Megawati
: Beri Ruang Pemimpin Muda
C Wahyu Haryo & Haryo
Damardono ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
07 Januari 2014
Banyak orang menyebut tahun 2014 sebagai tahun politik.
Namun, presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri memandang lebih dari itu.
Baginya, tahun ini merupakan tahun penentuan bagi bangsa Indonesia untuk
menjadi bangsa yang kembali pada akar sejarahnya. Bangsa yang mandiri,
beradab, dan menjadi pelita bagi bangsa-bangsa lain di dunia.
Dalam wawancara khusus
dengan Kompas, Senin (6/1), Megawati menyatakan, persoalan fundamental
bangsa Indonesia saat ini adalah kehilangan jejak sejarah. Banyak generasi
muda yang tidak memahami sejarah bangsanya dan hal ini sangat mengkhawatirkan.
”Bagaimanapun suatu bangsa akan
mengetahui jati dirinya jika mengetahui akar sejarahnya. Tanpa mengenal jejak
sejarah bangsa sendiri, kita akan kehilangan arah,” katanya.
Megawati menyoroti bagaimana
bangsa Indonesia mengalami sebuah euforia reformasi setelah selama 33 tahun
Orde Baru mengalami pemerintahan yang represif. Namun, sayangnya, tidak ada
arah yang jelas untuk menata perubahan yang menjadi inti reformasi itu.
Arus politik yang saat itu
menginginkan adanya amandemen Undang-Undang Dasar 1945 seperti tidak
terbendung. Bukan hanya sekali amandemen, melainkan hingga empat kali.
Megawati justru merasa amandemen sudah kebablasan.
”Saya melihat sekarang justru
perjalanan jejak kita menjadi seperti tidak terarah dan terukur,” katanya.
Keberadaan Majelis Permusyawaratan
Rakyat, dalam amandemen itu, tidak lagi sebagai lembaga tertinggi. Tidak ada
lagi lembaga yang menentukan arah pembangunan bangsa dalam jangka panjang dan
berkesinambungan. Dengan amandemen tersebut, arah bangsa menjadi dibatasi periodisasi
presiden dengan visi misinya. Batasannya, maksimal 10 tahun, itu pun jika
presiden terpilih dalam dua periode.
Ia mengibaratkan pembangunan
sebuah jembatan yang membutuhkan kalkulasi panjang. Ketika hadir pemimpin
baru dan muncul pemikiran yang berbeda dari pemimpin sebelumnya, yang terjadi
adalah dibangun jembatan baru dengan rute lain sehingga tidak jelas
kelanjutan dari jembatan yang direncanakan awal.
Dalam pandangan Megawati,
perubahan dalam reformasi semestinya lebih tertata dengan baik. Pada masanya,
Bung Karno membuat konsep Pembangunan Semesta Berencana. Pada era Presiden
Soeharto, MPR menyusun Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sehingga siapa
pun pemimpinnya akan tahu perencanaan ke depan secara jelas.
”Apa pun yang dilakukan pemimpin
harus ikut yang diputuskan MPR (dalam GBHN). Itu yang kita hilang,” katanya.
Lahirkan pemimpin muda
Megawati memang memiliki keresahan
akan jejak sejarah yang mungkin hilang. Dengan kondisi bangsa saat ini,
Megawati juga memiliki keresahan akan tantangan yang akan dihadapi pemimpin
ke depan.
Namun, Megawati tidak hanya resah
dan berdiam diri. Sebagai tokoh politik yang berpengalaman lebih dari 20
tahun memimpin Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Megawati
membuktikan diri mampu melahirkan pemimpin-pemimpin muda potensial.
Dari tangan dinginnya, lahir
pemimpin potensial, seperti Gubernur DKI Joko Widodo, Wali Kota Surabaya Tri
Rismaharini, dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Lantas bagaimana
resepnya dalam menggembleng tokoh-tokoh muda itu?
Megawati mengaku tidak mudah
ketika pertama kali memimpin partai ”kampung” yang anggotanya kebanyakan dari
kalangan bawah. Dengan kesabarannya, ia berjuang mendidik anggotanya dengan
menggunakan roh ideologi Pancasila. Roh ideologi Pancasila tersebut terus dibumikan
sehingga mereka memiliki keyakinan bahwa Pancasila dapat memerdekakan dan
menyejahterakan bangsa. Ia juga terus memperhatikan rekam jejak
kader-kadernya.
”Seorang pemimpin harus mempunyai
kesabaran revolusioner. Kesabaran yang bergerak, tidak hanya menunggu. Kami
terus melakukan sesuatu, memperbaiki diri,” katanya.
Jika saat ini banyak pemimpin muda
yang muncul dari hasil kaderisasi yang dilakukannya, Megawati mengaku hanya
memberikan ruang dan kesempatan bagi mereka untuk mengembangkan diri.
”Saya hanya mendorong. Mereka
sendiri yang harus mengolah dirinya agar berhasil. Melihat Risma, Ganjar,
Jokowi, dan banyak lagi di kabupaten, saya selalu merasa senang, bangga,”
ujarnya.
”Saya hanya memberi jalan,
mengajarkan, memberi ruang, tetapi saya katakan, hasilnya ada pada kalian
sendiri. Mau jatuh, mau naik, itu semua ada pada kalian. Itu semua yang harus
diberikan anak-anak muda kita,” lanjutnya.
Menghadapi pemilu kali ini,
Megawati berhitung betul tentang bagaimana berkompetisi dan mengajukan calon
pemimpin yang diusung partainya. Baginya, kalkulasi tidak hanya melulu bagi
kepentingan partai, tetapi lebih untuk kepentingan bangsa yang lebih besar.
Meski mendapat hak prerogatif dari
Kongres III PDI-P untuk menentukan calon presiden yang diusung partainya, Megawati
belum bersedia membuka sosok yang dipilihnya. Bahkan, ia sendiri mengaku
belum tahu apa akan maju lagi dalam pemilihan umum presiden kali ini.
”Kita mesti lihat, kita mesti
ukur. Saya melihat siap-siapa saja (yang potensial). Saya tidak mau memilih
kucing dalam karung,” katanya.
Langkah Megawati itu cukup
mengejutkan mengingat hasil survei menunjukkan PDI-P
dan Jokowi mampu
mengungguli kandidat yang lain. Baginya, survei itu tidak bisa dijadikan
pegangan untuk mencalonkan seseorang.
”Kalau itu dijadikan pegangan,
kita akan lupa diri. Jadikan sebagai gambaran saja dan kita (tetap) kerja
keras,” katanya.
Tentukan sewaktu-waktu
Menurut dia, sebagai ketua umum
partai yang memiliki hak prerogatif, ia dapat memutuskan calon yang diusung
tanpa mekanisme rapat di internal partai. Ia juga berhak memutuskannya kapan
pun sesuai dengan kalkulasi politik yang dimilikinya.
”Saya tahu yang dimaksud adalah
(apakah) Jokowi? Tunggu dulu. Itu kan kalkulasi saya. Sebagai ketum partai,
saya dapat hak prerogatif,” katanya.
”Meskipun Rakernas III menyebutkan
penyebutan nama setelah mendapat hasil Pemilu 9 April, saya ketua umum punya
hak prerogatif. Artinya, bisa saja sewaktu-waktu. Bisa siapa saja,”
lanjutnya.
Demokrasi ornamen
Di luar persoalan pencalonan sosok
yang akan diusung, Megawati justru memberikan perhatian mendalam akan
perjalanan demokrasi di Indonesia, yang hadir lewat pemilihan umum. Baginya,
pemilu hanya akan menjadi ornamen demokrasi jika yang terjadi berulang
seperti pada Pemilu 2004 dan 2009.
Menurut Megawati, demokrasi yang
hadir dalam instrumen pemilu tidak dapat ditegakkan jika Komisi Pemilihan
Umum tidak netral serta teknologi informasi yang digunakan dalam pemilu tidak
netral dan bisa dimanipulasi. Kondisi lain yang dikhawatirkannya, jika
intelijen negara bermain serta terjadi politik uang. ”PDIP harus berkalkulasi
untuk memajukan suatu orang,” katanya.
Demi bangsa, Megawati tak ingin
terburu dan gegabah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar