Imlek dan Persaudaraan Multikultural
Agus Wibowo ; Penggiat Komunitas Aksara Yogyakarta
|
SINAR
HARAPAN, 28 Januari 2014
Tidak lama lagi, sebagian masyarakat kita yang
beretnis Tionghoa akan memperingati Tahun Baru China atau Imlek 2565.
Masyarakat Tionghoa meyakini, Imlek merupakan
lambang semangat perjuangan dan kemenangan dalam membina kehidupan beragama.
Itu pun menjadi lambang persaudaraan antara umat Ji Kau/Ru Jiao, Hud Kau/Fo
Jiao, dan Too Kau/Dao Jiao.
Upaya merajut persaudaraan dan perilaku
toleran di antara keturunan Tionghoa terlihat jelas saat praktik ibadah di
altar langit (Thian Than) Kelenteng Tri Dharma. Itu memang indah dan syahdu.
Seakan-akan perbedaan keyakinan (Buddha, Tao, Konghucu) menjadi modal dasar
membangun kehidupan yang lebih baik.
Tidak seperti perayaan Tahun Baru Masehi,
hari-hari pertama Imlek punya arti khusus. Hari pertama dianggap suci karena
semua angota keluarga berkumpul.
Hari kedua, gambar dewa yang lama diturunkan
dan dibakar. Pemasangan gambar baru biasanya diiringi doa dan membakar
petasan sehingga suasana meriah. Setelah itu, tidak lupa diadakan doa dan
permohonan ke meja persembahan.
Hari keenam semua pedagang dan pemilik toko
bangun memuja seluruh dewa dan membakar peri jahat di atas kertas kuning
dengan menyalakan dupa dan petasan. Bila petasan habis terbakar, pintu toko
pun dibuka dan usaha dimulai lagi.
Ternak dan hasil pertanian ikut mendapat
perhatian besar dalam perayaan ini. Sepuluh hari pertama digunakan merayakan
ulang tahun binatang peliharaan. Jika cuaca baik, berarti tahun yang bagus
bagi hewan dan tanaman.
Dalam perayaan Imlek ada tradisi bersih-bersih
yang diyakini mendatangkan keberuntungan dalam memasuki tahun yang baru. Namun
pada saat Imlek, kegiatan menyapu menjadi pantangan.
Menyapu dianggap akan menghilangkan hoki atau
keberuntungan, kecuali kalau terpaksa. Itu pun arah menyapunya dari luar ke
dalam rumah sehingga diharapkan keberuntungan masih ada dalam rumah.
Menurut wikipedia, selama perayaan Tahun Baru
China, alat-alat pemotong, seperti pisau atau gunting, tidak boleh digunakan.
Itulah mengapa semua makanan pesta dibuat dan disiapkan pada hari-hari
sebelumnya.
Para sahabat dan kerabat saling bertukar
hadiah. Ada tradisi menarik dalam perayaan Imlek, yaitu kewajiban penerima
hadiah memberi amplop merah bergambar berisi uang (angpau) pada pemberi
hadiah.
Uniknya, gambar atau tulisan pada amplop
angpau memiliki arti khusus. Tulisan his kembar misalnya, berarti kebahagiaan
pernikahan, ta chi untuk keberuntungan besar, dan ta li berarti manfaat
besar. Ada juga pola gambar buah persik sebagai harapan usia panjang. Gambar
pohon pinus atau cemara merupakan doa untuk hari tua yang bahagia serta ikan
karpa sebagai lambang sukses dalam usaha.
Akulturasi
Mengenai kapan pertama kali etnis Tionghoa ke
Nusantara belum diketahui secara pasti. Para ahli sejarah belum memiliki kata
sepakat. Menurut Henry Basuki (2008), I Tsing adalah seorang
etnis Tionghoa yang pertama datang ke Nusantara, khususnya di
Batutulis, Jawa Barat, 414 Masehi.
Kedatangan musafir I Tsing ini konon jauh
sebelum Prabu Siliwangi meninggalkan prasasti batu tulis. Dalam prasasti itu
diketahui, I Tsing sampai dua kali mengunjungi Kerajaan Pajajaran.
Menurut Adib Susila (2008), para dai muslim
dari China sudah mulai berdakwah di Jawa mulai abad ke-14. Pada proses dakwah
itu, tidak hanya ada proses memberi, tetapi juga menerima sehingga terjadi
akulturasi budaya.
Proses itu secara apik terekam pada beberapa
masjid kuno di Jakarta, Banten, Semarang, Jepara, Demak, dan sebagainya. Itu
juga terekam dalam pintu makam Sunan Giri di Gresik, arsitektur keraton dan
taman Sunyaragi Cirebon, dan sebagainya.
Sayangnya, fakta sejarah ini kurang disenangi
beberapa pihak. Jadi, yang ditonjolkan adalah peran dai dari Arab dan India.
Etnis Tionghoa yang datang ke
Nusantara dan Jawa khususnya ternyata tidak hanya pedagang, tetapi juga
sastrawan, seniman, dan musikus.
Itulah alasannya terjadi akulturasi yang
menghasilkan berbagai karya seni bermutu, seperti seni sastra, wayang, dan
musik. Karya sastra Cina-Jawa yang ditulis sejak 1880 hingga 1900-an itu
tersebar di berbagai perpustakaan di Depok, Jakarta, Solo, Yogyakarta,
Leiden, dan Berlin.
Akulturasi dalam bentuk alat musik, misalnya,
ada rebab dan beduk yang telah demikian kental dengan budaya setiap etnis di
Nusantara. Di Betawi, gambang kromong merupakan musik dengan peralatan yang
memadukan budaya Betawi berupa gambang dan kromong (di Jawa disebut bonang)
serta rebab dari Tiongkok.
Rebab itu pun tidak dapat ditinggalkan dalam
melantunkan lagu dalam kesenian Jawa berupa gamelan. Beduk ada di setiap
masjid di Indonesia, berasal dari negeri Tiongkok di utara Nusantara. Dalam
bahasa “sangat kuno”, Tiongkok disebut negeri “atas angin” karena berada di
utara angin muson.
Karena dianggap
sebagai ancaman, Presiden Soeharto pada 1967 mengeluarkan berbagai larangan
yang menyatakan, segala hal yang berbau China dilarang dikaji, diekspos,
disiarkan, atau dimanfaatkan. Akibatnya, di era Orde Baru, apresiasi budaya
China dalam kehidupan sehari-hari seakan-akan mati.
Ketika orde Reformasi dipimpin Presiden
Abdurrahman Wahid (Gusdur), dikeluarkanlah Kepres No 6/2000. Itu sebagai
pencabutan Inpres No 14/1967 tentang Pembatasan Implementasi
Agama/Kepercayaan, Budaya, Adat Istiadat Tionghoa.
Dengan kepres itu, kelenteng sudah
diperbolehkan, liong samsi (barongsai) sudah bebas menampilkan diri, media
cetak dan elektronik sudah boleh tampil dengan bahasa dan aksara kanji,
demikian juga budaya Tionghoa, baik berupa acara adat, ritual, dan wayang
potehi bisa tampil tanpa larangan.
Meskipun mulanya Imlek hanya perayaan kaum
petani biasa setiap menyambut musim semi, spiritnya harus ditumbuhkembangkan.
Spirit itu adalah kasih dan persaudaraan sebagai faktor pemersatu kehidupan.
Imlek memperlihatkan pengalaman perjumpaan para petani dengan realitas
kehidupan yang ada di sekitarnya. Bagi petani, realitas di dunia ini
disatukan, disemangati, ditumbuhkan oleh kasih.
Nilai-nilai ini hendaknya ditumbuhkembangkan
dalam kehidupan sehari-hari, tidak saja antaretnis Tionghoa, tetapi juga
sesama umat manusia. Selamat Imlek! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar