TVRI
dan Konvensi Demokrat
Amir Effendi Siregar ;
Anggota
Dewan Pers (2003-2006),
Ketua Dewan Pimpinan Serikat
Perusahaan Pers (SPS) Pusat
|
KOMPAS,
06 Januari 2014
PERTENGAHAN
September lalu, TVRI menayangkan Konvensi Partai Demokrat hingga 2,5 jam.
Komisi Penyiaran Indonesia pun menegur dengan alasan telah terjadi
pelanggaran prinsip netralitas dan independensi. Persoalan berlanjut pada
kontroversi pengunduran diri dan pemberhentian direksi TVRI.
Ada pihak yang berpendapat bahwa
penayangan acara konvensi bukan masalah. Saya mendapat pertanyaan gencar,
apakah penayangan itu melanggar hukum dan atau etika?
Sangat menarik mempelajari kasus
ini sebagai masukan, terutama untuk regulator seperti Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI), Dewan Pers, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Komisi
Pemilihan Umum, DPR, bahkan lembaga penyiaran, khususnya TVRI, agar dapat
bertindak tepat, termasuk penyusunan peraturan perundang-undangan.
Apalagi kini menjelang pemilihan
umum. Media, khususnya elektronik, akan dimanfaatkan secara maksimal oleh
berbagai pihak, termasuk pemilik.
Karya jurnalistik
Untuk dapat memberikan masukan,
saya menonton kembali seluruh penayangan Konvensi Partai Demokrat itu. Memerlukan
kesabaran untuk menontonnya (beberapa kali dalam dua hari) karena tiap 30
menit beristirahat. Capek dan melelahkan.
Kesimpulan apa yang diperoleh?
Apakah konvensi itu mempunyai nilai berita (news values),
sepertisignificance, proximity, timeliness (aktual), magnitude,
prominence, dan human interest?
Konvensi itu penting diketahui
publik (significance) karena Partai Demokrat adalah salah satu partai
terbesar di Indonesia dengan calon-calon presiden yang mempunyai nama besar
(prominence).
Semua tokoh dan Partai Demokrat
mempunyai nilai kedekatan (proximity), baik secara geografis maupun
psikografis, dengan penonton.
Konvensi itu adalah peristiwa yang
aktual. Jadi, secara teoretis, konvensi Partai Demokrat itu mempunyai nilai
berita yang sangat tinggi. Gabungan dari beberapa elemen nilai berita.
Lantas, di mana dan apa masalahnya?
Sebuah karya jurnalisme seharusnya
ditujukan untuk pemberdayaan publik. Menyampaikan informasi yang dibutuhkan
dan mencerdaskan publik.
Kepentingan publik adalah yang
utama. Informasi itu harus dikemas menarik, komprehensif dari berbagai
perspektif agar bermanfaat buat kehidupan publik.
Independensi terhadap
narasumber harus dijaga. Di sinilah masalah muncul.
Penayangan konvensi tidak dikemas
sesuai dengan prinsip kerja jurnalisme dan jurnalistik. Tidak diedit sama
sekali, entah karena malas atau tidak mengerti. Terkesan bukan untuk
kepentingan publik sehingga independensi dan netralitas dipertanyakan.
Bila TVRI menayangkan materi
siaran konvensi berdasarkan prinsip kerja jurnalisme dan jurnalistik, justru
menarik dan bisa ditampilkan dalam beberapa episode.
Setiap tokoh bahkan bisa dibahas
lengkap dan sekaligus dibandingkan dengan tokoh lain. Kita bisa melihat sisi
positif dan negatif tokoh. Ini bisa menjadi pembelajaran, pemberdayaan, dan
pencerdasan publik. Namun, ini tidak dilakukan.
Posisi TVRI
TVRI adalah lembaga penyiaran
publik yang secara universal berdasarkan World
Radio and Television Council 2002, prinsip utamanya adalah Public Service Broadcasting
(PSB): Neither commercial nor state-controlled, public broadcasting’s
only raison d’etre is public service. It is the public’s broadcasting
organization; it speaks to everyone as a citizen. Public broadcasters
encourage access to and participation in public life. They develop knowledge,
broaden horizon and enable people to better understand themselves by better
understanding the world and others. (Banerjee
and Seneviratne, 2006).
Sebagaimana yang yang dianut dan
dilakukan oleh British Broadcasting Corporation di Inggris, Nippon Hoso
Kyokai di Jepang, dan Australian Broadcasting Corporation di Australia, serta
negara demokrasi lainnya.
Berdasarkan Undang-Undang
Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002, Lembaga Penyiaran Publik (dalam hal ini TVRI
dan RRI) adalah lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum yang didirikan
oleh negara, bersifat independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi
memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat (Pasal 14).
Dalam negara demokrasi, lembaga penyiaran
publik harus independen, tidak dikontrol pemerintah, apalagi partai politik.
Dengan demikian, TVRI bukan corong
pemerintah ataupun partai politik. TVRI adalah badan independen yang
ditujukan untuk setiap orang, termasuk untuk penduduk minoritas.
Posisi ini sering kali tidak atau
kurang dipahami oleh banyak pihak, termasuk pemerintah. Lewat gambaran di
atas, kita jelas mengetahui bahwa peran dan posisi TVRI dan RRI sebagai
penyiaran publik berbeda dengan penyiaran komersial.
TVRI tidak harus
mempergunakan rating Nielsen yang saat ini dipakai televisi swasta
komersial.
Dalam beberapa pertemuan
sebelumnya, pimpinan TVRI pernah dengan bangga mengatakan bahwarating-nya
saat ini telah naik dan mulai diperhitungkan oleh pemasang iklan.
TVRI mempunyai tugas berbeda
dengan televisi komersial karena dibiayai oleh rakyat lewat anggaran negara.
Meskipun demikian, baik lembaga
penyiaran swasta maupun publik, harus tetap menjaga independensi dan
netralitasnya sebagaimana dinyatakan oleh undang-undang penyiaran dan pers,
kode etik jurnalistik, pedoman perilaku penyiaran, dan standar program
siaran.
Tak perlu khawatir menyiarkan
konvensi partai mana pun selama itu untuk kepentingan publik dan berdasarkan
prinsip kerja jurnalisme. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar