Inklusi
Finansial
M Dawam Rahardjo ;
Ketua Lembaga Ekonomi dan Keuangan Syarikat Islam
|
KOMPAS,
06 Januari 2014
SUDAH
beberapa tahun ini Bank Indonesia mencanangkan program inklusi finansial (financial inclusion) yang intinya
adalah memperluas partisipasi masyarakat, khususnya masyarakat lapisan bawah,
dalam kegiatan perbankan, terutama simpanan dan pinjaman.
Masalahnya adalah di satu pihak
masyarakat lapisan bawah sulit mengakses fasilitas perbankan karena tidak
memiliki dana untuk disimpan dan tidak bisa memperoleh pinjaman karena tidak
mampu memenuhi syarat-syarat perbankan (unbankable), sementara di lain pihak,
bank sendiri mengalami kesulitan untuk menjangkau masyarakat bawah karena
peraturan yang dibuatnya sendiri. Akibatnya adalah hingga kini ada sekitar 58
persen anggota masyarakat usia dewasa yang tidak memiliki hubungan dengan
bank (unbanked). Setelah menjadi wacana selama beberapa tahun, inklusi
finansial bagi BI masih tetap merupakan tanda tanya besar (puzzle) yang
berkepanjangan dan belum ditemukan solusinya.
Kelompok Bank Dunia sendiri juga
mempunyai program inklusi finansial ini karena keyakinan bahwa pelayanan
perbankan akan bisa berperan menentukan dalam penghapusan kemiskinan. Namun,
program yang dijalankan adalah akses pelayanan perbankan melalui jejaring
atau media sosial guna melaksanakan transfer uang atau pembayaran
secara on-line. Memang produk itu merupakan inklusi juga, tetapi
terhadap orang yang sudah banked. Karena itu yang bisa mengakses
pelayanan ini adalah mereka yang memiliki dana dan simpanan di bank. Program
melalui jejaring on-line sebenarnya lebih sejalan dengan tujuan
ekspansi finansial dan bukan inklusi finansial terhadap masyarakat lapisan bawah.
Paradigma perbankan
Masalah inklusi dan ekspansi
finansial ini sebenarnya bersumber atau berakar pada paradigma perbankan
konvensional itu sendiri, sebagaimana tertulis dalam UU RI Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perbankan. Dalam UU tersebut bank didefinisikan sebagai lembaga
intermediasi finansial antara pemilik dana dan masyarakat yang membutuhkan
dana. Pemilik dana adalah investor yang menanamkan modalnya dan para deposan
sebagai pihak ketiga yang menyimpan dananya di bank agar nilai uangnya dapat
dipertahankan atau bertambah di kemudian hari serta dijamin keamanannya.
Dalam hal ini, pihak ketiga juga tidak mau menanggung risiko kerugian.
Konsekuensi dari lembaga perantara
keuangan finansial (financial intermediary) adalah pertama, bank harus
bertanggung jawab kepada pemilik dana. Kedua, bank harus mampu mengelola dan
mengembangkan bisnisnya secara bertanggung jawab dengan menjalankan prinsip
kehati-hatian (prudentiality) dan sesuai dengan peraturan perbankan
(compliancy). Pada dasarnya, bank adalah suatu investor oriented
firm (IOF), perusahaan yang berorientasi pada kepentingan investor,
yaitu maksimisasi keuntungan (profit maximization) yang menjadi dasar
dan pedoman manajemen perbankan. Kedua, bank bertanggung jawab terhadap serta
dikontrol oleh otoritas moneter dan masyarakat yang menjadi potensi
nasabahnya tentang kesehatan, ketahanan, dan kemampuannya untuk berkembang
sebagai perusahaan yang mencari keuntungan. Karena itu, bank konvensional
sebenarnya adalah perusahaan ”peternakan uang” (making money out of money)
atau lembaga riba yang diharamkan oleh Islam dan agama-agama dunia lainnya.
Jika kriteria pembeda adalah
tujuan perbankan, kuncinya adalah menggantikan bentuk dan sifat lembaga
bank dari investor oriented firm menjadi user oriented
firm (UOF), yaitu lembaga finansial yang berorientasi pada pengguna,
sebagaimana lembaga koperasi keuangan yang orisinal. Dengan perkataan lain,
tujuan lembaga bank harus diubah dari maksimisasi keuntungan menjadi
maksimisasi manfaat bagi pengguna. Menurut ajaran Islam harus sesuai dengan
tujuan-tujuan hukum syariah (al-maqosith al-syariah), yang merupakan doktrin
kesejahteraan sosial Islam itu. Dengan demikian, bank merupakan lembaga
finansial yang menekankan dampak sosial dan lingkungan hidup atau kualitas
hidup (quality of life) masyarakat atau lembaga qord al-
hasan (fasilitas kebajikan).
Masalahnya adalah bahwa paradigma
yang menjadi dasar sistem ekonomi Indonesia dan dunia pada umumnya hanya
pencapaian pertumbuhan ekonomi yang bersumber dari keuntungan perusahaan.
Konsekuensinya, bank difungsikan sebagai fasilitator pertumbuhan ekonomi.
Dengan demikian, diperlukan pengubahan paradigma perbankan terkait dengan
sistem ekonomi itu sendiri.
Inklusi finansial sebenarnya
bergantung pada taraf pendapatan yang meningkat secara merata (equitable),
yaitu di satu pihak meningkat sehingga memungkinkan setiap orang untuk
menabung dan di lain pihak bersifat merata antarsektor ataupun wilayah di
tingkat individu. Pada gilirannya, tingkat pendapatan tergantung dari
perluasan lapangan kerja yang produktif dan remuneratif. Dalam konteks
Indonesia, lapangan kerja yang produktif dan remuneratif itu bersumber dari
pengelolaan yang efisien dan lestari terhadap kekayaan sumber daya alam,
khususnya yang terkait dengan
lapangan kerja, yaitu sektor pertanian, kelautan, dan kehutanan. Masyarakat Indonesia dewasa ini juga masih menanggung beban kependudukan berupa kemiskinan massal yang bersifat absolut dan struktural.
Pemecahannya yang paling langsung
adalah pembangunan yang berbasis sumber daya alam, yaitu pertanian, kelautan,
dan kehutanan, yang didukung oleh sumber daya manusia
yang berkualitas. Sumber daya alam pertambangan juga merupakan potensi
yang telah digarap, tetapi hasilnya hanya menyumbang pada pertumbuhan
ekonomi yang berdampak pada kesenjangan dan bukannya pemberantasan kemiskinan
dengan peningkatan lapangan kerja. Oleh sebab itu, solusi terhadap masalah
kemiskinan adalah industrialisasi yang berbasis pertanian, kelautan, dan
kehutanan dalam sistem ekonomi kerakyatan. Tujuan antara dari
pembangunan ini adalah kemandirian ekonomi yang berbasis kedaulatan rakyat
terhadap sumber daya ekonomi.
Lembaga fasilitator
Karena itu, paradigma perbankan
harus diubah dari sebagai lembaga perantara keuangan yang berorientasi pada
kepentingan investor menjadi lembaga fasilitator perkembangan ekonomi yang
berdampak sosial. Dengan perkataan lain, bank bukanlah lembaga
peternakan uang, melainkan lembaga etis atau berbasis nilai (bank based on
ethical). Nilai tersebut, dalam kaitannya dengan masalah global dewasa
ini, adalah dampak sosial dan lingkungan hidup (social and environmental
impact). Bank yang berbasis nilai itu disebut sebagai bank
sosial (social bank) yang sudah berdiri di tingkat global dan bergabung
dalam organisasi The Global Bank based on Ethical Value (GBEV), tapi belum
dikenal dalam UU Perbankan Indonesia. Akibatnya, hingga kini di Indonesia
yang ada hanyalah bank sebagai lembaga peternakan uang (bank ribawi) yang tak
mampu menciptakan inklusi finansial.
Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo
menyatakan, dewasa ini tidak mungkin dibentuk suatu ”bank pertanian” dengan
alasan tidak ada investor yang berminat. Sebab sebenarnya adalah bahwa para
investor umumnya terbelenggu dalam mitos pertanian sebagai sektor tradisional
yang kurang produktif dengan beban risiko yang tinggi sehingga tidak diminati
oleh lembaga asuransi. Padahal, teknologi dan manajemen dewasa ini sudah
mengubah pertanian menjadi sektor yang prospektif sehingga tidak ada alasan
untuk menolak berdirinya sebuah bank pertanian. Masalah sebenarnya adalah
bahwa hingga kini perbankan Indonesia masih dibelenggu oleh paradigma
atau bahkan mitos perbankan konvensional yang belum mengenal paradigma bank
sosial yang sudah menjadi gejala global baru itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar