Jumat, 31 Januari 2014

Menggugat Kearifan Pemimpin di Balik Wacana Akuisisi PGN

Menggugat Kearifan Pemimpin

di Balik Wacana Akuisisi PGN

Marzuki Alie  ;   Ketua DPR RI
KORAN SINDO,  30 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      

Negara dibangun dengan tujuan dan visi yang mulia yaitu menyejahterakan kehidupan rakyatnya. Namun, negara dapat hancur karena tindakan para pejabat yang tidak arif dan cenderung menyengsarakan rakyatnya, baik secara ekonomi maupun rasa keadilan. 

Dalam bidang ekonomi misalnya, saat ini bangsa ini sedang mengalami krisis atau tantangan yang berat di masa depan yaitu mengenai ketahanan energi. Kasus elpiji belakangan ini membuka mata kita bahwa ternyata untuk memasak makanan yang menjadi kebutuhan sehari hari, kita mengandalkan produk impor. Dari semua elpiji yang beredar di masyarakat, sekitar 60%-nya dari impor. 

Tentusaja tidakmudahbagi rakyat untuk menerima bahwa untuk hal yang sederhana misalnya yaitu bahan bakar untuk memasak di rumah, ternyata pemerintah tidak mempunyai strategi yang tepat. Saya tidak mau menyalahkan pengambil kebijakan konversi minyak tanah menjadi elpiji itu, karena mungkin ada perhitungan ekonomi saat itu yang mungkin masuk akal. Yang saya sayangkan adalah terjadinya asymmetric information antara pelaksana tugas, pengambil kebijakan, dan masyarakat. 

Belum lagi selesai masalah elpiji, saya terusik dengan isu merger PT Perusahaan Gas Negara, Tbk (PGN) yang merupakan BUMN gas dengan anak usaha PT Pertamina, yaitu PT Pertagas dan isu akan diakuisisinya PGN oleh Pertamina. Padahal, seharusnya ini tidak menjadi wacana lagi karena belum lama ini rapat antara pemerintah dan Komisi VI DPR telah memutuskan untuk melarang Pertamina melakukan akuisisi dan berkonsentrasi kepada pengembangan sektor hulu. 

Saya sudah mengungkapkan berkali-kali bahwa saya tidak melihat strategi tersebut sebagai solusi dari masalah ketahanan energi. Yang seharusnya dipikirkan adalah koordinasi antara BUMN dan pemerintah sebagai pengendali atas bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (Pasal 33 UUD 1945) untuk mencukupi kebutuhan produksi dan konsumsi masyarakat. 

Ada Apa? 

Yang lebih mencengangkan adalah wacana merger atau akuisisi itu ternyata telah sangat berpotensi merugikan negara dan masyarakat dengan jumlah yang tidak sedikit, bahkan nilainya puluhan triliun rupiah. Saya mengamati berita-berita pasar modal. Saya paham bahwa ketika kurs dolar masih di bawah Rp10.000 per dolar dan indeks harga saham gabungan (IHSG) berada di kisaran Rp5.000, harga saham PGN pernah mencapai Rp6.400. Namun ketika sentimen negatif dari pernyataan pemerintah terkait kebijakan open access kemudian menyusul wacana PGN diakuisisi oleh Pertamina, saham PGN tergerus hingga Rp4.260, posisi per 16 Januari 2014. 

Saya melihat seharusnya saham PGN tidak turun secara drastis walaupun kurs rupiah terhadap dolar AS turun hingga lebih dari Rp12.000 dan IHSG turun ke level Rp4.400an, karena PGN adalah perusahaan yang pendapatannya natural hedge atau terlindung nilainya dan memiliki kinerja yang sangat baik. Yang memprihatinkan adalah jika dilihat dari kapitalisasi pasar, saham PGN turun dari Rp150 triliun hingga mendekati Rp105 triliun atau hampir Rp45 triliun penurunannya. 

Kita tahu bahwa 57% saham PGN dimiliki negara sehingga negara kehilangan kekayaannya sekitar Rp25 triliun. Sementara bagi masyarakat, apakah itu dana pensiun maupun Jamsostek, yang memiliki banyak saham atas nama PGN, berpotensi menderitakerugianhampir Rp20 triliun. Ketika saya mengeluarkan pernyataan bahwa DPR bakal menolak akuisisi PGN oleh Pertamina pada 17 Januari 2014 lalu, sentimen pasar pun menjadi positif. 

Ini ditunjukkan kenaikan harga saham PGN di bursa. Pernyataan dari sejumlah pejabat pemerintah yang menolak akuisisi itu membuat pasar makin positif. Tantangan ke depan kita adalah pemerintah mencukupi kebutuhan energi bagi kegiatan ekonomi maupun kegiatan harian masyarakat. Jika pemerintah lebih memikirkan merger atau akuisisi yang tidak menyelesaikan permasalahan energi dan merugikan rakyat, itu membuat rasa keadilan saya sebagai wakil rakyat terusik. 

Fokus Pada Tujuan 

Pertamina, seperti saya sudah berulang kali bilang, seharusnya fokus pada penyelesaian masalah bagaimana seharusnya mengurangi subsidi BBM. Caranya dengan melakukan pengembangan untuk menaikkan lifting minyak sehingga akan menurunkan impor minyak dan menurunkan defisit neraca perdagangan. Selain itu, membangun kilang-kilang minyak baru yang memproduksi BBM. Kilang minyak yang dibangun di Indonesia terakhir pada 1994 silam. Sudah 20 tahun ini tidak ada kilang baru yang dibangun. 

PGN yang sudah dari awal bergerak di bidang perdagangan gas dengan jaringan yang sudah terbentuk, harusnya difokuskan untuk membangun jaringan gas. Jika pemerintah malah disibukkan dengan kegiatan merger, akuisisi dan itu tidak ada dampak langsung bagi rakyat, itu membuat rasa keadilan rakyat pun akan tergugah. Kalaupun harus terjadi akuisisi, tindakan yang paling rasional adalah mempertimbangkan akuisisi Pertagas oleh PGN guna memperkuat suplai gas ke masyarakat. 

Ke depan, bagaimanapun yang diutamakan adalah untuk kepentingan rakyat. BUMN harus dimaksimalkan untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Ada beberapa perusahaan yang sudah menjadi perusahaan terbuka, apapun keputusan kita dengan dalih untuk rakyat, kita harus menghormati keputusan atau kesepakatan. Ketika BUMN sudah menjadi perusahaan publik, kita tidak bisa mengeluarkan kebijakan yang semena-mena sehingga merugikan pemegang saham minoritas yaitu masyarakat. 

Kearifan 

Yang dilihat dari pemerintah seharusnya adalah perilaku kearifannya. Ketika pemerintah tidak bisa arif dan cenderung merugikan masyarakat, hal itu akan menimbulkan pemahaman bahwa pemerintah tidak konsisten dalam bertindak dan tidak memiliki kearifan dalam berpikir. Karena itulah menurut saya, pertama, wacana merger PGN-Pertagas atau akuisisi PGN oleh Pertamina harus distop saat ini juga. Kedua, bahwa kebijakan harus sensitif dengan kondisi masyarakat saat ini. Ketika sedang ada sentimen negatif terhadap perekonomian negara dengan adanya isu defisit kembar, yaitu defisit neraca pembayaran dan APBN, jangan ada lagi isu-isu yang menambah keterpurukan ekonomi kita.

Ketiga, pejabat dituntut mengerti langkah hukum, jangan membuat wacana yang bertentangan dengan hukum yang berlaku. Kasus akuisisi PGN oleh Pertamina ini harus dikonsultasikan dulu dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) karena menyangkut masyarakat yang menjadi pemegang saham minoritas.  Keempat, perlu adanya koordinasi yang lebih kuat antar lembaga. Jangan merasa sebuah lembaga atau kementerian mempunyai wewenang sepenuhnya terhadap satu masalah.

Kelima, ada persoalan informasi. Kebijakan yang diambil dengan informasi yang asimetris akan sangat berbahaya, karena informasi yang asimetris menyebabkan para stakeholdersakan mengambil asumsi sendiri. Jika ada wacana PGN diambil Pertamina, secara realitanya ada penurunan harga saham dan lainnya dan efek negatif lain itu akan membuat orang menyimpulkan ini ada skandal yang ujung-ujungnya untuk kepentingan dana politik. Memang ini belum bisa dibuktikan, tapi ini adalah asumsi yang bisa terjadi.

Keenam, marilah kita bersama- sama menjadi arif, bahwa negara kita memiliki tantangan yang besar ke depan. Pemimpin itu harus memberi inspirasi bagi rakyat dan bukannya malah membuat gaduh. 

Terakhir, saya menjadi teringat filosofi Confucius, bahwa satu negara akan kuat jika memiliki tiga hal. Pertama, sistem pertahanan dan keamanan yang kuat untuk menjaga teritori negara. Kedua, sistem ekonomi yang kuat sehingga bisa memenuhi kebutuhan pokok rakyat. Ketiga pemerintahan yang dapat dipercaya. Jika pertama dan kedua belum tercapai secara baik, sekarang ini yang nomor ketiga adalah wajib dimiliki untuk menjaga kelangsungan hidup negara kita. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar