Negara dibangun dengan tujuan dan visi yang mulia yaitu menyejahterakan
kehidupan rakyatnya. Namun, negara dapat hancur karena tindakan para pejabat
yang tidak arif dan cenderung menyengsarakan rakyatnya, baik secara ekonomi
maupun rasa keadilan.
Dalam bidang ekonomi misalnya, saat ini bangsa ini sedang mengalami krisis
atau tantangan yang berat di masa depan yaitu mengenai ketahanan energi.
Kasus elpiji belakangan ini membuka mata kita bahwa ternyata untuk memasak
makanan yang menjadi kebutuhan sehari hari, kita mengandalkan produk impor.
Dari semua elpiji yang beredar di masyarakat, sekitar 60%-nya dari impor.
Tentusaja tidakmudahbagi rakyat untuk menerima bahwa untuk hal yang sederhana
misalnya yaitu bahan bakar untuk memasak di rumah, ternyata pemerintah tidak
mempunyai strategi yang tepat. Saya tidak mau menyalahkan pengambil kebijakan
konversi minyak tanah menjadi elpiji itu, karena mungkin ada perhitungan
ekonomi saat itu yang mungkin masuk akal. Yang saya sayangkan adalah
terjadinya asymmetric information antara pelaksana tugas, pengambil
kebijakan, dan masyarakat.
Belum lagi selesai masalah elpiji, saya terusik dengan isu merger PT
Perusahaan Gas Negara, Tbk (PGN) yang merupakan BUMN gas dengan anak usaha PT
Pertamina, yaitu PT Pertagas dan isu akan diakuisisinya PGN oleh Pertamina.
Padahal, seharusnya ini tidak menjadi wacana lagi karena belum lama ini rapat
antara pemerintah dan Komisi VI DPR telah memutuskan untuk melarang Pertamina
melakukan akuisisi dan berkonsentrasi kepada pengembangan sektor hulu.
Saya sudah mengungkapkan berkali-kali bahwa saya tidak melihat strategi
tersebut sebagai solusi dari masalah ketahanan energi. Yang seharusnya
dipikirkan adalah koordinasi antara BUMN dan pemerintah sebagai pengendali
atas bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (Pasal 33 UUD
1945) untuk mencukupi kebutuhan produksi dan konsumsi masyarakat.
Ada Apa?
Yang lebih mencengangkan adalah wacana merger atau akuisisi itu ternyata
telah sangat berpotensi merugikan negara dan masyarakat dengan jumlah yang
tidak sedikit, bahkan nilainya puluhan triliun rupiah. Saya mengamati
berita-berita pasar modal. Saya paham bahwa ketika kurs dolar masih di bawah
Rp10.000 per dolar dan indeks harga saham gabungan (IHSG) berada di kisaran
Rp5.000, harga saham PGN pernah mencapai Rp6.400. Namun ketika sentimen
negatif dari pernyataan pemerintah terkait kebijakan open access kemudian
menyusul wacana PGN diakuisisi oleh Pertamina, saham PGN tergerus hingga
Rp4.260, posisi per 16 Januari 2014.
Saya melihat seharusnya saham PGN tidak turun secara drastis walaupun kurs
rupiah terhadap dolar AS turun hingga lebih dari Rp12.000 dan IHSG turun ke
level Rp4.400an, karena PGN adalah perusahaan yang pendapatannya natural hedge atau terlindung nilainya
dan memiliki kinerja yang sangat baik. Yang memprihatinkan adalah jika
dilihat dari kapitalisasi pasar, saham PGN turun dari Rp150 triliun hingga
mendekati Rp105 triliun atau hampir Rp45 triliun penurunannya.
Kita tahu bahwa 57% saham PGN dimiliki negara sehingga negara kehilangan
kekayaannya sekitar Rp25 triliun. Sementara bagi masyarakat, apakah itu dana
pensiun maupun Jamsostek, yang memiliki banyak saham atas nama PGN,
berpotensi menderitakerugianhampir Rp20 triliun. Ketika saya mengeluarkan
pernyataan bahwa DPR bakal menolak akuisisi PGN oleh Pertamina pada 17 Januari
2014 lalu, sentimen pasar pun menjadi positif.
Ini ditunjukkan kenaikan harga saham PGN di bursa. Pernyataan dari sejumlah
pejabat pemerintah yang menolak akuisisi itu membuat pasar makin positif.
Tantangan ke depan kita adalah pemerintah mencukupi kebutuhan energi bagi
kegiatan ekonomi maupun kegiatan harian masyarakat. Jika pemerintah lebih
memikirkan merger atau akuisisi yang tidak menyelesaikan permasalahan energi
dan merugikan rakyat, itu membuat rasa keadilan saya sebagai wakil rakyat
terusik.
Fokus Pada Tujuan
Pertamina, seperti saya sudah berulang kali bilang, seharusnya fokus pada
penyelesaian masalah bagaimana seharusnya mengurangi subsidi BBM. Caranya
dengan melakukan pengembangan untuk menaikkan lifting minyak sehingga akan
menurunkan impor minyak dan menurunkan defisit neraca perdagangan. Selain
itu, membangun kilang-kilang minyak baru yang memproduksi BBM. Kilang minyak
yang dibangun di Indonesia terakhir pada 1994 silam. Sudah 20 tahun ini tidak
ada kilang baru yang dibangun.
PGN yang sudah dari awal bergerak di bidang perdagangan gas dengan jaringan
yang sudah terbentuk, harusnya difokuskan untuk membangun jaringan gas. Jika
pemerintah malah disibukkan dengan kegiatan merger, akuisisi dan itu tidak
ada dampak langsung bagi rakyat, itu membuat rasa keadilan rakyat pun akan
tergugah. Kalaupun harus terjadi akuisisi, tindakan yang paling rasional
adalah mempertimbangkan akuisisi Pertagas oleh PGN guna memperkuat suplai gas
ke masyarakat.
Ke depan, bagaimanapun yang diutamakan adalah untuk kepentingan rakyat. BUMN
harus dimaksimalkan untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Ada beberapa perusahaan
yang sudah menjadi perusahaan terbuka, apapun keputusan kita dengan dalih
untuk rakyat, kita harus menghormati keputusan atau kesepakatan. Ketika BUMN
sudah menjadi perusahaan publik, kita tidak bisa mengeluarkan kebijakan yang
semena-mena sehingga merugikan pemegang saham minoritas yaitu masyarakat.
Kearifan
Yang dilihat dari pemerintah seharusnya adalah perilaku kearifannya. Ketika
pemerintah tidak bisa arif dan cenderung merugikan masyarakat, hal itu akan
menimbulkan pemahaman bahwa pemerintah tidak konsisten dalam bertindak dan
tidak memiliki kearifan dalam berpikir. Karena itulah menurut saya, pertama,
wacana merger PGN-Pertagas atau akuisisi PGN oleh Pertamina harus distop saat
ini juga. Kedua, bahwa kebijakan harus sensitif dengan kondisi masyarakat
saat ini. Ketika sedang ada
sentimen negatif terhadap perekonomian negara dengan adanya isu defisit
kembar, yaitu defisit neraca pembayaran dan APBN, jangan ada lagi isu-isu
yang menambah keterpurukan ekonomi kita.
Ketiga, pejabat dituntut mengerti langkah hukum, jangan membuat wacana
yang bertentangan dengan hukum yang berlaku. Kasus akuisisi PGN oleh
Pertamina ini harus dikonsultasikan dulu dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
karena menyangkut masyarakat yang menjadi pemegang saham minoritas. Keempat, perlu adanya koordinasi
yang lebih kuat antar lembaga. Jangan merasa sebuah lembaga atau kementerian
mempunyai wewenang sepenuhnya terhadap satu masalah.
Kelima, ada persoalan informasi. Kebijakan yang diambil dengan
informasi yang asimetris akan sangat berbahaya, karena informasi yang
asimetris menyebabkan para stakeholdersakan mengambil asumsi sendiri. Jika ada wacana PGN diambil
Pertamina, secara realitanya ada penurunan harga saham dan lainnya dan efek
negatif lain itu akan membuat orang menyimpulkan ini ada skandal yang
ujung-ujungnya untuk kepentingan dana politik. Memang ini belum bisa
dibuktikan, tapi ini adalah asumsi yang bisa terjadi.
Keenam, marilah kita bersama- sama menjadi arif, bahwa negara kita
memiliki tantangan yang besar ke depan. Pemimpin itu harus memberi inspirasi
bagi rakyat dan bukannya malah membuat gaduh.
Terakhir, saya menjadi teringat filosofi Confucius, bahwa satu negara akan
kuat jika memiliki tiga hal. Pertama, sistem pertahanan dan keamanan yang
kuat untuk menjaga teritori negara. Kedua, sistem ekonomi yang kuat sehingga
bisa memenuhi kebutuhan pokok rakyat. Ketiga pemerintahan yang dapat
dipercaya. Jika pertama dan kedua belum tercapai secara baik, sekarang ini
yang nomor ketiga adalah wajib dimiliki untuk menjaga kelangsungan hidup negara
kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar