Minggu, 19 Januari 2014

Mau Enggak?

Mau Enggak?

Samuel Mulia ;   Penulis Mode dan Gaya Hidup, Penulis Kolom “Parodi” di Kompas
KOMPAS,  19 Januari 2014
                                                                                                                       


Saya berpikir keras di hari libur yang umumnya dimanfaatkan banyak orang untuk senang-senang. Ya, itu gobloknya saya saja. Katanya orang yang lahir di bawah rasi Capricorn itu terlalu banyak berpikir. Semua dipikirkan. Hal yang tak perlu dipikirkan, yaa... dipikirkan juga. Overthinking, kata teman-teman saya yang juga Capricorn.

Kesal

Acap kali yang saya pikirkan tak bisa dituntaskan. Menggantung. Itu yang bikin kepala sakit sebentar, kemudian hilang, dan sakit lagi kalau tiba-tiba ada pencetus yang datang. Kadang saya bertukar pikiran dengan beberapa orang, hasilnya ada yang cukup memuaskan, tetapi acap kali sungguh menambah kejengkelan.

Hal di atas terjadi karena saya juga acap kali bertanya seenaknya saja dengan manusia yang saya temui. Acap kali saya lupa bahwa lawan bicara saya tak punya pengalaman hidup seperti saya. Saya lupa bahwa sifat dan kepribadian mereka berbeda. Kata beberapa orang, mereka berbeda rasi atau shio dengan saya. Bisa jadi demikian.

Umumnya, kekesalan saya disebabkan pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut diri sendiri tak bisa saya terima. Hubungan saya dengan Sang Pencipta, hubungan saya dengan sesama manusia baik teman, rekan kerja, maupun keluarga, misalnya. Kalau soal hal-hal yang umum, saya juga kesal, tetapi otak saya selalu berpikir bahwa saya tak berdaya melawan yang umum itu.

Karena berpikir demikian, tingkat penerimaannya lumayan besar. Contohnya begini. Saya kesal mengapa dollar jadi meninggi dan mengapa indeks menjadi menurun. Saya kesal, tetapi saya tak berdaya, dan kemudian saya menerima keadaan itu.
Contoh lain. Saya kesal mengapa hujan kadang turun, dan sekali turun begitu derasnya, sehingga beberapa hari lalu saya nyaris ditimpa pohon tumbang dan acara yang sudah saya susun menjadi berantakan.

Hal itu sungguh mengesalkan, tetapi saya tak bisa mencegah datangnya hujan, sama seperti saya tak mampu mencegah dollar jadi melejit dan indeks terjun bebas. Maka, saya menerima keadaan itu. Mungkin sejujurnya saya tak bisa menerima, tetapi kekesalannya mudah hilang sehingga tampaknya saya oke-oke saja.

Saya justru sulit sekali menerima keadaan kalau itu menyangkut diri sendiri. Suatu hari saya menceritakan masalah ini kepada dua teman. Selesai bercerita, teman saya yang wanita diam, dan memandangi saya dengan wajah lumayan kaget, dan kemudian ia berkata: ”Hari ini aku mau nangis.”

Kemudian saya bertanya mengapa demikian. Ia menjawab begini, ”Selama ini aku susah sekali bersyukur. Tetapi, setelah mendengar ceritamu, hari ini, aku menyesal sekali untuk tidak bersyukur. Aku itu kalau lihat kamu suka iri. Hidupmu itu begitu sempurna, nyaris tanpa problema. Aku kaget bahwa ternyata apa yang aku pikirkan begitu kelirunya. Ternyata kamu seperti aku juga.”

Cuek

Saya jadi kaget, lha wong saya ini lagi menceritakan kekesalan saya, kok malah ada orang jadi bersyukur karena cerita saya. Saya ini perlu ditolong kok malah orang lain yang tertolong. Itu juga salah satu kekesalan saya yang termasuk dalam kategori umum yang tak bisa saya lawan.

Orang memberi penilaian begitu tingginya terhadap hidup saya, dan kemudian kalau mereka tahu bahwa saya ini juga manusia dengan sejuta kekotoran dan kelemahan, maka mereka mulai berteriak dan memukulkan palu.

Lebih kesal lagi kalau ada yang memberi nasihat macam begini. 

”Udaaah... dicuekin aja... itu mah biasa manusia itu emang gitu.” Melakukan tindakan mencuekkan itu buat saya sulit sekali karena saya tidak bisa cuek.

Saya pernah mencoba, tetapi gagal total. Saat saya berusaha cuek, saya malah belajar kalau cuek itu bukan sebuah solusi, itu sebuah jalan menuju celaka. Cuek itu hanya menutup luka dengan cepat, kemudian hilang dengan cepat, tetapi nanti ia akan muncul lagi dengan cepat dan makin hebat.

Cuek itu tidak menyelesaikan masalah, tetapi lari dari masalah. Cuek itu tidak mengandung tindakan menerima keadaan, tetapi memalsukan penerimaan sebuah keadaan. Cuek itu sebuah aksi meletakkan kasus di belakang supaya bisa maju ke depan. Padahal, cuek itu adalah mengikat kaki di belakang, dan berkeinginan maju tanpa merasa kakinya terikat.

Tahun 2013 adalah tahun yang sungguh menyengsarakan buat saya. Sebuah tahun yang kalau saja bisa, akan saya hapus dari hidup saya. Sebuah tahun yang tak bisa saya syukuri. Ketika saya menceritakan hal ini, teman saya secepat kilat menasihati.

Begini. ”Enggak boleh gitu. Semua itu harus disyukuri. Mau buruk atau tidak keadaannya kita harus bersyukur. Pasti ada pelajaran di balik semua itu.” Nasihat macam ini juga acap kali menaikkan tekanan darah saya.

Buat saya, nasihat itu sungguh terdengar terlalu klise. Saya membalasnya begini, ”Kalau elo bilang begitu, ya udaahh... mau enggak elo aja yang sakit jantung, yang sesak napas, yang dikhianati, yang kehilangan investasi. Kan, kata elo, semua itu sebuah pelajaran dan elo bisa belajar karenanya. Mau enggak?”

Anda tahu apa reaksi teman saya? Dengan suara lirih ia membalas begini. ”Enggak mau sihhhh....”  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar