Tukang
Bicara
Agustine Dwiputri ; Penulis
Rubrik “Konsultasi Psikologi” Kompas
|
KOMPAS,
19 Januari 2014
Mungkin kita pernah bertemu dengan orang yang terus saja
bicara, tidak tahu kapan harus berhenti. Sebenarnya tidak ada yang salah
dengan keinginan untuk menjadi komunikatif karena dengan berbicara yang tepat
dan sesuai, justru banyak hal bisa menjadi lancar. Hanya saja, ”tukang
bicara” tampaknya hidup untuk bicara, motonya, ”Aku bicara, maka aku ada.”
Mereka begitu
kompulsif tentang kebutuhan untuk terus berbicara, bahkan tidak memperhatikan
bahwa tidak seorang pun menyukainya. Pastinya akan menjengkelkan bukan?
Jon Bloch, PhD dalam
bukunya Handling Difficult People (2013)
mengatakan bahwa dalam bentuk yang lebih ringan, mereka adalah orang-orang
yang hanya takut pada ketenangan. Namun, dalam bentuk yang lebih ekstrem,
mereka dapat ”mengunci” Anda. Karena mereka tidak pernah berhenti berbicara,
mereka hanya peduli bahwa mereka mengatakan sesuatu, dan bukan isi
pembicaraan yang diperlukan.
Mereka akan mengoceh
tentang berbagai rahasia atau menjadi tidak bijaksana atau bahkan membuat
segalanya hanya untuk terus mendengar suara-suara mereka sendiri. Cepat atau
lambat, mereka akan mengatakan sesuatu yang menghina atau mempermalukan Anda,
yang sama sekali tidak benar, atau bahkan mungkin membuat Anda berada dalam
kesulitan.
Petunjuk lain adalah
bahwa ketika orang semacam ini berbicara, mereka tidak berbicara tentang
hal-hal yang mendasari diri sendiri, yang disampaikan jarang merupakan materi
yang aktual. Misalnya, secara bertele-tele dan suara keras, dia berbicara
tentang rencananya merenovasi rumah secara hebat, atau bagaimana ia
mengomentari pakaian dan cara berdandan artis yang ditemuinya semalam.
Bagaimana sebenarnya perasaan tentang kehidupan mereka sendiri, tetap
merupakan misteri.
Bagaimana seseorang
menjadi ”tukang bicara?”
Mereka sering berasal
dari ”tukang bicara” juga. ”Tukang bicara” acap kali dibesarkan dalam
keluarga di mana mereka tidak pernah berkesempatan untuk menyampaikan sepatah
dua kata. Entah satu anggota keluarga mendominasi percakapan atau cukup
banyak orang berbicara sekaligus. Mungkin juga mereka merasa setiap kali
mengatakan sesuatu, orangtua, atau saudara mereka akan menyalahkannya.
Jadi, mereka
mengembangkan kecemasan yang luar biasa tentang berbicara dengan orang lain.
Percakapan sehari-hari tampak seperti kompetisi. Mereka khawatir jika mereka
tidak mendominasi pembicaraan, mereka tidak akan bisa mengatakan apa-apa.
”Tukang bicara” juga takut disalahpahami sehingga mencoba untuk tidak
mengatakan hal-hal yang terlalu pribadi. Mereka juga takut bahwa jika mereka
tidak menunjukkan kebolehan mereka sendiri, tidak ada orang lain yang akan
mengatakan sesuatu yang baik tentang mereka.
Menghadapi ”tukang bicara”
Tidak benar kalau kita
terus menoleransi orang yang terus menerus bicara. Kita dapat menutup mulut
si ”tukang bicara” hanya dengan beberapa kata yang dipilih secara baik. Anda
mungkin berpikir bahwa kata-kata itu terdengar buruk, tetapi Anda tidak perlu
merasa bersalah. ”Tukang bicara” perlu diingatkan bahwa orang lain juga
sesekali ingin didengarkan.
Kita memang tak bisa
mengubah orang lain, tetapi dalam hal ini dapat membantu dengan menawarkan
beberapa kritik konstruktif kepadanya. Anda perlu untuk mengekspresikan diri
lebih efektif–secara singkat tanpa terlalu banyak detail, tetapi efektif.
Jika dia kenalan biasa, dengan mudah Anda bisa menghindar darinya. Bagaimana
bila sulit untuk menjauh karena dia adalah teman dekat atau bahkan pasangan
Anda?
Awal yang baik adalah
membiarkan mereka tahu bagaimana perasaan Anda, misalnya: ”Kamu penting
bagiku, tetapi terkadang aku berharap kau tidak bicara begitu banyak. Saya
suka ketenangan, tapi saya juga ingin ikut menyumbang sebanyak percakapanmu.”
Cobalah untuk menyatakan kepedulian Anda dalam bentuk sanjungan.
Sebagai contoh:
”Sebenarnya kamu adalah orang yang mampu memberi banyak perhatian secara
alami. Jadi kamu tidak harus mencoba begitu keras. Bahkan, orang mungkin akan
lebih tertarik padamu kalau kamu sedikit menahan diri untuk tidak
menyampaikan semuanya.”
Atau bisa juga: ”Kamu
jelas punya kemampuan mudah berbicara, dan saya kagum. Sekarang saya ingin
bisa berbicara lebih banyak tentang diriku sendiri. Maukah kamu membantu saya
dengan memberi lebih banyak kesempatan untuk berbicara?”
Jika cara tadi kurang
berhasil, Anda dapat mencoba sesuatu yang sedikit lebih tajam. Jika mungkin,
tarik pasangan/sahabat itu ke dekat Anda dan katakan: ”Kamu sadar tidak kalau
kamu sudah berbicara selama tiga puluh menit nonstop?”
Kemudian cobalah untuk
memberi orang lain kesempatan ketika dia berhenti untuk menarik napas. Anda
bisa juga mencoba untuk memberikan semacam ejekan yang humoris, seperti:
”Saya tahu mengapa kamu jadi seorang pengacara, ternyata betapa cintanya kamu
untuk berbicara, ya.”
Jika dia menyebar
gosip mengenai berbagai hal pribadi yang tidak benar tentang Anda, secara
tenang dan ringkas biarkan dia tahu bagaimana perasaan Anda dengan mengatakan
kepadanya: ”Ini benar-benar menyakitkan perasaan saya bahwa kamu mengatakan
hal ini tentang saya.”
Namun, jangan terus
membahas mengapa ia begitu pada Anda, jangan menjadi terlihat terlalu sakit
hati. Jangan beri peluang padanya untuk membantah dan bicara tentang Anda secara
lebih banyak. Mudah-mudahan fakta bahwa Anda berani menghadapi dan
mengekspresikan perasaan Anda yang sejujurnya terhadap dia, dapat memberinya
pelajaran bagaimana cara membalik lembaran baru dalam berkomunikasi dengan
orang banyak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar