Pengesahan RAPBD DKI Terlambat
Abraham
Fanggidae ; Widyaiswara Utama Pusdiklat
Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial, Jakarta
|
KORAN
JAKARTA, 29 Januari 2014
Akhirnya, Rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Provinsi DKI dengan nilai total 72
triliun rupiah disahkan pada 22 Januari. APBD naik 21, 9 triliun dari 50, 1
triliun rupiah, menurut APBD Perubahan Tahun Anggaran 2013.
Sebelum pengesahan, Gubernur
Jokowi sempat ditegur Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, yang mengingatkan
keterlambatan pengesahan anggaran melanggar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor
58/2005. APBD harusnya disahkan sebulan sebelum tahun anggaran baru berjalan.
Pembahasan sebagai pekerjaan
rutin setiap tahun sehingga keterlambatan RAPBD Tahun Anggaran 2013 dan 2014
menjadi pertanyaan besar. Harusnya pembahasan RAPBD selesai tepat waktu. Muncul
berbagai interpretasi tentang keterlambatan pengesahan, di antaranya DPRD
sengaja memosisikan menjadi "batu sandungan" pemprov.
Ada kecenderungan lembaga tidak
mau tunduk pada pimpinan lain, walau melawan peraturan formal, bahkan
mengganggu kepentingan masyarakat luas.
Wakil rakyat sadar, dana APBD
untuk membangun Jakarta. Dasar pemikiran ini harusnya memberi motivasi besar
untuk bekerja keras mengejar tenggat.
Semestinya anggota DPRD DKI tidak
berleha-leha sehingga tenggat terlewati.
Wakil rakyat tahu, pengesahan
APBD lewat Januari disanksi pembayaran dana alokasi umum (DAU) Februari
ditunda. Jika molor dan dikenakan sanksi seperti itu, yang rugi juga warga
yang harus menikmati DAU.
Bagi Pemprov DKI, APBD untuk
membenahi banyak bidang krusial yang urgen seperti penanggulangan banjir,
pendidikan, kesehatan. Pemprov tidak bisa berbelanja pembangunan
infrastruktur, membeli obat-obatan, memajukan pendidikan secara cepat, tanpa
dana APBD.
Sikap wakil rakyat DKI ini
aneh. Jika SKPD Provinsi DKI berkinerja rendah, wakil rakyat mengeluh.
Jalan-jalan di Jakarta macet dan lubang di mana, mereka protes. Banjir
melanda dan menderitakan warga, mereka menuduh bahkan memojokkan pemprov.
Seharusnya, wakil rakyat introspeksi, mulai dari berkinerja baik dan tepat
waktu ketika membahas RAPBD.
Eksekutif dan legislatif harus
memiliki semangat sama karena eksistensi kedua lembaga juga sama: melayani
warga dan membangun daerah.
Hanya, kadang rekayasa politis
irasional dewan berakibat buruk bagi semua pihak. Dewan jangan menjegal
gubernur/bupati/wali kota. Mereka harus mendukung. Wakil rakyat
memperjuangkan kepentingan konstituen serta rakyat pada umumnya melalui
kewenangan mereka, antara lain pembahasan RAPBD.
Dewan sering menggunakan
akrobatik "politicking" yang murahan. Kemandekan kinerja hanya
menambah citra buruk dan kehilangan simpati. Bahkan, mereka dicap sebagai
"politisi busuk". Mereka tak akan dipilih lagi.
Korupsi Anggaran
Dewan harus menjauhkan diri
dari upaya menjegal kebijakan Pemprov DKI yang dipimpin Joko Widodo dan
Basuki Tjahaya Purnama, juga kalau partai politiknya
"berseberangan". Jangan sampai ada kesan berupaya memisahkan diri
dari eksekutif. Ini kesalahan prinsipial karena pemerintah daerah adalah
gubernur dan DPRD.
Dari matematik politis,
keterwakilan dewan di DPRD DKI dari Fraksi PDI-P dan Gerinda sebagai
pendukung Joko Widodo-Basuk Tjahaja Purnama lebih sedikit dibanding koalisi.
Kondisi demikian bisa saja dimanfaatkan koalisi untuk menekan dan bahkan
menjegal eksekutif.
Ketika gubernur dan wakil
gubernur (Jokowi-Ahok) dilantik sebagai pejabat negara, mereka bukan lagi
mewakili parpol. Mereka juga bekerja tidak bagi warga parpolnya. Gubernur dan
wagub DKI yang bekerja untuk seluruh warga Jakarta. Keduanya telah legitim
memenangkan suara dalam pilkada.
Jika DPRD berinisiatif menjegal
eksekutif, yang kolaps bukan dewan, tapi warga DKI. Seluruh rakyat Indonesia
akan terimbas akibat bahasan atau proses RAPBD Provinsi DKI alot. Ini
konsekuensi Jakarta sebagai Ibu Kota negara.
Banjir di Jakarta bisa membuat
konstelasi sosial politis dan ekonomi secara nasional terganggu. Contoh,
pendatang enggan ke Jakarta. Sebaliknya, warga Jakarta pun malas bepergian ke
luar daerah untuk berbagai bisnis.
Menurut data operator
penerbangan, selama Jakarta banjir, penumpang pesawat melalui bandara Halim
Perdanakusuma menurun 10 persen. Infrastruktur di Jakarta terkait pencegahan
banjir perlu memperoleh perhatian pemprov DKI. Ini tidak bisa jalan bila
belum ada anggaran.
Dalam Permendagri nomor
27/2013, terdapat butir penting sebagai esensi penyusunan APBD Tahun Anggaran
2014. Isinya, APBD harus disinkronkan dengan kebijakan pemerintah pusat.
Wawasan birokrat (eksekutif), wakil rakyat (legislatif) harus luas. Mereka
harus berwawasan kepentingan nasional. Pengesahan APBD tidak semata merespons
kepentingan daerah, tapi mendukung kepentingan nasional.
Konkretnya, APBD Provinsi DKI
disetel agar sinkron dengan kebijakan pemerintah. APBD Kabupaten Raja Ampat
juga disinkronkan dengan kebijakan pemerintah Provinsi Papua Barat, dan
Pemerintah Pusat.
APBD tiap daerah harus
mencerminkan dukungan pencapaian target pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar
6,8 persen–7,2 persen tahun 2014. Maka, keterlambatan pengesahan APBD DKI
jelas memengaruhi kebijakan pemerintah. Contoh, target pertumbuhan ekonomi
nasional terganggu.
Hal krusial lain, APBD DKI yang
disahkan jangan jadi bancakan. Jangan diselewengkan untuk kepentingan parpol,
golongan, kantong pribadi eksekutif maupun legislatif. Stigma korupsi
anggaran dalam jajaran Provinsi DKI harus dieliminasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar