan putusan terhadap judicial review seharusnya menguji konstitusionalitas dari sebuah UU bukan menciptakan norma baru seperti melahirkan putusan pemilihan serentak pada tahun 2019, yang justru tidak lagi memiliki dimensi kepastian dalam penyelenggaraan Pemilu 2014. Diktum ini juga berlaku terhadap pengujian konstitusionalitas Pasal 3 ayat (5) UU 42/ 2008 ini, ketika pemilu dan pilpres dilaksanakan pada tahun 2019 maka terjadi kekosongan hukum dalam pelaksanaan Pemilu 2014 mendatang. Dalam konteks seperti ini maka bisa dikatakan pilpres dan Pemilu 2014 inkonstitusional dan ilegal karena tidak memiliki dasar hukum untuk melaksanakannya. Frasa ini akan berimplikasi terhadap keabsahan presiden 2014 yang terpilih melalui pilpres nanti. Karena proses pemilu yang inkonstitusional juga akan berdampak terhadap legalitas hasil pemilunya.
Perlu diingat bahwa putusan MK harus lebih mengedepankan
pertimbangan hukum ketimbang pertimbangan sosiologis dan politis.
Seperti yang sudah mafhum diketahui khalayak umum bahwa MK dalam putusannya telah menyatakan norma bahwa pasal tersebut bertentangan dengan konstitusi (inkonstitusional) dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Artinya saat MK memutus, saat itu juga putusannya berlaku dan mengikat, sesuai dengan putusan MK yang diatur dalam Undang-Undang MK adalah final dan mengikat. Konsekuensinya adalah legitimasi terhadap penyelenggaraan pemilu yang menggunakan payung hukum UU No 42/ 2008 adalah inkonstitusional. Dalam perspektif hukum ketatanegaraan, tentunya para hakim konstitusi tidak seharusnya memberikan putusan hanya berdasarkan kepada asas kemanfaatan yang futuristik semata. Lembaga tinggi negara setingkat MK sangatlah disayangkan jika dalam membuat putusan yang berkaitan dengan pemilu, hanya beralasan pada kemanfaatan saja tanpa mempertimbangkan asas kepastian hukum dan keadilan. Justru dalam putusan ini MK menciderai tujuan hukum dalam konteks memberi kepastian dan rasa keadilan dalam masyarakat. Dalam konteks pemilu, tidak bisa dibenarkan putusan MK diberlakukan bersyarat seperti halnya putusandalamhukumpidana. Implikasinya jauh lebih besar dan bersifat publik apalagi putusan ini berkaitan dengan hak keterlibatan warga negara dalam pemerintahan pada 2014–2019. Selain itu, putusan bersyaratdenganpemberlakuan pemilu secara serentak pada tahun 2019 ini justru mengindikasikan lembaga konstitusi seperti MK masih bisa diintervensi oleh kekuatan politik seperti halnya kasus suap yang menciderai hakim sebelumnya. Pascaputusan MK yang tidak memberikan aspek kepastian seperti ini, negara membutuhkan perangkat perundangundangan lain yang bisa dijadikan dasar untuk penyelenggaraan Pemilu 2014 nanti. Untuk mengisi kekosongan hukum ini, seharusnya MK dalam amar putusannya memerintahkan kepada pemerintah untuk menerbitkan aturan perundang- undangan yang setara dengan UU sebagai dasar penyelenggaraan Pemilu 2014. Aturan yang dimaksud dapat berupa peraturan pengganti undang-undang (perppu) yang diterbitkan oleh presiden sebagai kepala negara. Jika aturan baru dibuat dan diselesaikan oleh presiden demi menyelenggarakan Pemilu 2014, secara hukum sah dan memenuhi syarat-syarat untuk dikeluarkan perppu oleh presiden. Berdasarkan penalaran yang wajar, jangka waktu yang tersisa sekitar dua bulan masih memungkinkan untuk membentuk peraturan pengganti perundang-undangan yang baik dan komprehensif demi menghindari gejolak legitimasi untuk pelaksanaan pemilihan presiden di tahun 2014 nanti. Banyak persoalan hukum yang akan muncul dalam pelaksanaan Pemilu 2014 bilamana tidak segera ada dasar hukum baru yang setingkat UU dalam pelaksanaan Pilpres nanti. Bahkan akan berimplikasi kepada legalitas presiden yang terpilih jika tidak segera dibuatkan terobosan hukum dengan membuat peraturan yang setingkat dengan undang-undang berupa perppu. Persoalan ini tidak hanya berhubungan dengan dissenting opinion salah satu hakim MK yang menolak pelaksanaan pemilu secara serentak pada tahun 2019, atau penolakan gugatan judicial review Yusril Ihza Mahendra karena nebis in idem dalam dissenting opinion-nya. Melainkan akan berimplikasi kepada persoalan legitimasi presiden 2014 baik sebagai kepala pemerintahan atau sebagai kepala negara dalam menjalankan pemerintahannya sekaligus sebagai simbol negara Indonesia. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar